إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلَّذِينَ يُقَٰتِلُونَ فِي سَبِيلِهِۦ صَفّٗا كَأَنَّهُم بُنۡيَٰنٞ مَّرۡصُوصٞ ٤
“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh” QS. Al Ṣaff: 4.
“MAKNA LOGO”
1.Bingkai; ada dua interpretasi :
Yang pertama, ditafsirkan sebagai ‘Agama’, dalam arti segala gerak, sikap maupun pemikiran kita haruslah selalu terbingkai oleh norma-norma agama, tidak keluar dari ‘rel’ (berada dijalur agama). Sedangkan bingkai logo ini sengaja dibuat terbuka, mengindikasikan bahwa Islam itu bersifat terbuka (fair), luwes, tidak ‘mencekik’, sehinnga ia mampu menjangkau segala aspek kehidupan manusia seluruhnya. ‘Terbuka’ tersebut juga bermakna bahwa islam adalah agama yang Raḥmatan Li al ‘Ālamīn, ia bisa disinggahi/ dipeluk oleh golongan, ras, suku, maupun status sosial apapun (No Casta), Ia hadir untuk kepentingan kemanusiaan, bukan untuk kepentingan golongan, ras, suku atau pun status sosial tertentu.
Keterbukaan Islam ini juga dibuktikan bahwa ia tak pernah menolak perkembangan IPTEK, bahkan Islam mampu melaju bersama-sama dengan perkembangan IPTEK, malah-malah dianjurkan untuk mempelajarinya selama tak melanggar batas-batas yang telah ditentukan Agama—jadilah “alladhīna yatafakkarūn” yang handal, asal jangan sampai mengeroposkan wilayah “alladhīna yadhkurūn” (Tertuang dalam Surah ‘Ali ‘Imrān ayat 191 - dalam susunannya alladhīna yadhkurūn lebih dahulu daripada alladhīna yatafakkarūn). Berpikir luas (ekstensif) dan mendalam (intensif) itu setelah Berbudi Luhur.
IPTEK tanpa disertai IMTAQ pasti jadi pekerjaan yang sia-sia dan menjadi orang yang hidup tanpa tujuan akhir yang jelas. Dalam satu literatur kesusastraan Arab diriwayatkan pernah hidup seorang cendekiawan yang telah “terbakar” sendiri karena tidak mementingkan IMTAQ. Dialah Abul A’lā al Ma’arry, dengan bangganya pria tunanetra itu terhadap ilmu pengetahuan dan filsafat yang dikuasainya, ketika waktu itu ia menyusun sebait puisi estetik yang mencerminkan sikap arogannya.
“Wa inni wa in kuntu al awākhira zamānuhu la-ātin bi mā lam tastaṭi’hu al awilu”
“Dan sesungguhnya walau lahir terakhir, aku dapat berbuat sesuatu yang tak dapat dilakukan orang dulu”.
Shair ini begitu populer di zamannya, hingga anak-anak kecil pun sempat menghafal. Ada seorang bocah suatu ketika menghadang al Ma’arry. Terjadilah dialog cerdas ini. “Hal anta (apakah Anda) al Ma’arry?” kata seorang anak kecil itu. Lelaki yang ditanya membenarkan. “Apakah Anda yang mengatakan bahwa Anda dapat berbuat sesuatu (memberi kontribusi) yang tidak pernah dilakukan orang dulu?” al Ma’arry mengangguk. “Kalau begitu cobalah tambahi ḥurūf al hija’ (abjad Arab) yang berjumlah 29 itu dengan satu huruf saja!”
al Ma’arry yang terkenal tangkas menjawab segala soal tersebut dibuat kelabakan. Sebab, tentu saja ia tidak akan sanggup menambah alfabet dari alif sampai ya’ yang ditemukan orang dahulu itu, dan ia pun tidak punya otoritas untuk menguranginya. Al Ma’arry terbakar oleh pertanyaan sederhana anak kecil tadi, dan tidak lama setelah itu ia meninggal dunia secara mengenaskan.
Untuk itulah al Qur’an membimbing menusia agar memantapkan Iman dan Taqwa sebelum mengembangkan Ilmu pengetahuan dan Teknologi agar Allah mengangkat derajat diri manusia itu sendiri. Hikmah tersebut kiranya dapat menjadi ‘ibrah dan bahan renungan bagi para cendekiawan muslim.
Karena pada dasarnya keberadaan “alladhīna yatafakkarūn” itu adalah sebagai ‘penguat’/ ‘pemantap’ “alladhīna yadhkurūn”, pun juga sebaliknya—inilah salah satu makna “Iqra’!”(bacalah!—indikasi untuk terus belajar), selama masih dijalur “Bismi Rabbik” (tidak melanggar norma-norma yang ditetapkan Tuhan yang kemudian terkonsepkan dalam sebuah Agama), Islam bukanlah murni ajaran yang bersifat dogmatis, tetapi Islam sangat menghargai peran akal. Hal ini sejalan dengan salah satu Maqāṣid al Sharī’ah, yaitu Ḥifẓu al ‘Aql. Juga seperti apa yang telah disampaikan Nabi Ṣallallah ‘Alaihi wa Sallam, “al Dīnu ‘Aql, lā Dīna li man lā ‘Aqla lah”.
Yang kedua, bingkai tersebut dibuat menyerupai sebuah ‘gentong’, atau kami lebih menyebutnya sebagai ‘Gentong Peradaban’. Dahulu, —mayoritas di daerah Madura—semua penduduk menyediakan sebuah gentong berisikan air minum di depan rumahnya komplit dengan gelasnya, dengan maksud menyediakan minuman kepada siapa saja yang lewat dan membutuhkannya untuk menghilangkan dahaga. Maka, Pondok Pesantren Al Amien juga demikian, menyediakan ‘Gentong Peradaban’ yang berisikan ‘air’ yang sangat menyegarkan/ menyejukkan bagi jiwa, air itu adalah “Ilmu”, ya, air itu adalah “Ilmu”. Dengan demikian, bingkai yang berbentuk sedemikian rupa adalah salah satu instrumen untuk mengenang sejarah ‘Gentong Peradaban’ yang sangat berharga dan nyaris terlupakan.
2.Garis Ganda yang berada disisi kanan dan kiri bingkai;
Bermakna kekokohan dan kekuatan, baik kokoh/ kuat dalamsegi IMTAQ maupun IPTEK. IMTAQ mainstreamnya kepada ‘Ābid, sedangkan IPTEK tendensinya kepada ‘Ālim, keduanya saling sinergi. Jika seorang muslim mampu menjadi seorang ‘Ābid sekaligus ‘Ālim, maka akan tercipta manusia Islam yang benar-benar ‘high quality’, kompeten, serta manusia yang mampu meletakkan sesuatu ditempatnya yang benar. “Pinter tur Bener”.
3.Bintang-Bintang;
a.Bintang paling besar, tepat diposisi paling atas. Melambangkan Beliau Kanjeng Nabi Muḥammad Ṣallallah ‘Alaihi wa Sallam, sesuai posisinya, Beliau adalah panutan bagi seluruh makhluk semesta. Selain sebagai Khair al Anām, beliau juga memegang ‘jabatan’ Sayyid al Anbiyā’ wa al Mursalīn.
b.Dua bintang (atas-kanan) & dua bintang (atas-kiri), melambangkan Khulafā al Rāshidīn—Sayyidinā Abu Bakar, Sayyidinā ‘Umar Ibn Khaṭṭāb, Sayyidinā ‘Utsmān Ibn ‘Affān, dan Sayyidinā ‘Ali Raḍiyallah ‘Anhum—kesemuanya adalah para pewaris sifat Nabi Ṣallallah ‘Alaihi wa Sallam. Sayyidinā Abu Bakar mewarisi kelembutan sikap Nabi, Sayyidinā ‘Umar Ibn Khaṭṭāb mewarisi ketegasan Beliau, Sayyidinā ‘Utsmān Ibn ‘Affān mewarisi kedermawanannya Nabi, dan Sayyidinā ‘Ali adalah sebagai pewaris ilmu Beliau. Mengenai keutamaan para sahabat Nabi, Rasūlullah bersabda, “Aṣhabiy ka al Nujūmi, Biayyihim Iqtadaitum Ihtadaitum”.
c.Dua bintang (bawah-kanan) & dua bintang (bawah-kiri), keempatnya adalah lambang dari Madhāhib al Arba’ah—Imam Abu Hanīfah, Imam Mālik, Imam Shāfi’i, dan Imam Aḥmad bin Ḥanbal—kesemuanya adalah para Mujtahid yang mempunyai kapabilitas intelektual yang luar biasa, sehingga menjadi makmum diantara beliau-beliau ini adalah suatu keniscayaan.
d.Dan kesemuanya itu dibawa oleh ‘Bintang Sembilan’, yaitu Wali Songo yang diturunkan secara gradual & konsisten (sistem sanad), sehingga sampai kepada kita. Dan ilmu yang jelas sanadnya adalah lebih bisa dipertanggung-jawabkan isi maupun keotentikannya daripada ilmu yang didapatkan dengan jalan yang kurang bahkan tidak jelas darimana sumbernya. Inilah salah satu khazanah keilmuan kita. Terbukti dengan tradisi-tradisi yang ada di pesantren, sebelum memulai mengkaji suatu ilmu, pastilah terlebih dahulu mendo’akan guru-gurunya hingga bermuara pada Beliau Ṣallallah ‘Alaihi wa Sallam.
4.Buku & Pena;
a.Buku (yang berisikan tulisan) adalah lambang dari ilmu pengetahuan yang sudah ‘terikat/ tersimpan kuat’, seperti yang dipaparkan dalam kitab Ta’līm al Muta’allim, bahwasannya Ilmu itu ibarat hewan buruan, sedangkan tulisan adalah sebagai pengikatnya.
b.Pena, ia berfungsi untuk menulis. Menulis berarti sebuah ‘amal (perbuatan).
Sinergitas dari keduanya adalah wujud dari keparipurnaan laku, antara Ilmu dan ‘Amal haruslah berjalan bersama, ia bagaikan sayap kanan dan sayap kiri, jika salah satu sayap cidera, maka keinginan untuk terbang adalah omong kosong. Ilmu tanpa ‘amal juga diibaratkan seperti pohon yang miskin bahkan tanpa buah (al ‘ilmu bi lā ‘amal # ka al shajar bi lā thamar).
5.Empat garis dihalaman kiri buku, ditafsirkan sebagai Al Qur’an, Al Ḥadīth, Al Ijmā’, dan Al Qiyās. Tentu kita sering mendengar prinsip“Kembali kepada al Qur’an dan al Ḥadīth”, adalah benar secara teoritis, dan sangat ideal bagi setiap orang yang mengaku beragama Islam. Tetapi yang harus diperhatikan adalah,apa yang benar secara teoritis belum tentu benar secara praktis, menimbang kapasitas dan kapabilitas tiap orang dalam memahami al Qur’an &al Ḥadīthsangat berbeda-beda.Maka bisa dipastikan, kesimpulan pemahaman (interpretasi) terhadap al Qur’an atau al Ḥadīth yang dihasilkan oleh seorang‘Alim yang sangat menguasai fan bahasa arab dan segala fan ilmu yang menyangkut perangkat penafsiran atau ‘ijtihād’, akan jauh berbeda dengan kesimpulan pemahaman yang dihasilkan oleh orang awam yang mengandalkan buku-buku “terjemah” al Qur’an atau al Ḥadīth. Itulah kenapa di zaman ini banyak sekali bermunculan aliran yang menyeleweng jauh. Jawabnya tentu karena masing-masing mereka berusaha kembali kepada al Qur’an dan al Ḥadīth serta mengabaikan ijtihadnya para mujtahid yang jelas-jelas mempunyai intensitas pemahaman yang tinggi, dan mereka—yang masih awam—berupaya mengkajinya dengan kemampuan dan kapasitasnya sendiri. Maka dari itu, eksistensi al Ijmā’ dan al Qiyās di zaman ini adalah sebuah keniscayaan (kebutuhan yang bersifat esensial).
6.Garis Vertikal dan Garis Horizontal di halaman kanan buku, atau lebih mirip dengan huruf “L” yang terbalik;
a.Garis vertikal, bermakna hubungan antara makhluk dengan Khalik (Ḥabl min Allah).
b.Garis horizontal, bermakna hubungan antara sesama makhluk (Ḥabl min al nās).
Di pesantren, berbaur dan melebur dengan sesama adalah fenomena yang tak terelakkan. Keadaan yang seperti ini mengajarkan kepada kita bagaimana cara berinteraksi kepada sesama dengan baik, menjalin Ukhuwwah Islāmiyyah dan Ukhuwwah Insāniyyah ditengah-tengah perbedaan karakter/ perilaku, suku, ras, maupun golongan tertentu. Ini dari segi sosialnya (horizontal). Adapun sisi manusia yang lain, yaitu sebagai makhluk individual, ia diajarkan untuk terus menjalin dan meningkatkan interaksinya kepada Tuhannya (vertikal). Antara hubungan yang bersifat vertikal dan yang bersifat horizontal haruslah seimbang (Balance). Jika kita menengok kepada sikap Rasūlullah, maka kita akan menemukan sinergitas antara keduanya, ketika Nabi berada diantara para sahabatnya, Beliau selalu menyertakan Allah ditengah-tengahnya, dan pada saat Nabi sedang bermesraan dengan Tuhannya, Nabi selalu menyertakan para sahabat—bahkan seluruh ummatnya—ditengah-tengah do’a Beliau. Hubungan sesama makhluk (Ḥabl min al nās) dan hubungan kepada Allah (Ḥabl min Allah) ini disinggung dalam al Qur’an al Karīm, Surah ‘Ali ‘Imrān ayat 112.
7.Warna Hijau, sengaja dipilih karena warna ini adalah warna yang memiliki nuansa kehidupan, dengan tujuan semoga OSIMA dengan niat & himmahnya yang luhur akan tetap hidup dan bermanfaat, baik di kehidupan sekarang (dunia), maupun di kehidupan yang akan datang (Akhirat). Selainituwarnainijugaseringdiungkapkan untukmerepresentasikankeindahan, seperti yang tertuangdalamSurah al Kahfiayat 31, al Rahmān ayat 64 & 76, dansurah al Insānayat 21. Beberapariwayatjugamengatakanbahwaselainwarnaputih, Rasūlullahjugamenyukaiwarnahijau. Kalaukitasaksikan, taksedikitlambang/ logo dari ormas-ormas Islamjugamemakaiwarnaini, salahsatunyaadalahlambang/ logo ormasbesarNahdlatul ‘Ulama.
Dengan demikian, selain logo ini memuat visi & misi sebuah organisasi santri madrasah diniyyah (School of Religion) “AL AMIEN” Ngasinan – Rejomulyo – Kota Kediri, juga merupakan do’a kami. Dan semoga apa yang kami cita-citakan, kami impikan & kami do’akan dapat terejawantahkan dengan baik. Amīn.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H