Dalam sebuah perjalanan hidup, saya sampai di sebuah desa pesisir di tepian Pulau Bacan, Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara. Saya mengemban sebuah tugas untuk menjadi guru sekolah dasar di desa itu. Satu tahun menjadi bagian dari masyarakat di sana memberikan saya persepsi berbeda tentang Indonesia. Indonesia yang dibangun dari keragaman dan akan terus berjalan menjunjung perbedaan itu di pundaknya.
Bersama masyarakat dengan kultur budaya yang jauh berbeda, saya menikmati banyak hal dan menyadari bahwa pada setiap hal yang diyakini, ada alasan kuat di belakangnya. Kultur budaya itulah yang sejatinya menjadi kekayaan turisme bangsa ini selain tentu saja keindahan alamnya yang bagai surga di dunia.
Dalam setiap upacara resmi di sini, selalu dipentaskan tari cakalele. Menurut informasi dari situs pariwisata Indonesia, Indonesia Travel, tari ini merupakan ciri khas budaya Maluku. Tarian ini dilakukan berkelompok. Penari mengambil ancang-ancang menyerang seakan sedang perang. Mereka memegang pedang di tangan kanan dan perisai, atau biasa disebut salawaku, di tangan kiri. Menggoyang-goyangkan seluruh badan sambil berteriak-teriak seperti sedang kesurupan.
Menurut para sesepuh desa, tarian ini menggambarkan patriotisme rakyat Maluku pada daerahnya. Mereka tak akan segan berperang jika tanahnya diusik dan hak-haknya diambil paksa. Pedang dan salawaku adalah simbol perlawanan pada kesewenang-wenangan. Sungguh sebuah arti besar yang tersimpan dalam tarian cakelele ini.
Adat tari cakalele ini juga unik. Penari yang pentas bisa memberikan pedang dan perisainya pada penonton. Penonton yang mendapatkan alat-alat tersebut wajib menggantikan penari tersebut. Sialnya, pada suatu pementasan, seorang penari sudah mengincar saya.
Waktu itu, Bupati Halmahera Selatan menyempatkan diri bersilaturahmi ke desa kami. Tentu saja, kesempatan langka ini tidak disia-siakan masyarakat desa dengan menyiapkan acara penyambutan yang cukup meriah. Tari cakalele menjadi menu wajib dalam setiap penyambutan.
Setelah menari beberapa sesi, penari tersebut lalu mencari saya di kerumunan penonton. Meski sudah bersembunyi di balik banyak orang, tetap saja ia bisa menemukan saya. Saya pun tak bisa berbuat banyak meski sempat ingin melarikan diri.
Akhirnya, dengan rasa percaya diri yang tersisa, saya maju ke depan dan mulai menggerakkan seluruh anggota badan. Menari cakalele tidaklah sulit. Gerakannya sangat sederhana. Yang terpenting, mesti menyelaraskan diri dengan musik dan bunyi gong. Jika gong dibunyikan, maka penari mesti memutar lengan dan menyerongkan badan sambil berteriak mirip Tarzan.
Pertama kali menari cakalele, pasti tubuh terasa lelah amat karena harus terus digetarkan sepanjang pementasan. Namun, lelah itu seketika hilang tak berbekas. Rasa lelah berganti haru dan bahagia ketika seorang kakek yang juga penari cakalele senior menghampiri saya dan berkata, "Kamu menari lebih baik daripada banyak orang desa di sini."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H