Mohon tunggu...
Solehuddin Adin
Solehuddin Adin Mohon Tunggu... -

hal yang paling aku sukai adalah ketika bisa membantu orang lain

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Schactel tentang Masa Kanak-kanak

22 April 2014   13:38 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:21 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengantar Biologis

Freud, Erickson dan Bettelheim sepakat dengan para developmentalis bahwa perkembangan muncul dari daya-daya batiniah, dari dalam diri organisme sendiri dan bahwa pikiran dan tingkah laku secara kualitatif berbeda di setiap tahapannya.Ernest Schactel berusaha menulis khusus tentang kualitas-kualitas unik dari pengalaman-pengalaman diri manusia.Schactel (1903-1975) lahir dan besar di Berlin. Ia menjadi pengacara sesuai dengan keinginan ayahnya, akan tetapi ia lebih tertarik kepada filsafat, sosiologi dan kesusastraan. Schactel membuka praktik hukum sampai tahun 1933, saat Nazi memenjarakannya dan mengirimnya ke kamp pengungsian. Setelah dibebaskan dia memulai riset tentang keluarga di Inggris dan Swiss, dan kemudian pada 1935 datang ke NewYork dimana ia menerima pelatihan psikoanalisis disana. Sejak itu, Schactel bekerja sebagai psikoanalisis selama sisa hidupnya, dengan minat khusus kepada pengetesan (noda hitam) Rorschach. Meskipun begitu, Schactel lalu menjadi menjadi pemikir yang tidak konvensional di antara psikoanalisis, seoranf pria dengan gagasan-gagasan sendiri mengenai perkembangan (Wilner, 1975)

Konsep-konsep Dasar

Schactel sangat tertarik kepada persoalan amnesia bayi, yakni ketidakmampuan manusia mengingat sebagian besar peristiwa di lima atau enam tahun pertama hidupnya (Schactel, 1959, h.286). jurang yang menarik dalam memori ini pertama dikemukakan oleh Freud, yang menyatakan bahwa sewaktu menjadi bayi kita memiliki banyak sekali pengalaman mendalam-kasih, rasa takut, kemarahan dan kecemburuan- sehingga ingatan kita terhadap hal-hal itu sangat terfragmentasi. Perasaan-perasaan seksual dan agresif awal menjadi terkait dengan rasa malu, rasa jijik, dan rasa segan, sehingga semua pengalaman masa kecil direpresi ke alam bawah sadar kita (Freud, 1905, h. 581-583).

Schactel percaya bahwa Freud benar, namun hanya sebagian, karena hipotesis mengenai represi ini mengandung dua kelemahan. Pertama, amnesia kanak-kanak tidak bisa ditembus; bukan hanya perasaan-perasaan seksual dan kebencian yang mungkin telah menyebabkan ingatan-ingatan tersebut direpresi yang kemudian kita lupakan, namun juga hampir setiap aspek lain dari masa kanak-kanak awal sulit ditembus. Kedua, bahkan pasien-pasien psikoanalitik, yang kadang kala bisa menembus penghalang-penghalang represi mereka, masih tidak sanggup mengingat banyak hal di tahun-tahun pertamanya. Kalau begitu, amnesia kanak-kanak mestinya berakar pada sumber lain (schactel, 1959, h.285)

Karena itu, Schactel berasumsi kalau amnesia kanak-kanak utamanya berkaitan dengan mode-mode perseptual atas pengalaman. Kebanyakan pengalaman dan ingatan orang dewasa dilandaskan kepada kategori-kategori verbal. Kita melihat sebuah lukisan dan berkata pada diri sendiri, “Itu lukisan Picasso”, dan inilah cara kita mengingat apa yang sudah kita lihat (Soblin, 1979, h. 155-156). Sebaliknya, pengalaman kanak-kanak sebagian bersifat pra-verbal. Pengalaman ini, seperti dikatakan Rousseu, lebih didasarkan langsung kepada indra-indra. Akibatnya, pengalaman-pengalaman itu tidak bisa dikenali atau dikelompokkan- apalagi diingat- lewat kode-kode verbal, sehingga kebanyakan hilang begitu saja seiring pertumbuhan kita. Schactel membagi pengalaman kanak-kanak menjadi dua tahap; masa bayi dan masa kanak-kanak awal. Mari kita lihat mode-mode persepsi selama dua tahapan ini lalu membandingkanny dengan orientasi-orientasi orang dewasa.

Masa Bayi (Lahir sampai satu tahun)

Ketika masih bayi, kita mengandalkan indra-indra tertentu secara khusus. Salah satu indra yang vital adalah cita rasa. Bayi-bayi, memasukkan apapun ke dalam mulutnya, memiliki lebih banyak kategori rasa daripada orang dewasa, dan mungkin dapat membuat pemilahan yang lebih baik lewat perasaan ini (Schactel, 1959,h. 138, 300). Bayi-bayi juga mengalami obyek-obyek dan orang-orang lewat penciuman mereka. Karena bayi sering kali memeluk erat pangkuan, dan setelah besar sedikit, waktu berdiri, selalu berusaha meraih gendongan orang tuanya, mungkin mereka cukup sensitif dengan bau kaki, pangkuan dan organ-organ seksual dan ekskresi orang dewasa (1959, h. 138). Bayi-bayi, kata Schactel, mengetahui bagaimana cita rasa keringat dan bau ibunya jauh sebelum mereka tahu bagaimana bentuk wajahnya. Mereka bahkan bisa tahu kapan ibunya merasa tegang atau tenaang lewat indra-indra ini (1959,h.299). bayi-bayi juga sangat sensitif dengan sentuhan dan bereaksi, pada kondisi ibunya seperti yang bisa diungkap dari pegangannya yang tenang atau tegang. Bayi-bayi, akhirnya, bereaksi sangat sensitif pada temperatur lewat indra termalnya (1959, h. 92)

Schactel menyebut indra-indra ini otosentris – sensasi-sensasi yang dirasakan di dalam tubuh. Saat mencicipi atau membaui makanan, sensasi dapat kita rasakan muncul dalam mulut atau lidah. Dengan cara yang sama, pengalaman tentang panas dan dingin, atau dipegang dan disentuh, bisa terasa di dalam atau di permukaan tubuh kita. Indra-indra otosentris berbeda dari indra-indra alosentris yang lebih dominan- pendengaran, dan khususnya penglihatan. Saat kita menggunakan perasaan-perasaan keindraan alosentris, perhatian kita terarah keluar. Ketika memandang sebuah pohon, kita biasanya berfokus keluar, kepada obyek itu sendiri (1959, h. 81-84,96-115).

Indra-indra otosentris terikat sangat intim dengan perasaan-perasaan senang dan tidak senang, nyaman dan tidak nyaman. Makanan yang baik, contohnya, menghasilkan perasaan senang, sedangkan makanan anyir menghasilkan rasa jijik. Indra-indra alosentris, sebaliknya, lebih netral. Kita tidak mengalami rasa senang atau jijik, contohnya, bayi, kalau begitu, terikat dengan prinsip kesenangan, seperti dikatakan Freud.

Kategori-kategori ingatan orang dewasa- yang dominan verbal- sangat tidak cocok untuk mengingat pengalaman otosentris ini. Kita memang memiliki sejumlah kata untuk melukiskan apa yang kita cium, cicipi atau sentuh. “Anggur”, contohnya, “dikatakan kering, manis, matang, baik, lengkap dan seterusnya, namun tak satupun kata-kata ini yang memampukan orang membayangkan dengan tepat rasa dans sensasi anggur tersebut” (1959,h.298-299). Syair puisi kadang-kadang bisa menciptakan gambaran yang jelas tentang pemandangan visual, namun tidak demikian bagi gambaran bau dan cita rasa. Dunia bayi, yang begitu banyak didominasi dunia penciuman, cita rasa dan sensasi-sensasi tubuh, tidak pernah bisa tunduk pada kode-kode verbal dan pengingatan.Schactel memberikan perhatian yang sangat besar kepada indra penciuman. Budaya barat secara praktis mengabaikan pembedaan yang didasarkan indra semacam ini. Jika suatu saat berkenalan dengan seseorang, contohnya, saya mencium bau tidak enak dari badannya, mungkin saya akan menahan diri untuk bersentuhan dengannya (meski penampilannya sangat menarik secara visual). Dalam kosakata bahasa inggris, pernyataan “Dia bau” sebenarnya sinonim dengan “Dia bau sekali”. Tentunya, kita bisa menggunakan parfum untuk menutupi bau tidak enak, namun secara keseluruhan pembedaan kita berdasarkan indra ini sangat terbatas.

Tabu tentang penciuman mungkin terkait dengan fakta bahwa bau merupakan sifat utama feses. Bayi, menurut pengamatan Freud, tampaknya menikmati bau feses mereka, namun agen-agen sosial mengajarkan mereka hal yang sebaliknya. Akibatnya, anak-anak merepresi pengalaman-pengalaman anal spesifik ini., papar Freud. Dan ternyata akses ini beranjak lebih jauh lagi. Anak-anak mulai berhenti membuat pembedaan yang baik berdasarkan indra ini. Dengan itulah pengalaman-pengalaman awal mereka menjadi hilang, karena pengalaman-pengalaman tersebut tidak lagi cocok dengan kategori pengalaman yang bisa diterima orang dewasa.

Masa Kanak-Kanak Awal (Satu sampai lima tahun)

Selama masa bayi, pada umumnya kita tidak suka dengan perubahan-perubahan dalam stimulasi internal atau eksternal. Perubahan-perubahan yang mendadak – seprti rasa lapar yang tajam, rasa dingin yang menusuk, atau hilang dukungan ketubuhan – bisa cukup menakutkan. Bayi, kata Freud, lebih suka tinggal di dalam lingkungan yang hangat, damai dan aman, sama seperti ketika mereka masih tinggal di dalam kandungan ibunya (Schactel, 1959,h.26, 44-68).

Namun begitu, waktu memasuki usia satu tahun, orientasi dasar anak mulai berubah. Mereka jadi tidak begitu peduli dengan rasa aman; di bawah dorongan-dorongan pendewasaan, merka memilih minat-minat yang jauh lebih aktif dan gigih kepada hal-hal baru. Dalam beberapa hal mereka memang masih mengandalkan indra-indra otosentris, seperti memasukkan benda-benda ke dalam mulutnya. Namun sering pertambahan usia, merke semakin menggunakan indra-indra yang murni alosentris – pendengaran dan khususnya penglihatan. Mereka menguji dan mengeksplorasi objek-objek baru dengan tatapanya.

Salah satu sikap anak kecil adalah keterbukaan pada dunia. Anak memiliki kemampuan untuk menerima segala sesuatu, tidak peduli betapa kecil atau tidak signifikannya bagi kita, dengan cara apa adanya, naif dan menurut saja kepada perkataan orang dewasa. Seorang gadis kecil yang melihat serangga contohnya, akan berhenti dan mengujinya dengan serius. Baginya, serangga penuh dengan kemungkinan-kemungkinan baru dan memuaskan. Dia menerima setiap objek baru dengan perasaan heran dan takjub.

Keterbukaan ini sangat bertolak belakang dengan tingkah laku orang dewasa yang penuh dominasi. Kebanyakan orang dewasa hanya menamai objek-objek – contohnya “itu semut” – dan kemudian pergi begitu saja untuk melakukan hal lain. Orang dewasa menggunakan indra-indra alosentris yang sama- penglihatan dan pendengaran – namun bukan dengan cara alosentrik yang sepenuhnya, bukan dengan keterbukaan pada hal-hal itu sendiri. Sebaagi orang dewasa, kebutuhan terbesar kita bukan mengekplorasi dunia dengan semua kekayaannya, melainkan meyakinkan diri sendiri bahwa segala sesuatu sudah di kenal seperti yang diperkirakan dan biasa ditemui.

Tidak mudah memahami kenapa orang dewasa begitu tergesa-gesa untuk menamai, mengelompokkan dan mengklasifikasikan segala sesuatu, namun jawabannya mungkin terkait dengan prosessosialisasi itu sendiri. Ketika anak-anak bertumbuh, mereka menemukan bahwa anak-anak yang lebih besar dan rekan sebaya mereka memiliki cara standar dan konvensional dalam melukiskan dunia, dimana tekanan adalah hal terbesar yang mereka adopsi. Anak yang lebih tua dan orang dewasa menjadi takut untuk melihat hal-hal dengan cara yang berbeda dari orang lain. Selalu terdapat ancaman untuk merasa diperlakukan aneh, tidak dipedulikan atau dikucilkan. Sama seperti bayi memerlukan rasa aman dari orang yang mengasuhnya, orang dewasa juga perlu rasa aman untuk dimiliki dan diteguhkan kelompok budaya mereka. Akibatnya, mereka melihat apa yang dilihat orang lain, merasakan apa yang dirasakan setiap orang, dan merujuk kepada semua pengalaman dengan klise yang sama (1959, h. 204-206,176-177). Mereka lantas berfikir bahwa mereka tahu semua jawaban, namun sesungguhnya mereka hanya tahu cara-cara di seputar pola-pola konvensional, yang di dalamnya segala sesuatu memang menjadi akrab dan tidak ada yang menyebabkan rasa heran (1959, h.292)

Apa yang sanggup diingat orang dewasa, kalau begitu, adalah apa yang cocok dengan kategori-kategori konvensional. Sebagai contoh, waktu kita melakukan sebuah perjalanan, kita melihat semua pemandangan yang mestinya kita lihat, sehingga kita bisa memastikan untuk cerita pada teman-teman bahwa kita sudah pernah melihat Grand Canyon, bahwa kita berhenti di enam restoran Howard Jhonsen, bahwa padang pasir terlihat indah saat matahari terbenam (sama seperti yang ada di kart-kartu pos). Namun begitu, kita tidak pernah bisa memberikan gagasan riil apapun mengenai kondisi wilayah itu yang sebenarnya. Perjalanan tersebut hanya sekedar menjadi koleksi klise (1959, h. 288).

Dengan cara yang sama, perjalanan kita melewati kehidupan diingat menurut rambu-rambu konvensional. Seorang pria bisa menceritakan pada kita tentang ulang tahunnya, hari pernikahannya, pekerjaannya, jumlah anak yang dimiliknya dan posisinya dalam kehidupan, dan pengakuan yang sudah diterimanya. Namun tetap dia tidak bisa mengatakan pada kita kualitas istmewa istrinya, pekerjaannya atau anak-anaknya, karena untuk melakukan hal itu dia harus membuka dirinya kepada pengalaman-pengalaman yang mentransendensi kategori-kategori persepsi konvensional tersebut (1959, h.299).

Di antara orang-orang dewasa, kata Schactel, para seniman yang sensitiflah yang masih mempertahankan kemampuan anak-anak untuk memandang dirinya dengan cara yang segar, gamblang, dan terbuka. Hanya seniman luar biasa yang sanggup menghalangi hal-hal yang mirip dengan rasa herananak-anak saat mengamati serangga berjalan; kepada cara sebuah bola ditekan, memantul dan merespon tangan kita; atau kepada cara air dirasakan dan terlihat terciprat. Bagi kebanyakan kita, sayangnya, “usia penemuan, masa kanak-kanak awal, terkubur di bawah usia keakraban rutin, kedewasaan” (1959,h.294)

Ringkasnya, kalau begitu, tidak ada pengalaman-pengalaman atau sentrik bayi maupun pengalaman-pengalaman alosentrik anak kecil cocok dengan cara orang dewasa mengategorikan dan mengingat peristiwa-peristiwa. Dunia bayi yang penuh cita rasa, penciuman dan sentuhan, dan dunia anak kecil yang penuh pengalaman segar dan terbuka terhadap segala sesuatu dengan seluruh kepenuhan mereka, sangat asing bagi orang dewasa dan tidak lagi bisa diingat.

Implikasi-Implikasi Bagi Pendidikan

Kebanyakan pemikiran Schactel tentang cara terbaik mengasuh dan mendidik anak dimulai ketika anak-anak mulai mengeksplorasi dunia secara aktif. Schactel ingin kita mempertahankan dan mendukung keberanian anak untuk ingin tahu. Sayangnya, kita lebih sering memadamkannya. Sebagai contoh, waktu bayi mulai memegang dan menguji segala sesuatu yang mereka lihat, orang tua seringkali menjadi terlalu cemas. Orang tua, seperti diamaati oleh Montessori juga, takut anak-anak mereka bertindak terlalu gegabah, bahwa mereka bisa memecahkan barang-barang, atau melukai dirinya. Padahal kita cukup membuat rumah sebagai tempat yang aman untuk anak membuktikan dirinya dengan menjauhkan semua objek yang mudah pecah dan berbahaya kemudian mengizinkan mereka mengeksplorasi segala sesuatunya. Namun demukian, orang tua seringkali menjadi cemas di titik ini, dan hasilnya adalah anak-anak belajar bahwa terlalu berbahaya jika terlalu ingin tahu tentang dunia (1959, h.154)

Orang dewasa bisa juga melemahkan keingintahuan anak-anak dengan cara memberikan nama, pengelompokkandan penjelasan segala sesuatu kepada anak. Contohnya, sewaktu anak menjadi ingin tahu sesuatu, orang dewasa seringkali menyebutkan nama objek, mengandaikan tidak ada lagi hal lain yang perlu diketahui dari objek tersebut (1959,h.187). jika seorang anak perempuan yang masih kecil berseru ‘Da!” dan menunjuk kepada seekor anjing dengan gembira, maka ayahnya hanya berkata “ya, itu seekor anjing”, lalau mendorongnya untuk meneruskan jalannya. Si ayah mengajarkan anak perempuannya itu sebuah kategori konvensional, kata-kata, ‘menjelaskan’ objek tersebut. Padahal dia bisa mengatakan ‘ya itu seekor anjing’ lalu berhenti dan mengamatinya bersama si anak. Dengan cara inilah si ayah baru bisa menghargai dan mendukung minat aktif anaknya itu kepada dunia. Secara keseluruhan, Schactel lebih banyak mengatakan pada kita bagaimana cara orang tua, guru dan rekan sebaya anak-anak memadamkan keingintahuan mereka kepada bagaimana cara terbaik kita melindungi dan mendukung keingintahuan itu. seperti Rousseau, dia menekankan bahwa hal terpenting yang harus dilakukan adalah menhindari anak dari pengaruh-pengaruh negatif. Jika kita bisa mengurangi kecenderungan untuk memadamkan dunia mereka, anak-anak sendiri akan memperkuat ketertarikan aktif dan terbuka mereka kepada dunia berdasarkan kecenderungan-kecenderungan spontan mreka sendiri.

Evaluasi

Freud melihat bahwa tragedi terbesar kehidupan adalah untuk bisa tinggal di dalam masyarakat, manusia harus banyak merepresi dirinya sendiri. Dan represi ini terarah kepada dorongan-dorongan instingtualnya. Erickson banyak mengharap tema ini, menyatakan bahwa potensi-potensi positif bagi otonomi, inisiatif dan kekuatan-kekuatan lain biasanya menjadi terbatasi di dalam proses sosialisasi. Sedangkan kontribusi Schactel adalah menyoroti seberapa banyak kita kehilangan potensi-potensi tersebut. Baginya, kehilangan itu terjadi bukan karena kita merepresi dorongan-dorongan kita, atau karena ego yang memperkuat otonomi dibatasi, melainkan karena kita kehilangan sentuhan dengan seluruh mode pengalaman awal anak-anak kita. Bayi yang melakukan kontak langsung dengan obyek-obyek lewat indra penciuman, cita rasa dan sentuhan, dan anak-anak yang memiliki keingintahuan terbuka kepada dunia harus tunduk jika ingin bertumbuh di dalam dunia orang dewasa yang tersosialisasikan, yang memandang dunia lewat skema-skema pemikiran yang sangat sempit, verbal dan konvensional. Schactel juga menunjukkan, di seluruh tulisannya, nilai dari pendekatan fenomenologis terhadap masa kanak-kanak. Ia menyediakan sepercik pemahaman tentang bagaimana dunia bayi dilihat dari dalam betapa berbedanya mereka mengalami dunia lantaran perbedaan dominasi indar. Pendekatan fenomenologis seperti ini layak diaplikasikan secara lebih luas lagi di dalam psikologi perkembangan. Walaupun begitu, karya Schactel juga memiliki kelemahan, terlalu menyederhanakan segala sesuatu. Untuk satu hal, dia terlalu meremehkan pentingnya penglihatan pada bayi. Sebagai contoh, kita sudah melihat dai dalam bab tentang etologi didepan bagaimana pentingnya perhatian bayi dituangkan lewat pola-pola visual, sperti wajah contohnya; schactel juga mengkaji bahasa dari satu sisi saja. Ia merasa bahwa pencapaian bahasa, mematikan krestifitas, karena anak harus belajar mematuhi peneglompokkan konvensioanl atau kata-kata untuk bisa mengalami pengalaman itu sendiri. Meskipun benar untuk sebgian, namun bahasa ternyata juga bisa sangat kreatif, seperti akan kita lihat pada bab tentang chomsky nanti.

Namun demikian, Schactel banyak berjasa untuk membuat korupsi para psikolog dan psikoanalis tetap sadar terhadap besarnya nilai cara berfikir Rousseau yang radikal. Dia menunjukkan betapa sangat berbedanya dunia anak-anak dari dunia orang dewasa dan betapa potensi manusia untuk pengalaman kreatif yang segar bisa hilang di dalam proses untuk menjadi anggota yang sesuai dengan tatanan sosial yang konvensional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun