Dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menghadirkan sebuah program bernama program Perhutanan Sosial yang bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat melalui aspek-aspek kehutanan. Pada dasarnya, program ini memberikan hak bagi masyarakat agar dapat mengajukan izin untuk turut serta dalam pengelolaan lahan di wilayah sekitar mereka.Â
Melalui program ini, pemerintah Indonesia menargetkan agar 12,7 juta hektar hutan di Indonesia dapat dikelola oleh masyarakat di sekitar wilayah mereka. Salah satu desa di wilayah kabupaten Bandung, kecamatan Majalaya, yakni Desa Loa, telah mengajukan Surat Keputusan (SK) agar dapat mengikuti program yang dicetuskan oleh KLHK ini. Hal ini mereka lakukan karena sebagian besar dari wilayah Desa Loa merupakan perhutanan, dan luasnya lahan yang berada di wilayah mereka sangat memiliki potensi yang besar untuk menyejahterakan masyarakat Desa Loa tersebut. Pengajuan SK yang telah mereka lakukan tidak begitu saja berbuah manis.Â
Butuh waktu selama 12 tahun sejak tahun 2006 hingga akhirnya SK tersebut diberikan oleh Presiden Joko Widodo. Masyarakat Desa Loa akhirnya berhasil mendapatkan SK tersebut dengan didampingi oleh salah satu organisasi non-pemerintah, Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS). Kedua pihak ini, masyarakat Desa Loa dan DPKLTS, melakukan gerakan sosial untuk memperjuangkan SK tersebut. Perjuangan mereka tidak sia-sia. Akhirnya, pada tahun 2018, Surat Keputusan yang mereka ajukan akhirnya disetujui dan masyarakat Desa Loa dapat mengajukan izin terkait pengelolaan lahan di wilayah sekitar Desa Loa.Â
Berkat adanya program perhutanan sosial ini, masyarakat Desa Loa merasa sangat terbantu karena banyak lapangan pekerjaan baru yang dihasilkan semenjak dilaksanakannya program ini. Dalam upaya memajukan masyarakat Desa Loa, khususnya para petani di sana, DPKLTS juga kerap memberikan edukasi-edukasi terkait penanaman hingga pendistribusial hasil panen kopi kepada mereka. Tidak jarang juga mereka mengundang stakeholders yang ahli di bidang terkait untuk berbagi ilmunya.Â
DPKLTS tidak hanya melakukan advokasi pada saat pengajuan SK, tetapi juga membantu masyarakat Desa Loa membangun koperasi. Koperasi ini berfungsi sebagai pemutus rantai distribusi hasil panen kopi di Desa Loa agar tidak terjadi monopoli oleh para tengkulak kopi. Eksistensi tengkulak kopi ini dapat merugikan para petani kopi karena para petani yang masih mandiri terpaksa menjual hasil panennya kepada para tengkulak, lalu para tengkulak menjual hasil panen kopi tersebut dengan harga yang tinggi.Â
Harga kopi terus-menerus naik namun para petani tak kunjung sejahtera. Melihat fenomena ini, tengkulak kopi merupakan mafia ekonomi. Seperti yang telah digagas oleh Edelbacher, Kratcoski, dan Dobovsek (2016), mengenai karakteristik mafia ekonomi, tindakan tengkulak kopi ini merupakan bentuk dari salah satu karakteristik sistem mafia ekonomi, yaitu diversion of public resources, yang mana pada praktiknya, para mafia ekonomi ini menyisir sumber daya yang merupakan elemen dari keberhasilan pertumbuhan pasar. Hal ini dibuktikan oleh panjangnya rantai distribusi sehingga tengkulak kopi mendapatkan keuntungan yang cukup banyak, sedangkan pendapatan petani lebih rendah dari yang seharusnya mereka dapatkan apabila proses distribusi hasil panen kopi tersebut tidak melewati tangan tengkulak kopi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H