Mohon tunggu...
Tubagus Adi
Tubagus Adi Mohon Tunggu... -

belajar hidup lebih baik dari hari ke hari..

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Nasi Liwet Rasa Senyum

22 Agustus 2010   13:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:48 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah senyum ramah orang ibu yang tampil alakadarnya menjual nasi liwet dengan segala kelengkapannya. Itulah yang saya nikmati diakhir kunjungan ke Kota Solo akhir juli lalu. Tepat satu setengah jam sebelum kereta saya berangkat dari stasiun Balapan, saya dilanda rasa lapar (lapar mata tepatnya). Lengkap tiga hari saya melewati tenda nasi liwet tersebut, tapi entah kenapa saya tida juga mencicipinya, entah karena tidak dihiruk pikuki oleh pembeli, entah karena bukan tujuan wisata kuliner atau alasan lainnya saya tidak tahu. Yang pasti di detik terakhir itu tiba-tiba rasa penasaran memaksa saya mencobanya. Letaknya hanya 50 meter sebelah kanan Hotel Dana, tempat saya menginap, tepat diantara Toko Buku Gramedia Slamet Riyadi dan lampu merah perempatan jalan.

Tenda yang sederhana dengan lampu putih ini hanya menyediakan lesehan, namun cita rasa boleh ditandingi. Ketika masuk dengan ragu, saya hanya disambut senyum sederhana sang ibu penjual. Semua makanan ia tutup rapi dengan kain putih. Saya memesan sepiring nasi liwet gudeg biasa dengan sepotong paha ayam yang disajikan dengan rapi lengkap dengan saus putih telur diatasnya.

Entah kenapa nasi liwet itu terasa nikmat sekali, dari gudegnya yang empuk tapi tetap bertekstur, ayamnya yang basah tapi gurih, saus putih telurnya yang membangkitkan selera atau nasinyayang pulen dan harum, memang terasa sangat nikmat. Tapi bagi saya yang membuat nikmat itu semakin berasa kental, adalah keramahan dan kesederhanaan si penjual.

Sang ibu ini tampak telaten sekali menjaga kebersihan makanannya. Di tenda tersebut tidak terbersit pula kemewahan yang biasanya ada di tempat-tempat makan lainnya yang laku keras. Tidak ada televisi atau radio, yang ada hanya obrolan dan pertanyaan ramah dan sederhana kepada para pembelinya, sekedar basa basi tapi bagi saya itu sangat menghibur dan saya rasa sulit ditemukan di tempat makan lainnya yang sudah komersil. tidak ada pula pelayan yang membersihkan tempatnya, semua ia lakukan sendiri dan hasilnya bahkan lebih bersih dari warung lainnya.

Tidak ada kesombongan foto-foto artis yang pernah datang ataupun kliping Koran yang dipasang di tembok, padahal setelah saya berbincang jauh dengannya akhirnya saya tahu ternyata pelanggannya banyak dari luar kota dan terkenal. Dari Jenderal, pejabat, hingga keluarga cendana. Sudah berkali-kali ia naik pesawat hanya untuk melayani pesanan dari pondok indah, kelapa gading, bahkan pernah pula cendana (ini bukan nasi liwet keprabon langganan pa Harto itu lho). Jawaban itupun sebenarnya sulit saya peroleh. Ia menganggap pembeli ya pelanggan yang harus ikhlas dilayani.

Tergelitik saya untuk bertanya. Kenapa ibu yang sangat ramah ini tidak memasang foto atau tulisan ataupun cara-cara komersil lain seperti yang sudah banyak dilakukan orang? Dia menjawab sederhana denagn penuh senyum, ” malu mas, buat apa, Cuma buat nasi liwet aja kok ”. Jawaban sederhana, tidak juga bodoh, bukan pula tidak mengerti marketing, buktinya ia tetap tahan berjualan bertahun-tahun. Tapi ada satu nilai yang dipegang teguh olehnya yakni keikhlasan berdagang, nilai itu yang nyata saya tangkap dari sepanjang obrolan saya dengannya. Ia tidak hanya menjual nasi liwet, tapi menghargai hidup dari usaha yang ia bangun, tidak semata materi, atau harga makanan atau ekspose televisi dan majalah.

Nilai inilah yang saya rasa sudah mulai hilang di kalangan penjual kuliner tradisional laris lainnya. bukan hanya di Solo, tapi juga di Bandung, Jakarta, Yogya, Surabaya dan lainnya. Nilai komersil urban saat ini sudah menghilangkan substansi kata “tradisional” itu sendiri.

Soal harga nasi liwet ini sudah tidak perlu ditanya lagi, anda tidak akan dibedakan :). Jujur saya kecewa dengan banyak tempat kuliner lain di banyak kota yang melakukan pembedaan harga hanya karena tahu saya pembeli dari Jakarta atau karena saya turun dari mobil (padahal mobil orang lain). Bukan soal harganya tetapi kesan materialisme alias “matre” nya yang sekarang sudah melingkupi banyak penjual kuliner laris di nusantara. Belum lagi penurunan kualitas makanan demi mengejar setoran. Itulah dampak komersialisasi dunia kuliner, pasti ada nilai positif dan negatif. Bukan berarti kita menolaknya tetapi kita harus mempersiapkan diri lebih baik lagi demi meningkatkan citra kulliner nusantara di tingkat global.

Terlepas dari itu, sekarang saya percaya, makanan apapun akan jadi terasa nikmat, selama pemasaknya ikhlas memasak untuk kita. Seperti masakan seorang ibu atau istri, bagaimanapun kurang bumbunya pasti akan tetap terasa nikmat saat kita memakannya.

[caption id="attachment_235369" align="aligncenter" width="225" caption="Bu Sugiyarti dan Nasi Liwetnya, Priyobadan, dekat Gramedia Jl. Slamet Riyadi, Solo (Sumber:Foto Sendiri)"][/caption]

*nasi liwet Bu Sugiyarti, Priyobadan, dekat GramediaJl. Slamet Riyadi, Solo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun