Setelah sholat maghrib, kami memakan bekal dan snack kemudian kami tidur dengan posisi duduk meringkuk. Punggung sangat pegal dan kaki sering kesemutan membuat tidur kami tidak nyenyak. Semakin malam angin semakin menjadi-jadi, sepertinya kami mengalami badai. Tenda kami ambruk dan salah satu kawan saya gejala hipotermia, sontak kawan yang lain dengan sigap menghangatkan tubuhnya. Dengan angin yang sangat kencang, kami kesusahan untuk membenarkan tenda.Â
Tubuh kami seakan ingin melayang sehingga kami sulit untuk mematok paku tenda. Tenda pun berdiri walaupun tidak kokoh karena badai belum juga berhenti, akan tetapi kawan saya masih mengalami hipotermia. Entah kepanikan kami membuat pendaki lain merasa terganggu, namun ada seorang pendaki datang ke tenda kami untuk menawarkan bantuan.
 Pendaki itu melihat kawan kami yang sedang mengalami hipotermia, dan meminta untuk pindah ke tenda beliau. Badai berhenti sekitar pukul 05.00 WIB, tidak lupa kami melaksanakan sholat subuh dan memasak mie instant. Mie instant adalah kunci! Kabut masih tebal dan angin lumayan kencang membuat nyali kami menciut.Â
Tidak lama ada sekelompok pendaki turun dari Sabana I, mereka memberi informasi bahwa kondisi di atas tidak memungkinkan untuk melanjutkan pendakian. Diterimanya informasi tersebut, kami melakukan diskusi dan kami memutuskan untuk turun alias gagal sampai puncak. Disamping adanya badai semalam, salah satu kawan kami juga sempat mengalami gejala hipotermia. Kami melakulan packing kemudian bergegas untuk turun untuk mengurangi resiko atau kejadian yang tidak diinginkan.
Sesampainya di basecamp, kami melakuan laporan konfirmasi kepada petugas bahwa kami menyelesaikan pendakian dan melakukan pengecekkan sampah apakah sesuai dengan apa yang kita bawa. Setelah pengecekkan selesai, kami menghangatkan badan, makan siang kemudian sholat dzuhur berjamaah. Salah satu kawan kami sudah baik-baik saja dan tidak menujukkan adanya sesuatu yang mengkhawatirkan. Setelah semua dirasa cukup, kami bergegas pulang ke rumah dengan hasil gagal sampai puncak dan mengalami badai. Pengalaman ini membuat saya sadar bahwa ketika di gunung, kami bisa mengetahui sifat teman-teman kita yang sebenarnya.Â
Kami mendaki melewati jalur yang sama, kerja keras yang sama, usaha yang sama, tujuan yang sama dan doa yang sama, membuat kami akrab walaupun belum pernah kenal maupun bertemu. Gagal sampai puncak bukan berarti gagal dalam perjalanan, pada akhirnya kami merasa tenang karena bisa menikmati pemandangan alam sekitar ditemani kopi hangat. Sama halnya dengan hidup, gagal meraih tujuan bukan berarti kita gagal dalam meraih tujuan tersebut. Selalu ada keindahan serta hikmah dibalik sebuah kegagalan, toh kita bisa mencobanya kembali dilain waktu. Dari pengalaman ini yang kami butuhkan adalah untuk lebih banyak bersyukur dan kami percaya bahwa badai pasti berlalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H