"Saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di sini, maupun Saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. kita hendak mendirikan suatu Negara 'semua buat semua'. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi 'semua buat semua'"
(Pidato Soekarno, Pada Rapat BPUPKI, 1 Juni 1945)
Tepat satu hari sebelum 17 Agustus kemarin, kantor kami kedatangan tamu istimewa. Engkong, itu biasa kami memanggilnya di kantor. Pria tua beruban, berpakaian dan berkopiah agak lusuh tapi bersih, menenteng bungkusan plastik berisi sarung dan baju koko untuk solat, memakai iteuk alias tongkat, tawanya renyah meskipun gignya tinggal dua.
Sudah lama sekali dia tidak muncul. Padahal dulu dia rutin mengunjungi kantor kami, sekira satu atau dua bulan sekali. Sebenarnya ia pensiunan kantor belakang, tapi ia selalu menyempatkan mengunjungi kantor kami.
Engkong hidup cuma sendiri, istri dan anaknya sudah meninggal. Anak satu-satunya meninggal saat di pesantren di daerah Banten dan istrinya meninggal beberapa tahun yang lalu. Rumah yang dia punya juga sudah tidak ada. dulu ia sempat indekost, tapi karena satu fitnah dan lain hal ia terusir. Fitnah dan cacian itu hal biasa baginya. Bagi banyak orang dia dianggap stress dan pikun tapi bagi kantor kami, dia seperti penyemangat. Belum pernah satukalipun saya lihat dia tanpa tersenyum, bahkan waktu ia disindir didepan kami pun, karena sering tidak nyambung kalau ditanya, dan dia masih tetap tersenyum lebar (anehnya dia selalu nyambung ngobrol dengan kami).
Kesehariannya dia jalani dengan berjalan kaki berkellling Jakarta, profesi resminya kemudian adalah pemulung botol plastik bekas, maklumlah tidak ada uang pensiun buat dia. Tapi penghasilan yang ia dapat dari botol bekas itu bukan uang, uang itu selalu habisia bagikan dengan orang lain. Penghasilan terbesarnya adalah pelajaran hidup selama berkeliling bertemu berbagai macam jenis orang di Jakarta, banyak sekali pelajaran yang ia temui. mulai dari cerita ia bertemu dengan copet, mengobrol dengan perampok, menasehati gadis yang kabur karena hamil, sampai membimbing seorang direktur perusahaan besar. Pengalaman-pengalaman baru itu yang ia selalu bagi pada saya di setiap pertemuan.
bagi dia hidup hanya pantas untuk diberi senyum karena indahnya cerita, bukan dengan mulut manyun atau mata melotot. Baginya hidup sudah cukup apa adanya, tidak ada lagi yang perlu dia cari, toh semua harta menjadi tidak berguna ketika ia sudah ikhlas dengan segala hal yang sudah didapat dan dicabut Tuhan darinya.
Berbagi dengan Orang lain
Pernah satu waktu kami belikan nasi paket dari salahsatu waralaba, percaya atau tidak, dia hanya memakan tidak sampai setengahnya, itupun ia pisahkan dengan bersih dan baik. sisanya ia bungkus, dan ia berikan pada orang lain di pinggir jalan, dan selalu seperti itu, apapun yang kami berikan.
Kini, ia tinggal di sebuah panti wreda di kawasan Jakarta Timur, ia sudah tidak perlu lagi berjalan keliling, ia boleh pesiar kemanapun dengan syarat tidak meminta-minta. teman-teman banyak meskipun sering ngobrol tidak nyambung karena sama-sama budeg katanya.
Dan akhirnya kedatangannya kemarin, ia tutup dengan satu permintaan yang tidak sanggup kami penuhi: “ada bendera merah putih ga?”, “buat apa kong” tanya kami. “engga, bendera di panti udah sobek, kalau-kalau ada”. kami yang sudah lama tidak kenal nasionalisme ini kelimpungan mencari, dan memang tidak ada bendera nganggur. Ia pun tersenyum manis meski pulang tanpa bendera.Sekali lagi saya belajar, hal kecil bermakna besar, bagi dia makna kemerdekaan bukan berarti hidup harus sejahtera. Bagi dia makna kemerdekaan adalah kemampuan untuk berbagi buat orang banyak, meskipun itu hanya selembar bendera.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H