Malam itu adalah malam tasyakuran, sebuah acara rutinan sebuah lembaga pendidikan, setara dengan Madrasah Aliyah, dan sudah menjadi tradisi sejak dahulu, sejak pertama kali lembaga ini berdiri, diselenggarakan selepas ujian akhir. Jika semua pihak merasa ‘bungah’ dengan terlaksananya acara ini, baik guru, orang tua, maupun murid, tapi hal itu justru tidak berlaku bagi Pak Saiman, salah seorang guru di lembaga tersebut. Pak Saiman dari dulu memang terlihat sering tak megisi buku absensi kehadiran begitu acara makan-makan ini tiba waktunya, dan semua guru-guru pun memakluminya. Mereka mengira bahwa guru satu ini sedang ada halangan, atau sekadar ingin istirahat, itu saja. Ketidak hadirannya tak jadi apa dikalangan guru-guru yang lain. Hadir tidaknya bukan lagi suatu masalah yang perlu diperhatikan.
Pak Saiman adalah sosok pengajar yang serius dan tulus, dia rajin memerhatikan pertumbuhan anak-anak didiknya, baik pertumbuhan intelektual, spiritual, maupun moral dan sosialnya. Dia juga sering terlihat menjalankan puasa sunnah, guna ‘nirakati’ dirinya sendiri dan murid-muridnya. Ketelatenannya dalam puasa ini mungkin ada kaitannya dengan namanya, Saiman, yaitu—mungkin kata ini adalah kata serapan dari bahasa Arab—Shaa-iman, atau ‘orang yang berpuasa’, atau kalau dalam idiomnya orang jawa ‘asma kinaryo jopo’. Terlepas dari itu semua, memang lingkungannya dari kecil punya etos religiusitas yang tinggi, termasuk penanaman rasa cinta pada puasa, hingga mampu mecicipi ‘ladzat’-nya, atau rasa manisnya berpuasa.
Dengan semangat mendidiknya yang luar biasa ini, tak heran jika dia lebih memilih ‘menangis’ disudut rumahnya daripada asyik makan-makan bersama para guru-guru yang lain. Dia khawatir, apakah pelajaran-pelajaran yang dia sampaikan kepada murid-muridnya itu akan benar-benar manfaat atau tidak, apakah sungguh-sungguh tertanam pada pribadi anak-anak didiknya atau tidak, apakah betul-betul mampu mewarnai perilaku dan moralnya atau tidak. Ya, itulah Pak Saiman, tersedu-sedu memohon pertolongan terus-menerus kepada Tuhan supaya bersedia memberikan futuh-Nya kepada dirinya dan murid-muridnya.
Mungkin, metode mengajar dan mendidiknya yang seperti ini di ilhami oleh seorang tokoh atau ‘Alim tertentu, misalnya K.H Bisri Mustofa, ketika ‘nuturi’ putranya, Gus Mus. Beliau berkata, “Mendidik anak atau santri itu haruslah lahir batin. Tidak cukup lahir saja dengan mengandalkan kemampuanmu mendidik. Karena, didikanmu hanyalah ikhtiar dan yang sebenarnya menjadikan anak didik menjadi terdidik adalah Allah.”
“Abah ini, bila kebetulan diminta mengisi pengajian di suatu tempat dan terpaksa harus meliburkan pengajian di pesantren, Abah tidak pernah lupa sebelum naik mimbar, matur, “Yaa Allah, saya kemari ini diundang kawan-kawan untuk menyampaikan firman-Mu dan sabda Rasul-Mu, namun sementara saya menyampaikan firman-Mu dan sabda Rasul-Mu disini, santri-santri saya dipesantren yang dititipkan orang tua mereka terpaksa libur tidak saya ajar. Maka yaa Allah, apabila amal saya disini Engkau terima dan ada pahalanya, saya mohon pahala itu tidak usah Engkau berikan kepada saya, tetapi Engkau tukar saja dengan futuh-Mu atas santri-santri saya yang kini libur. Bukalah hati mereka bagi ilmu-ilmu-Mu.”
Dan itulah K.H Bisri Mustofa, model mengajar dan mendidiknya dengan tenaga, pikiran, hati, hati-hati, dan juga sepenuh hati.
Dalam kehidupan sehari-hari pun, Pak Saiman terlihat sederhana, sederhana dalam hal apa saja, dia tak begitu memerhatikan pernak-pernik fisikalnya, mungkin kamera digital hanya akan mempu menangkap polosnya wajah desa dan kumalnya pakaian. Karena dia selalu dalam kesibukan memperbaiki akhlak dan hatinya, memperindah hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya, sibuk untuk terus berusaha menjadi makhluk yang bermanfaat.
Sekarang ini, mungkin jarang sekali menemukan guru yang bersedia repot-repot mendo’akan anak didiknya tiap malam, karena memang kebanyakan mereka dicetak bukan murni untuk mengajar dan mendidik, melainkan mencari uang, berhasil nggak berhasil, lulus nggak lulus, manfaat nggak manfaat, itu terserah muridnya, yang penting dia sudah menyampaikan materi dan menerima gaji, itu saja. Persoalan moral tak lagi jadi beban pikiran, karena tak masuk list tujuannya, kalaupun ada yang bersedia membayar untuk usaha perbaikan moral anak didik, mungkin dia baru bersedia menggarapnya, dengan pertimbangan dan parameter uang. Betapa jarang sekarang ini ada lembaga yang sudi menyelenggarakan dan memformalkan acara do’a bersama dikalangan para pengajar guna menyentuh hati anak didiknya, supaya antara pengajar dan yang diajar punya hubungan batin dan koneksi yang baik. Ya, paling tidak acara itu digelar seminggu sekali.
Jarang sekali. Iya to?
Pak Saiman tak memerlukan penghargaan dari lembaga apapun karena kesungguhan dan kinerjanya sebagai pengajar teladan, dia bukan pribadi yang mudah terlena dan hanyut dengan aneka ragam pujian. Karena menurutnya, manusia itu hanya mampu menilai dari kulitnya saja. Manusia tak punya kemampuan menembus apa sebenarnya yang ada dibalik kulit luar atau penampilan, apakah benar-benar ikhlas dan tulus, ataukah hanya sekadar pencitraan belaka. Apakah benar-benar berniat mencerahkan dan menyelamatkan umat dari kebodohan, ataukah sekadar ingin cari pangkat dan jabatan. Apakah sungguh-sungguh berkomitmen untuk menularkan ilmunya sebagai tanggung jawab kekhalifahan, ataukah sekadar ingin mendongkrak popularitas, dikenal, dan dikenang sebagai sosok baik, bersih nan suci. Pak Saiman terbebas dari itu semua. Dia tahu mana yang sepele dan mana yang tak boleh disepelekan.
Itulah potret Pak Saiman. Dia bukan sekadar ekshibisi, melainkan bahan renungan.
******
Kediri, 31 Desember 2013. [23.22 PM]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H