Seseorang bercerita tentang sebuah tempat makan yang dikunjunginya beberapa hari yang lalu. Kebetulan kami sedang melewati tempat makan itu. "Aku ke tempat makan itu kemarin, dan ternyata pangsitnya gak terlalu enak," dia mulai bercerita. Kemudian saya tanya, "Kenapa kalimat 'gak terlalu enak' itu bisa muncul?" Dia berpikir sejenak, kemudian menjawab, "Karena aku pernah ngerasain pangsit yang lebih enak dari yang dijual di tempat itu."
"Ya, itu penyebabnya. Kalimat 'gak terlalu enak' muncul bukan hanya tentang sebuah rasa, tapi karena ada rasa yang lain yang pernah dinikmati, dan itu lebih baik dan lebih enak, kemudian muncul pembandingan. Seringkali, dalam hidup ini kita kecewa setelah berhasil membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lebih baik. Namun, kita juga bisa senang atau bahagia setelah membandingkan sesuatu yang kita nikmati atau rasakan saat ini dengan sesuatu yang lebih buruk yang pernah kita rasakan sebelumnya," saya mulai menjelaskan.
Dari percakapan sederhana di atas, mungkin ada yang terinspirasi bertanya seperti ini, "Tapi kan rasa syukur bisa muncul kalau kita membandingkan kondisi kita saat ini dengan orang-orang yang hidupnya tidak seberuntung kita." Jawabannya sederhana, "Ya, rasa syukur bisa muncul dengan 'strategi' itu, tapi rasa syukur yang seperti itu tidak kokoh. Syukur karena pembandingan adalah syukur yang amatiran. Kebahagiaan yang muncul karena pembandingan adalah kebahagiaan semu. Kebahagiaan seperti itu masih berada pada level pikiran, dan rentan sekali goyah apabila pembanding yang lebih baik muncul. Kebahagiaan seperti itu masih ditopang alasan-alasan. Kalau alasannya hilang, kebahagiaannya lenyap."
Lalu, sebenarnya bisakah kita menjalani hidup tanpa pembandingan? Pertanyaan ini cukup dalam. Tidak mudah, tapi tidak berarti tidak bisa dilakukan. Di level tertentu, pembandingan itu penting, tapi dalam konteks kebahagiaan, konsep itu justru membatasi dan memenjarakan. Sudah sifat alamiah pikiran kita membandingkan satu dan lain hal. Kadang menggiring pada rasa kecewa, kadang juga senang. Tidak perlu dilawan, cukup disadari. Syukuri apapun yang dimiliki saat ini, kurangi membandingkan, sadari setiap rasa yang hadir, miliki rasa berkecukupan, hadir sepenuhnya di saat ini. Tidak ada satupun hal di dunia ini yang akan benar-benar terlihat sempurna di mata kita, sampai kita berhenti membandingkannya dengan sesuatu atau seseorang yang lain.
So, mengurangi membandingkan membuat kita semua bisa lebih utuh melihat sesuatu. Lebih utuh melihat kelebihan dan kekurangan dari sesuatu atau seseorang, kemudian menerimanya sebagai sesuatu yang mewarnai kehidupan kita. Selama pikiran kita sibuk membanding-bandingkan, kita akan selalu terjebak pada konsep "ini lebih baik-ini lebih buruk". Kita tidak berada pada keadaan MENIKMATI sesuatu tersebut. Namun, jangan salah sangka, catatan ini diketik bukan dengan harapan untuk membuat banyak orang kehilangan logika dalam mempertimbangkan sesuatu. Pembandingan itu perlu, tapi dalam level tertentu.
Semua orang ingin kehidupan yang lebih baik, lebih mudah, lebih indah, namun sesuatu yang lebih baik, lebih mudah, lebih indah itu tidak akan pernah habis. Selalu ada saja hal-hal yang lebih baik yang bisa kita jadikan pembanding keadaan kita saat ini. Kita berlari ke tempat yang tidak ada ujungnya! Mau sampai kapan??! Mengurangi membandingkan adalah salah satu cara untuk "berhenti berlari dan bersiap untuk menikmati". Nikmati saat ini, sadari setiap anugerah yang terkandung di dalamnya. Itu juga sudah baik, kan? (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H