Pilpres kali ini begitu seru. Sangat menegangkan. Walau saya dari sejak awal Jokowi menerima pencapresannya, saya sudah meyakini Jokowi akan menang, namun ada kalanya saya sempat merasa kalau Prabowo yang akan melenggang ke Medan Merdeka. Saat-saat itu adalah titik-titik kulminasi dari Black Campaign yang sedemikian rapinya sehingga terlihat, sangat mungkin memang dilakukan kubu Jokowi. Seperti Kasus Surat penangguhan pemeriksaan dari Jaksa Agung. Surat tersebut begitu rapi sehingga saya sendiri terkecoh. Sedangkan saat-saat lainnya adalah ketika dihadapkan kepada betapa fanatiknya orang-orang yang mendukung Prabowo. Saya menciptakan sebuah metode yang saya gunakan untuk menganalisis keberpihakkan suatu media online. Dengan melihat tendensi para pemberi komentar. Namun metode ini jadi tidak berguna ketika media-media online terlalu tendensius arah komentarnya kepada salah satu calon. Kemudian saya mengetahui tentang keberadaan Panasbung dari liputan majalahdetik. Dengan demikian menjadi absurd utk mengetahui peta dukungan secara murni dari media online. Namun media sosial pun demikian. Facebook dan Twitter pun kemudian terkontaminasi. Teman-teman saya yang saya yakin bukan tim sukses atau orang bayaran, kemudian secara fanatik mendukung salah satu calon (yang manapun itu) dengan cara meneruskan berita yang dibuat akun lain (yang saya rasa merupakan akun jaringan panasbung). Dengan kata lain tensi media sosial jadi memanas dan sudah tidak kentara utk dapat melihat secara objektif bagaimana peta dukungan sebenarnya berbentuk. Disaat-saat ini lah saya merasa Prabowo mungkin akan menang karena besarnya dukungan di sisi Prabowo, termasuk dari yang diteruskan teman-teman saya.
Namun, bagaimanapun, Indonesia bukan cuma Jakarta, bukan cuma Jawa. Orang-orang yang terpapar pemberitaan online dan black campaign hanyalah mereka yang punya koneksi terhadap kedua hal itu. Melalui dunia maya atau diskusi mulut ke mulut. Sisanya kemungkinan besar sudah memiliki image sendiri akan kedua pasang Capres Cawapres dan image tersebut belum berubah. Mereka ini adalah para pemilih di luar Jawa, terutama Indonesia Timur. Indonesia Timur sendiri karena punya pengalaman dengan aksi Prabowo setidaknya di Timor Timor, pasti akan menolak untuk mendukung beliau. Dengan demikian, belajar dari pengalaman saya saat berkunjung ke NTB, NTT, Maluku, Papua, Sulawesi dll, saya yakin kalau peta dukungan secara murni mengarah ke Jokowi-Jusuf Kalla.
Tapi, ternyata Tim Sukses di kubu Prabowo sangatlah hebat. Saya sangat mengagumi. Bagaimana mereka bisa mengubah, menguatkan dan menciptakan image Prabowo seperti yang terlihat sekarang ini. Konsultan-konsultan politik ini sangat berpengalaman dalam berperan menaikkan elektabilitas Prabowo secara masif. Segala cara dilakukan. Saya sendiri dari dulu selalu berpikir, jika mau menaikkan elektabilitas seorang calon, sebaiknya ini dan itu dilakukan. Dan ternyata hal itu kemudian dilakukan atau sudah dilakukan. Hebat sekali. Saya terus terang belajar banyak. Sayangnya sih banyak juga yang sepatutnya tidak dilakukan, ternyata dilakukan juga. Seperti penerbitan Obor Rakyat dan satu tabloid yang baru kemarin itu. Hal-hal ini sangat memalukan. Walau harusnya sih bisa digunakan juga untuk meningkatkan elektabilitas Prabowo. Yaitu Prabowo cukup mengeluarkan pernyataan agar timnya bermain bersih dan menggerakkan kadernya untuk menghentikan penyebaran tabloid tersebut atau black campaign lainnya yang kelewat batas. Kalau saja itu dilakukan, bahkan saya sendiri kemungkinan akan berbalik mendukung Prabowo. Kemudian ada satu lagi yang membuat saya mengagumi tim sukses Prabowo. Yaitu bagaimana mereka dengan mudah memutihkan status Prabowo terkait kejahatan HAM dimasa lalu hanya dengan beberapa kata. Yaitu "yah setiap orang ada salahnya". Selesai. Dengan kata-kata tersebut semuanya sepertinya sudah dimaafkan. Di media online dan dari mulut ke mulut. Hebat sekali.
Namun, kembali lagi. Sejauh apapun kendali di media, seberapapun banyaknya iklan dan akun panasbung yang ada, sulit untuk menjangkau pemilih yang memang berada di luar jangkauan listrik. Tv dan internet masih menjadi barang mahal di pelosok. Stasiun tvone sendiri tidak sampai kesemua daerah di pulau Jawa. Apalagi di wilayah Timur. Hal yang sama bisa dipahami untuk pemilih di luar negeri. Pada negeri yang WNI nya terpapar pemberitaan, peta dukungan pasti imbang, untuk negara dengan WNI yang tidak memperoleh pemberitaan atau pemilih muda yang kritis, akan bersih dari pencitraan kedua pasang calon. Sehingga perolehan suaranya akan timpang.
Tadi siang hasil quick count memberitakan Jokowi memenangi Pilpres. Yang sesungguhnya bukan kejutan buat saya. Namun karena persaingan sengit di permukaan Kota Jakarta ini begitu tinggi intensitasnya, mau tak mau saya menarik napas yang luar biasa panjangnya. Prabowo hampir saja menang, walau belum tentu jika ada extra time beliau bisa menang, karena elektabilitasnya sudah jenuh. Jika dipaksakan, harus menggunakan cara-cara yang justru kontra produktif. Seperti isu akan ada kerusuhan, dengan harapan mengurangi partisipasi pemilih Tionghoa. Soalnya bahkan DPP Demokrat pun di injury time ini sudah ikut bergabung.
Di kubu Jokowi sebaiknya pada tidur dulu sana. Istirahat. Sehabis itu lihat kanan kiri, dan mulailah berterima kasih dan bersayaukur, kalian hampir saja kalah. Sebagian besar karena mesin partai tidak maksimal dan terlalu bergantung kepada image Jokowi. Setelah itu kembali lanjutkan brainstorming tentang bagaimana membangun negeri ini sebaik-baiknya. Sesuai janji yang dikemukakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H