Mohon tunggu...
Dini Kusumawardhani
Dini Kusumawardhani Mohon Tunggu... karyawan swasta -

an architecture graduate who currently working as a writer and journalist for architecture publication.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jangan Biarin Indonesia Asem Terus

26 Oktober 2010   01:34 Diperbarui: 6 Juli 2015   10:25 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pernah ga teman-teman mengalami masa-masa labil ketika kalian sering mempertanyakan dalam hati, "Kenapa sih gue terlahir kaya gini?!” atau "Kenapa sih gue ga kaya dia yang cantik/ganteng, keren, populer, pintar, menarik, gaul, mudah banget dapet pacar (hahahaha)?! dan sejenisnya? Saya pernah! Saya pernah hidup dalam kelabilan identitas ketika saya berusia belasan. Bingung menentukan jati diri, ga jelas arahnya ke mana, takut tidak diterima, mau bergaul dengan kelompok yang mana atau saya nanti mau jadi seperti apa. Ketika akhirnya saya sampai pada suatu titik dimana saya mulai belajar untuk mengenali diri saya lebih jauh, lebih dalam dan akhirnya mengerti bahwa menjadi diri sendiri itu ternyata lebih membahagiakan dan menyehatkan :) -------------------------------------------------------------------------------------------------------- Awal 2010 kemarin, saya mendapat kesempatan untuk mengikuti beberapa kegiatan dan pameran arsitektur berskala nasional dan internasional yang melibatkan mahasiswa/i arsitektur dari berbagai universitas dan institut di Indonesia serta beberapa negara Asia dan Eropa. Kebetulan, saya dan teman saya, Woro, mewakili kampus saya yang kebetulan satu-satunya dari Sumatera. Selama kegiatan itu, saya bisa merasakan betapa berbedanya kultur pendidikan arsitektur yang selama ini saya terima dengan mereka yang ada di luar komunitas saya. Ketika saya dan Woro menghadiri pameran sayembara desain rumah yang diselenggarakan oleh Tabloid Rumah di Plaza Indonesia, Jakarta, kita berkesempatan untuk berdiskusi dengan Mas Adi Purnomo (akrab dipanggil Mas Mamo), seorang arsitek, yang juga penulis. Beliau adalah sosok yang sederhana dan senang berdiskusi tentang pendidikan arsitektur di Indonesia. Mas Mamo (kiri) Studi-O Cahaya, salah satu karya Mas Mamo yang memanfaatkan lighting sebagai konsep utamanya Jadi waktu itu, kita sempat curcol (curhat colongan) dan  mengeluh ke beliau tentang gimana rasanya jadi underdog di kalangan mahasiswa arsitektur se-Indonesia, merasa jadi anak bawang karena berasal dari daerah yang lingkungan, fasilitas dan atmosfer anak mudanya tidak sekreatif daerah lain, terutama di Pulau Jawa. Apa tanggapan beliau?

"Jangan pernah salahkan lingkunganmu, kamu yang harus berani breakthrough. Kamu boleh lihat mereka, belajar dari mereka, tapi kamu ga perlu meniru gaya mereka untuk bisa menjadi hebat. Lingkungan kamu ga kreatif? Kamu yang harus memulainya! Manfaatin lokalitas dan potensi kreatif daerah kamu, kreatifnya anak Sumatera ga harus sama dengan anak Jawa kan?!"

Deg! Saya dan Woro saling pandang. Pikiran berkecamuk dalam otak dan hati masing-masing. Saya tahu, saya sadar, ternyata memang ga perlu jadi orang lain untuk "dianggap". Menerima kenyataan dan keadaan diri sendiri memang tidak mudah. Apalagi jika kita mulai masuk di lingkungan baru, yang lebih luas, yang menuntut kita untuk jadi seseorang yang "lebih". Hampir bisa dipastikan, kita akan mengalami "culture shock". Menarik diri dari lingkungan, malu, minder, pasif dan jadinya tidak bisa mengeluarkan semua kekuatan kita, padahal kita tau banget kalo kita mampu. Sepulang dari Jakarta, saya langsung curhat sama Pak Johannes Adiyanto a.k.a Jo-A, dosen merangkap teman ngobrol sekaligus partner diskusi saya semasa kuliah sampe sekarang, tentang hal itu. Beliau bilang, "Din, think locally, act globally. Kamu harus jadi orang seperti itu" ------------------------------------------------------------------------------------ Sekarang, sekitar 7 bulan sejak kejadian itu, di negeri orang yang kulturnya sangat jauh berbeda dengan Indonesia ini, saya kembali teringat pesan Pak Jo-A tentang pentingnya berpikir lokal di tengah globalisasi. Kadang ada perasaan direndahkan karena mungkin kita berasal dari negara yang mereka sebut sebagai "negara dunia ketiga" dan istilah lainnya. Secara personal, saya tidak mau dan tidak akan mempermasalahkan praduga-praduga yang mungkin muncul selama program ini berlangsung. Karena bagi saya, sekarang bukan saatnya menghabiskan waktu untuk mengidentifikasi siapa yang "kurang" atau siapa yang "lebih", tapi justru untuk meraup hal positif sebanyak mungkin dan belajar sebanyak mungkin dari kultur dan bangsa mereka ini untuk mengembangkan pribadi yang lebih baik, yang lebih matang, yang tetap menjadi diri sendiri, yang tetap rendah hati, berkarakter lokal namun berwawasan global. Bukan pemuda Indonesia yang setelah program malah jadi lebih bule daripada bule, sok amrik gitu! Mungkin karena alasan ini juga, ada jargon yang selalu disebut-sebut oleh Asosiasi Alumni Canada World Youth Indonesia, yang selalu diamanahkan kepada kami, yaitu "Involve, But Not Dissolve" yang artinya kurang lebih "Terlibatlah, Tapi Jangan Larut". Ngomong-ngomong tentang larut, kalau teman-teman dikasih satu gelas jus jeruk yang masih asem, kalian bakal ngapain? Minta gula atau marah-marah minta ganti jus semangka yang jauh lebih manis? Kalau diibaratkan, air jeruk yang masih asem itu sebagai Indonesia, gula itu sebagai hal-hal positif yang mau kita larutin ke Indonesia dan jus semangka itu sebagai negara/bangsa lain. Kita diberi Tuhan hidup sebagai putera/i Indonesia, negara yang bagi sebagian kalangan mungkin melihat kekurangannya jauh lebih menonjol daripada kelebihannya, sekarang apa yang mau temen-temen lakuin? Mengeluh, ngatain bangsa sendiri, berontak ga mau dan bilang, "Kenapa sih gue lahir sebagai orang Indonesia, negeri kaga ada beres-beresnya, serba ketinggalan, malu gue! Kalo dikasih kesempatan reborn, gue minta buat terlahir lagi sebagai orang Singapur atau Kanada atau Amrik aja deh, modern, maju, gaul gitu!" ATAUteman-teman mau berusaha melarutkan hal-hal positif ke dalam Indonesia agar bisa jadi lebih baik? Sekarang, tinggal pilih, mau jadi pemuda Indonesia yang seperti apa? Jawab sendiri dalam hati, you choose! :) --------------------------------------------------------------------------------------------------- catatan pinggir : Tulisan ini saya buat gara-gara ga sengaja lagu Apatis-nya Ipang mengalun di mp3 saya dan ada liriknya yang saya suka banget dari dulu (sampe saya taro di shoutbox bawah profile picture saya), yaitu :

“Sudah lahir, sudah terlanjur, mengapa harus menyesal? Hadapi dunia berani, bukalah dadamu, tantanglah dunia, tanyakan salahmu, wibawa!”

Tulisan ini juga bisa dibilang sebagai introspeksi diri saya. Biar saya SELALU bangga jadi diri sendiri, jadi pemuda Indonesia yang bertanah air satu, berbangsa satu dan berbahasa satu, yang mampu berjalan dengan tegak maju, tanpa harus malu. Malam Pengukuhan Peserta Pertukaran Pemuda Indonesia Kanada 2010-2011 Deny (Maluku) - this pic is really awesome :D

BIARPUN SAYA PERGI JAUH, TIDAKKAN HILANG DARI KALBU. TANAHKU TAK KULUPAKAN, ENGKAU KUBANGGAKAN. SELAMAT HARI SUMPAH PEMUDA 28 OKTOBER !

------------------------------------------------------------------- (Dini Kusumawardhani, Peserta Pertukaran Pemuda Indonesia Kanada 2010-2011, Perwakilan Sumatera Selatan)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun