Mohon tunggu...
Adi Permana
Adi Permana Mohon Tunggu... wiraswasta -

Menulis untuk sebuah proses pembelajaran hidup.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ramadhan di Indonesia dan Beberapa Catatan Untuk Diperhatikan Umat Islam Indonesia

19 Agustus 2011   14:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:38 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sudah merupakan sesuatu yang lumrah setiap ramadhan, setiap stasiun TV di Indonesia menayangkan program dakwah dan acara yang berbau religius. Setiap sahur dan berbuka, banyak program acara TV diliputi oleh program religi. Saya jadi bertanya-tanya, adakah segi mudharat (keburukan) dari semarak acara religi di setiap ramadhan di Indonesia? Saya berkesimpulan bahwa semaraknya dakwah dan acara religi di TV justru membawa kecenderungan umat Islam Indonesia kehilangan makna agamanya sendiri. Mari kita kaji lebih jauh.

Semarak Ramadhan dan Semarak Bisnis

Semarak Ramadhan di Indonesia begitu kentara, bukan saja di tahun ini tetapi sudah menjadi tradisi beberapa tahun belakangan ini. Memasuki bulan suci Ramadhan, setiap stasiun TV pasti menayangkan program acara yang religius. Seakan tanpa ampun, dakwah-dakwah dan program acara TV ini terus 'menggedor' setiap rumah pemirsa TV. Adakah kita sadari bahwa acara-acara Ramadhan di TV kental sekali dengan motif bisnis di belakangnya? Coba lihat saja tiap sahur, banyak sponsor-sponsor yang mewarnai. Di salah satu sinetron religi di salah satu TV swasta, yang sampai berepisode-episode ceritanya tidak habis-habis, juga disusupi motif bisnis. Namun yang lebih menyedihkan lagi selain soal bisnis, sepanjang saya simak dakwah serta cerita sinetron religi itu, saya merasa tidak ada yang berarti dalam dakwah dan alur cerita, tidak ada problem solving (alias monoton) bagi pemirsa TV khususnya umat Islam Indonesia. Dakwah-dakwah dan program acara TV sepanjang Ramadhan justru berpotensi menghalangi umat Islam Indonesia untuk belajar agamanya dari sumber primer, yaitu kitab suci Al-Qur'an. Bagi umat Islam Indonesia yang sadar, program acara TV setiap ramadhan lebih banyak berisi komedi dan bisnis daripada mengajak pada pemahaman agama yang mendalam.

Semangat umat Islam Indonesia mencari makna agamanya sendiri dari melalui renungan dan tafakur sudah tidak begitu diminati. Alih-alih, mereka sudah 'puas' dengan apa yang dikatakan (serta ditafsirkan)  oleh para pendakwah dan alur cerita sinetron religi. Singkatnya, umat Islam Indonesia sudah terlalu banyak mencari 'keluar' ketimbang merenung mencari ke 'dalam' dirinya sendiri  untuk memahami agama. Umat berbondong-bondong mencari kepuasan memahami agama dari apa yang dikatakan TV dan da'i -da'i kondang, padahal sajian di TV itu tidak akan mampu menembus makna agama yang begitu mendalam. Menjadi gawat ketika dakwah-dakwah dan program acara di TV menjurus pada tafsiran tunggal ayat-ayat Tuhan.

Soal Ulama dan Ustadz di TV

Agama merupakan ruang privat, masalah pribadi, masalah keyakinan yang mendalam, berhubungan dengan komunikasi hamba dengan Tuhannya secara intensif. Tapi, kecenderungan di Indonesia justru sebaliknya, agama menjadi 'go public, seakan seperti 'kacang goreng' semarak keagamaan ditafsirkan sesuka-suka. Di samping itu, dengan go public-nya agama, maka 'bisnis ulama' semakin menjadi-jadi. Di setiap stasiun TV, ulama-ulama atau pendakwah-pendakwah bermunculan di depan layar kaca bak selebriti. Perlu dipertanyakan sekarang apakah lebih banyak baik atau buruknya ketika seorang ulama sudah terlalu sering muncul di TV? Sejauh pemahaman saya, akan lebih baik jika ulama itu langsung menyiarkan agama ke jantung kehidupan masyarakat di jalan-jalan, mengadakan problem solving langsung kepada kesulitan hidup yang dialami masyarakat. Singkatnya, pergerakan ulama berbasis komunitas perlahan redup di zaman sekarang digantikan oleh dakwah-dakwah membosankan di layar kaca. Para ulama atau ustadz cenderung lebih memilih tampil di TV karena motif bisnis, adanya honor yang menggiurkan setiap kali diundang. Mampukah ulama kita menolak honor yang menggiurkan dari TV dan rela tidak dibayar untuk kepentingan agama? Hal ini merupakan peringatan terkait dengan psikologis sang ulama sendiri karena apabila sudah menjadi tren hadirnya 'supply and demand' terhadap ulama, maka para pendakwah kita cenderung untuk melakukan dakwahnya karena ada 'bayaran'. Ketika demand masyarakat terhadap ulama naik, maka harga/honor ulama akan melonjak. Hal inilah yang harus disadari para ulama kita yang rutin tampil di TV, jangan sampai mereka terjebak dalam kerangka 'supply-demand' bisnis para penyelenggara TV, jangan sampai ayat-ayat Tuhan 'diperdagangkan'. Lebih jauh  hal ini menjadi penting. jangan sampai umat terlena dengan hipnotis suguhan religi acara TV, agar umat lebih sadar akan permasalahan mendasar yang dihadapi di lingkungan terdekatnya.

Dengan demikian, perlulah kita merenungi Ramadhan lebih dari sekedar momen simbolis tahunan. Kita pribadi, para ulama dan ustadz kita mudah-mudahan sadar tidak menjadikan Ramadhan hanya sebagai momen simbolis saja, tapi juga sebagai momen untuk menggali makna isi dari Ramadhan serta lebih jauh makna agama itu sendiri.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun