Sampai saat ini, isu gender masih menjadi topik perbincangan yang tidak ada habisnya. Keterbatasan kesempatan bagi perempuan untuk turut serta dalam berbagai macam kegiatan atau aktivitas lain menjadi salah satu faktor penyebab dari adanya isu gender yang berujung pada bias gender. Keterbatasan ini sendiri terbentuk karena adanya konstruksi sosial yang tercipta dari norma atau standar perilaku yang mengatur tentang ruang gerak kaum perempuan yang padahal seharusnya mereka diperlakukan seimbang atau setara. Hingga kini, masih banyak mispersepsi terhadap istilah kesetaraan gender. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kesetaraan gender yakni pemberian kesempatan, tanggung jawab, dan hak yang sama bagi perempuan dan juga laki-laki. Isu yang lahir karena adanya ketimpangan pada kedudukan laki-laki dan perempuan ini memiliki dampak yang besar di berbagai aspek kehidupan manusia, seperti aspek ekonomi, pendidikan, sosial, politik, budaya, dan masih banyak lagi. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa isu gender dapat menyebabkan bias gender, yang mana salah satu gender lebih diuntungkan dalam hal kedudukan; hak; dan kesempatan, namun hal tersebut tidak berlaku terhadap gender lainnya. Bias gender dapat terjadi kepada kaum perempuan maupun laki-laki, namun di Indonesia sendiri kaum perempuan lebih banyak merasakan bias gender dibandingkan dengan kaum laki-laki.
Seperti yang bisa dilihat pada aspek politik, jumlah keterwakilan perempuan di parlemen masih sangat rendah. World Bank (2019) menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-7 se-Asia Tenggara dalam keterwakilan perempuan di parlemen, yakni dengan proporsi perempuan di parlemen sebesar 17,4%. Hal ini menjadi salah satu yang krusial karena akan berpengaruh terhadap isu kebijakan gender dan juga pengambilan keputusan politik yang menyangkut gender di kedepannya. Maka dari itu, dalam rangka meningkatkan angka partisipasi perempuan di politik, hadirlah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang partai politik yang pada Alinea ke-5 menjelaskan tentang pentingnya pendidikan politik dengan menilik kesetaraan gender dengan harapan dapat meningkatkan kesadaran mengenai hak dan kewajiban dalam kehidupan bernegara. Pada dasarnya, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 ini merupakan pengganti dari Undang-Undang nomor 31 Tahun 2002 tantang Partai Politik yang dicabut. Selain itu, pemerintah juga membuat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang mewajibkan kuota minimal 30% keterwakilan perempuan baik pada susunan kepengurusan partai politik, maupun dalam daftar calon anggota legislatif. Walaupun demikian, hingga pada pemilihan serentak tahun 2019, syarat kuota minimal yang telah ditetapkan tersebut belum terpenuhi. Berdasarkan data dari KPU, keterwakilan perempuan di lembaga legislatif nasional (DPR RI) masih berada di angka 20,8% atau 120 anggota legislatif perempuan dari 575 anggota DPR RI. Meskipun nantinya jumlah keterwakilan perempuan mencapai 30%, tampaknya masih akan sulit untuk mewujudkan keterwakilan perempuan secara ideal karena jumlahnya masih terbilang rendah dibandingkan dengan jumlah laki-laki yang memiliki persentase jauh lebih tinggi.
Minimnya representasi perempuan dalam politik melahirkan kebijakan-kebijakan yang dinilai masih belum “ramah” terhadap kepentingan perempuan karena adanya dominasi laki-laki dalam pembuatan kebijakan. Untuk itu, diharapkan kedepannya para partai politik memberikan sosialisasi dan edukasi politik berbasis gender kepada masyarakat luas dan lebih melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan di tingkat partai politik. Selain dari partai politik, rasanya perlu juga diberikan pendidikan gender untuk para anggota dewan guna menghasilkan kebijakan yang responsif gender.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H