Mohon tunggu...
Dini Kusumawardhani
Dini Kusumawardhani Mohon Tunggu... karyawan swasta -

an architecture graduate who currently working as a writer and journalist for architecture publication.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Apa Itu "Tensi," Bu Dokter?

29 September 2011   15:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:30 988
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari keempat Idul Fitri, panas terik matahari di luar membuat saya hanya ingin bermalas-malasan dirumah. Namun tidak bagi Mama Agustin (MA) yang gencar mengajak saya menemaninya bersilaturahmi ke kediaman seorang dokter senior di kawasan Pusri, yang merupakan rekan kerja MA, Eyang Danar namanya. Dengan malas saya mengganti pakaian dan segera berangkat dengan MA dan kedua kakak saya, Nugi dan Utha. Rumah Eyang Danar asri sekali dengan halaman luas berumput dan ditanami berbagai tanaman. Suara gantungan bambu di muka rumah semakin menambah keasrian rumah ini. Usia Eyang Danar saya taksir sekitar 60-70 tahun, namun beliau masih aktif sebagai dokter dan staff pengajar di salah satu sekolah kesehatan di metropolis.

Beliau ini sangat senang bercerita dan berdiskusi. Cookies cokelat lezat yang disediakan beliau di meja belum mampu mengalihkan perhatian saya kepada apapun termasuk diskusi demi diskusi yang berlangsung di antara MA dan Eyang Danar (re: larangan merokok di Arab Saudi-lah, Tim Kesehatan Haji Indonesia-lah, dll), sampai akhirnya beliau memulai suatu topik yang mengalahkan sensasi cookies cokelat yang lezat itu.

(oknum) dokter sekarang masih banyak yang terjebak dalam arogansi

Beliau memulai pembicaraan. Menurut pengalaman beliau yang berprofesi sebagai dokter berpuluh tahun lamanya, beliau melihat dengan mata kepala sendiri tentang masih adanya (oknum) dokter yang 'meninggi'. Beliau menceritakan tentang seorang dokter muda yang bertugas di sebuah puskesmas. Dokter muda tersebut kedatangan pasien yang mengaku panas tinggi tak turun-turun sudah beberapa hari. Pasien tersebut memulai asumsi sendiri dengan malu-malu "jangan-jangan tipes, Dok" dengan muka memelas. Dokter muda tersebut memegang dahi pasien dan menggumam "benar, ini gejala typhoid" sambil mulai menulis sesuatu yang sepertinya resep obat klasik untuk (gejala) tipes. Pasien pun berterimakasih dan pulang. Selesai. Tak sampai lima menit. Eyang Danar bercerita dengan nada gemas namun tetap lembut dengan logat Jawa-nya. "Dokter muda itu bahkan tidak bangkit dari kursinya!" geram beliau."Harusnya dia beranjak, dekati dan sentuh pasien, ambil termometer, letakkan di ketiak, dengarkan keluhan secara lengkap, baru mengambil kesimpulan" lanjut beliau. Eyang Danar berkata bahwa arogansi profesional dokter memang sudah ada sejak di dulu. Khususnya bagi masyarakat di Indonesia, profesi dokter merupakan profesi'wow' karena menyimbolkan kepintaran dan kemapanan. ______________________________________________________________________________________________ Selain diharuskan memahami berbagai istilah medis yang njelimet itu, mahasiswa kedokteran pun dituntut untuk selalu tahan banting. Kakak perempuan saya, Utha, sering mengeluh dan kerap mewek gara-gara kelelahan pada saat awal-awal jadi mahasiswa kedokteran. Ketika masih sekolah, kamar Utha rapi dan manis khas anak perempuan. Setelah kuliah, kamarnya mulai dipenuhi beragam buku-buku yang sangat tebal bak kitab dan mulai bermunculan barang-barang aneh di kamarnya, seperti tengkorak yang diletakkan dengan manis di atas lemarinya. Man, sumpah itu menyeramkan banget! Dulu saya sering cemburu sama Utha gara-gara MA dan PH jadi lebih care sama Utha. Lah, saya ngebecandain dia di meja makan aja bisa diomelin "eh, udah-udah, Utha tuh capek abis jaga". Kalau sudah begitu, saya mulai mencari pembenaran bahwa kuliah saya di arsitektur juga capek. Saya juga begadang, saya juga jarang tidur, saya juga banyak tugas yang harus dikerjain non-stop, mata kuliah saya bebannya paling kecil 6 SKS. Itu sudah cukup menyiksa fisik saya selama empat tahun! (untungnya batin saya ga ikut tersiksa, karena saya suka banget belajar arsitektur). Tapi tetep aja saya yang harus ngalah, hiks. Baru-baru ini saya mengamati timeline twitter salah satu teman, seorang mahasiswa kedokteran. Teman saya itu curhat kalau dia suka sedih karena sering dituduh "sok sibuk" dan "sok capek" sama orang-orang di luar sana, padahal mereka ga bener-bener tahu perjuangan mereka buat jadi dokter, perjuangan mereka buat harus tetep terlihat segar, ceria dan bersemangat di depan pasien (padahal mereka sendiri juga capek banget abis begadang jaga berhari-hari gitu). Sedih ya? Saya jadi merasa bersalah dulu suka banding-bandingin capek-nya anak kedokteran sama arsitek. Beneran deh, itu salah satu kebodohan terbesar yang pernah saya buat karena setelah dipikir dengan matang dan logis, emang capek ya mau jadi dokter. Siapa sih yang batinnya ga senantiasa terbebani kalau urusannya sama kesehatan bahkan nyawa orang? Itu sebabnya (mungkin) kenapa mahasiswa kedokteran capeknya berlipat ganda dibanding mahasiswa yang lain. Maaf ya teman-teman, kan masih suasana lebaran nih :( Saya terbangun dari lamunan karena Eyang Danar sudah kembali bercerita. Menurut beliau, arogansi profesional itu bukan hanya nampak pada tata cara atau bahasa tubuh dokter ketika memperlakukan pasien, tapi juga dari kata-kata. Seorang dokter yang baik tidak akan sering menggunakan istilah-istilah medis yang asing ketika pasien berkonsultasi. Mungkin kalau pasiennya berkecimpung di dunia kesehatan seperti perawat, analis kesehatan atau bidan, mereka masih bisa menangkap maksud si dokter. Coba kalau pasiennya datang dari pelosok desa, tanpa pendidikan medis bahkan tidak lulus sekolah dasar! Apa mereka akan mengerti tentang "tensi" atau "visio" misalnya? Kenapa tidak diganti saja dengan bahasa awam seperti "tekanan darah" atau "penglihatan" ? Pasien akan lebih mudah mencerna maksud si dokter kan? Eyang Danar berhenti sejenak dan bertanya kepada Utha, "kalau kamu kedatengan pasien buat konsultasi, berapa lama waktu konsultasinya?". Utha berpikir sejenak, "err..lima menit, paling lama sepuluh menit". "Itu dia masalahnya .... " jawab beliau dengan cepat. Beliau bercerita tentang dirinya yang kalau sedang menerima konsultasi akan memakan waktu 20-30 menit per pasien. Bukan sok, tapi menurut beliau mengobrol dengan pasien dari hati ke hati malah bisa jadi obat ampuh bagi pasien karena merasa sangat diperhatikan, hatinya menjadi senang dan tenang. Sugesti yang paling ampuh dari apapun! Saya melirik ke Utha dan dalem hati bilang, "rasain lo jadi dokter masa konsultasi cuma lima menitan" hahahaha. ________________________________________________________________________________________________ Bukan maksud saya mempermasalahkan profesi dokter. Ini hanya untuk dijadikan ilustrasi karena kebetulan saya dapet ceritanya dari seorang dokter. Saya yakin kok diluar sana juga banyak oknum-oknum dari berbagai latar belakang pekerjaan yang masih menganut paham "arogansi profesional" ini, tidak hanya dokter. Dan saya juga yakin tidak semua dokter seperti itu. Ga usah jauh-jauh, saya yang belum jadi profesional di bidang apa-apa ini saja kadang masih suka sok pinter, masih sok make istilah-istilah arsitektur ke temen-temen yang bukan arsitek (yang tentu bikin mereka bingung, ini artinya apaan), padahal siapa sih saya? emang udah segede apa sih kapasitas saya di bidang ini sampe bisa sok? Bukankah kita harusnya jadi padi yang semakin berisi semakin merunduk, bukan jadi ilalang yang makin mencuat ke atas namun makin merugikan? Bukankah berhasil itu adalah ketika kita bisa membagi ilmu dengan orang-orang sekitar kita dengan cara yang sederhana? Percuma ya perjuangan dan kelelahan kita selama kuliah kalau pada akhirnya nanti kita hanya menjadi pribadi yang 'tinggi' dan angkuh. Teringat satu kalimat terakhir dari Eyang Danar sebelum kami berpamit pulang :

Jangan pernah seorang dokter berkata dalam hati sekalipun bahwa dia telah berhasil membantu persalinan seseorang atau sukses melakukan operasi atau menyembuhkan pasien. Seorang dokter itu hanya berusaha, dia perantara, hanya Tuhan yang bisa menyelamatkan nyawa.

Setuju Eyang, memang sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain dan sehebat-hebat manusia, tetap Tuhan yang Maha Besar :)

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun