Mohon tunggu...
Adipati Rahmat
Adipati Rahmat Mohon Tunggu... Pengajar Pascasarjana di Kajian Pengembangan Perkotaan, Universitas Indonesia -

Pengajar Pascasarjana di Universitas Indonesia, Pengamat Perkotaan, Peneliti Kelautan dan Perikanan, Penulis, dan Petualang. https://twitter.com/thatgarlicguy

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Urun Rembuk Terkait Pro-Kontra Moda Transportasi Online

24 Maret 2016   14:46 Diperbarui: 24 Maret 2016   15:32 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sedikit urun rembuk terkait Pro-Kontra Moda Transportasi Online.

Dari pandangan saya sebagai pengamat perkotaan di Pusat Riset Perkotaan dan Wilayah, Universitas Indonesia.

Jaman selalu berubah, jadi integrasi teknologi dalam hidup sehari-hari wajar adanya. Yang lama berganti baru, dulu surat sekarang email. Dulu sms sekarang whatsapp. Dulu koran dan majalah, sekarang berita online. Murah dan cepat.

Kadishub DKI Jakarta dan Menteri Perhubungan Ingnatius Jonan sudah menyatakan bahwa urusan transportasi swasta diatur dalam Undang-undang No 22 Tahun 2009, tapi masalahnya moda setengah private ini kemungkinan besar belum terpikirkan saat UU tersebut dikaji, dibahas dan dilegalisasi. Jadi saat Kadishub dan Menteri menyatakan, Uber dan Grab itu harus berbadan hukum dulu baru beroperasi, yang kemudian langsung didaftarkan sebagai Unit Koperasi, masalah dianggap selesai. 

Padahal belum dapat seperti itu. Justru poin utamanya bahwa walaupun nanti Perusahaan Aplikasi Uber dan Grab itu yang membayar pajak ke Pemerintah karena mereka ikut menggunakan badan jalan untuk usaha, tapi pada dasarnya kendaraan yang mereka gunakan tetaplah kendaraan pribadi yang diusahakan. Seperti Gojek.

Banyak kecemburuan yang dihadapi pemilik/supir Taksi, tapi yang saya bahas hanya terkait bagaimana yang namanya Taksi, mau bagaimanapun dia adalah kendaraan Plat Kuning, tidak bisa beralih jadi Uber atau Grab. Beda dengan Uber atau Grab yang bisa dipakai pribadi, dan kalau mau jadi sewaan. Banyak komponen biaya yang tidak perlu dihitung, jadi tarifnya bisa murah, karena Uber atau Grab sudah dapat pemasukan dari unduhan aplikasi saja.

Kasus hampir serupa ada di Gojek. Bagaimana motor pribadi digunakan sebagai moda ojek berlabel. Ribut kan dengan ojek pangkalan. Namun tidak serta merta membunuh ojek pangkalan, karena ojek pangkalan bisa bermain dua kaki, jadi ojek pangkalan dan jadi Gojek juga kalau ada order masuk. Dari pengalaman, banyak Gojek yang saya tanya, mereka awalnya ojek pangkalan, namun memilih bermain dua kaki, agar lebih enak juga, terhindar dari idle time. Dari sisi perkotaan, transformasi ini sangnat bagus, karena ojek pangkalan jadi lebih aktif, tidak sekedar main kartu dan judi sambil nunggu sewa, dan mengenakan tarif sesukanya dengan alasan sepi atau macet. Belum lagi setiap Gojek ada atribut dan didaftar dengan seleksi.

Pemerintah dalam hal ini harus kritis terhadap isu sensitif. Di luar Negeri sudah melaporkan bahwa Uber-Grab ini bikin rusuh dan bakar-bakaran terus, kok ya terjadi juga di Indonesia. Padahal baiknya sih dilarang dulu Uber-Grab untuk beroperasi, dengan alasan keselamatan konsumen Uber-Grab. Lalu segera mediasi dalam satu meja, Pemilik Uber-Grab, perwakilan driver Uber-Grab, Pemilik Taksi (bluebird), perwakilan Driver Taksi, dan wakil Konsumen/atau YLKI juga bisa. 

Biar mereka berdebat mencari jalan tengah, sementara UU 22/2009 direvisi, dengan melihat perkembangan moda online. Nanti jalan tengah itu, misalnya revisi tarif Uber-Grab atau revisi tarif Taksi atau revisi setoran supir taksi, digunakan untuk masukan bagi UU 22/2009 ini. Selama hal ini dibahas, Alternatif 1 (Uber-Grab tidak beroperasi dan Taksi menurunkan tarif) atau Alternatif 2 (Uber-Grab beroperasi terbatas sesuai apapun kesepakatan bersama).

Konsumen pun jangan ribut-ribut dukung Uber-Grab karena senang harga murah, tapi tutup mata kalau sesama supir taksi atau dengan moda online ribut terus. Ga ada bedanya dengan karakter ojek pangkalan dulu itu. Konsumen harus aktif beri solusi atau ikut menengahi dan memberi usulan solusi. Setidaknya beliin makanan buat mereka yang demo. Dan bilang, nih makan. Kalian rese kalau laper.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun