Belakangan ini kita sering mendengar banyak musisi yang tiba-tiba ‘pensiun dini’ dari dunianya. Di antara nama-nama itu, saya mengetahuinya sebagai musisi-musisi yang telah berjasa membuat musik Indonesia layak didengar di tengah kejenuhan karena keseragaman musik di wilayah kahyangan arus utama Tanah Air. Mereka ada yang vokalis, gitaris, bassist, hingga sound engineer. Tentu saja saya syok dan sedih mendengar kabar itu. Tapi yang lebih mengagetkan adalah alasan yang mereka kemukakan terkait keputusan yang telah mereka ambil: Agama!
Beberapa nama dari individu cerdas dan berbakat tersebut kabarnya memutuskan pensiun setelah bergabung dan menekuni jalur agama tradisional—kalau kita tidak mau menyebutnya ekstrem. Katanya, agama yang mereka tekuni tersebut melarang—bahkan mengharamkan—kegiatan bermusik. Apa pasal? Musik, menurut agama mereka, bersifat melalaikan!
Lha, memang hal apa di dunia ini yang tidak berpotensi melalaikan? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘lalai’ berarti ‘tidak ingat karena asyik melakukan sesuatu’. Makan dan minum bisa saja melalaikan jika kita melakukannya sampai lupa sholat Maghrib. Atau, belajar matematika bisa dibilang melalaikan kalau kita lupa ke gereja. Jadi, semua kegiatan yang kita lakukan memiliki potensi melalaikan, tergantung individu yang menjalankannya!
Pertanyaan selanjutnya, kalau memang musik dibilang ‘melalaikan’, melalaikan dari apa? Tentu, mereka yang mengharamkan musik akan kompak menjawab: lalai dari Tuhan! Duh, sepertinya Tuhan tidak segitunya minta diperhatikan? Lagian, apa ada orang yang bermusik sepanjang 24 jam non-stop hingga lupa diri?
Musik adalah karya cipta dan karsa manusia. Serupa karya seni lainnya, musik juga merupakan salah satu bentuk ekspresi manusia. Dan, sama seperti agama, musik juga mengandung sifat universal. Jika setiap agama memuat kebaikan dalam ajarannya yang mencerminkan universalitas, musik pun menawarkan kebaikan serupa lewat bentuk keindahan dan ketentraman hati bagi pendengarnya. Itulah mengapa musik sering disebut sebagai bahasa universal.
Tak usah bertele-tele membicarakan teknis hubungan beat musik dengan jantung manusia ataupun gerak sel tubuh kita yang banyak menyerupai irama musik. Kita bisa cari penjabarannya di tulisan-tulisan internet yang dibuat para ahli biologis, dokter, ataupun musikologis. Yang mau saya katakan adalah, siapapun atau apapun yang melarang/menegasikan musik dalam kehidupan manusia, mereka sama saja merendahkan kemanusiaan!
Saya belum pernah mendengar adanya peperangan masif yang memakan ribuan korban akibat perbedaan genre musik. Justru, saya bosan dengan kejadian tidak manusiawi yang dilaporkan kantor-kantor berita terkait peperangan akibat perbedaan agama.
Sekali lagi, musik adalah bentuk ekspresi manusia terhadap apa yang dirasakannya. Yang membedakan manusia dengan binatang adalah anugerah logika dan perasaan yang di dalamnya memuat percikan Ilahiah. Musik adalah bentuk bahasa manusia yang lewatnya sebuah pesan bisa langsung sampai ke hati—tak perlu mesti melewati tembok-tembok dogma dan fanatisme.
Lewat musik, manusia telah menunjukkan solidaritas dalam bentuk konser-konser amal ataupun konser peduli bencana. Dan, banyak di antara konser tersebut berskala cukup akbar dan mengusung isu universal, seperti kemiskinan ataupun bencana alam. Jika seperti itu faktanya, apakah musik masih tega kita sebut sesuatu yang diharamkan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H