Mohon tunggu...
Dini Kusumawardhani
Dini Kusumawardhani Mohon Tunggu... karyawan swasta -

an architecture graduate who currently working as a writer and journalist for architecture publication.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Agar Ibu Pertiwi Tak Terus Bersusah Hati

16 Agustus 2011   23:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:43 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Evacuated to Safety - The Guardian, October 28, 2010

October 28, 2010 Saya masih berada di Charlottetown, Prince Edward Island (PEI), Kanadauntuk menjalani Program Pertukaran Pemuda Indonesia Kanada (PPIK) ketika Indonesia mengalami serangkaian bencana alam : banjir tahunan di ibukotaJakarta, banjir bandang di Wasior (Papua Barat), gempa di Kepulauan Mentawai (Sumatera Barat) dan meletusnya Gunung Merapi di Yogyakarta. Berita tersebut dengan cepat menyebar ke seluruh dunia, termasuk Charlottetown, melalui media cetak dan elektronik. Awalnya saya merasa heran ketika volunteerlain di tempat saya bekerja, Habitat for Humanity PEI, terus menanyakan saya berasal dari mana, padahal saya sudah volunteering disana hampir satu bulan. Pegal mulut ini menjawab "Indonesia, Indonesia, Indonesia", sampai akhirnya,Mario, manajer saya menyodorkan The Guardian, koran lokal di PEI, dan saya baru mengerti kenapa. Di halaman depan, terpampang foto seorang nenek dengan muka antara letih dan pasrah sedang digendong oleh seorang paruh baya yang bermuka sama letihnya. Korban Merapi. [caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Evacuated to Safety - The Guardian, October 28, 2010"][/caption]

[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Indonesia"]

Indonesia's Most Volatile Volcano Causing Deaths
Indonesia's Most Volatile Volcano Causing Deaths
[/caption]

Di bus, di tempat kerja, di rumah, di jalan, di mana-mana yang semua sadar kalau saya orang Indonesia langsung membombardir saya dengan pertanyaan dan pernyataan, dari yang klasik sampai yang ajaib, sampai saya bingung dan lelah untuk menjawabnya.

how was your feeling? i am sorry to heard that!
heard that the volcano was erupted? it is crazy!
is the earthquake always happen in Indonesia? what? the capital city of Indonesia face a knee-length-flood? how could it be? high sea level? poor waste management and drainage system?

Oh, Indonesia, apa lagi yang harus saya jelaskan kepada orang-orang asing ini? Tidak ada yang bisa kami lakukan secara langsung untuk membantu saudara-saudara di Indonesia bagi para perantau di negeri asing yang berada di belahan bumi lain ini. Sampai akhirnya, saya dan teman-teman Indonesia lainnya berinisiatif untuk mengadakan malam penggalangan dana untuk upaya pemulihan pasca bencana di Indonesia. Setelah berdiskusi dengan project supervisor dan grup, kami memutuskan untuk melakukan malam penggalangan dana dengan konsep pagelaran seni dan budaya Indonesia (culture show). Setelah menentukan tanggal pelaksanaan, kami menjalani kegiatan ekstra, seperti latihan menari, menyanyi dan bermain alat musik tradisional, di luar kegiatan-kegiatan inti program. Biasanya, kami berlatih di sebuah community center di pusat kota yang berjarak cukup jauh dari rumah saya. Pada hari Senin sampai Jumat, saya biasa menumpang bus untuk mencapai tempat tersebut. Selebihnya bus tidak melewati daerah rumah saya pada hari Sabtu dan Minggu, hari dimana kami sepakat untuk menggunakannya untuk latihan walaupun seharusnya grup tidak memiliki jadwal apapun pada hari-hari tersebut. Bagi saya yang selama di Indonesia jarang berjalan kaki, latihan di hari Sabtu dan Minggu merupakan mimpi buruk karena harus berjalan kaki selama satu jam, melintasi The Hillsborough Bridge, jembatan panjang yang berbatasan langsung dengan Samudera Atlantik yang memisahkan distrik Town of Stratford, rumah saya, dengan pusat kota, di tengah cuaca musim dingin dan hembusan angin Atlantik yang menusuk tulang sambil mendukung notebook tua seberat dua setengah kilogram setiap latihan karena disanalah semua file musik, video dan media pendukung lainnya berada. Hari-hari terus berlalu, sampai tak terasa malam penggalangan dana hanya tinggal hitungan minggu. Malam penggalangan dana ini jelas bukan hanya sekedar pertunjukan menyanyi dan menari. Faktor teknis seperti tempat yang akan digunakan, makanan Indonesia yang akan dihidangkan untuk penonton, pembuatan media publikasi, pengumpulan barang-barang yang akan dilelang, dan sebagainya tentu tidak boleh diabaikan. Mungkin karena terlalu fokus latihan performance, hal dan lain-lain itu sempat terabaikan sampai akhirnya kami mulai kelabakan ketika poster untuk publikasi belum menunjukkan tanda-tanda telah dibuat! [caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Latihan Menari Jai (Nusa Tenggara Timur)"]

Latihan Tari Jai (NTT)
Latihan Tari Jai (NTT)
[/caption]

[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Perayaan Sumpah Pemuda, November 2010"]

[/caption]

Dalam kepanitiaan, saya didaulat sebagai koordinator tim dekorasi pada hari H pelaksanaan. Namun saya, yang kebetulan hobi mendesain, berinisiatif untuk membuat desain kasar poster dengan informasi seadanya mengenai teknis malam penggalangan dana (waktu, tempat, harga tiket, dan sebagainya), walaupun saya bukan termasuk di tim publikasi. Ketika saya menunjukkan kepada grup, mereka menyukai desain poster saya. Hal ini berbuntut panjang, saya yang hanya berniat memberi gambaran bentuk poster malah diminta untuk membuat poster utuh dengan informasi selengkap mungkin dengan deadline hanya SATU hari, lebih tepatnya hanya beberapa jam, karena poster harus disebar sesegera mungkin.

Kesal. Penat. Letih.
"Sesegera mungkin kata lo? Besok deadline? Ngapain aja lo semua selama ini? Anak publikasi pada kemana? Lo semua pikir bikin poster gampang, sejam beres? Enak aja nyuruh!" Ingin rasanya ngajak berantem teman-teman satu grup. Ingin rasanya bersikap apatis dan bodo amat. Ingin rasanya jadi pecundang dan bilang "gue udah capek. I quit"

Tapi tentu saja kalimat dan reaksi kekanak-kanakan itu cuma saya simpan sendiri di dalam hati, tidak sampai tumpah ruah di depan teman-teman. Ego saya harus ditahan walaupun susah, walaupun tidak segampang itu. Saya merasa lelah sekali, karena harus mengedit poster tersebut dalam waktu yang sangat terbatas, sedangkan kegiatan grup pada hari itu berlangsung sampai tengah malam dan saya baru sampai dirumah dini hari. Tapi saya tahu, bukan cuma saya yang lelah, teman-teman saya semuanya lelah. Saya hanya memiliki waktu kurang dari enam jam (termasuk waktu untuk istirahat) sebelum pagi menjelang. Dengan tubuh yang sudah teramat lelah dan mata yang sudah siap terpejam, saya masih harus berkutat di depan notebook tua saya dan ngebut membuat poster sampai tiga jam lamanya. Belum lagi, paginya yang kebetulan hari Sabtu, saya harus berjalan kaki menembus hawa dingin dan melawan hembusan angin Atlantik yang menusuk tulang sambil mendukung notebook tua dan beragam alat musik selama satu jam dalam keadaan tubuh yang sudah sangat lemas.

Walaupun tinggal berapa hari menjelang malam penggalangan dana, project supervisor kami tetap tidak memberikan kelonggaran sedikitpun untuk bolos kerja atau membatalkan kegiatan inti grup lainnya. Kocar kacir dari tempat kerja kecommunity center, bolak balik lari ke rumah karena ketinggalan sesuatu yang penting untuk latihan, menyisipkan waktu latihan di sela-sela kegiatan grup, sudah menjadi makanan kami sehari-hari selama dua bulan terakhir. Selisih pendapat dan saling tunjuk dengan emosi di dalam grup pun tidak terhindarkan. Semua sudah merasa lelah, bosan dan sudah tidak antusias, terutama bagi teman-teman Kanada yang tidak biasa menari dan menyanyi. Namun, ketika malam penggalangan dana tersebut berlangsung dengan sangat sukses dengan terkumpulnya CAD 2,400 atau kurang lebih dua puluh empat juta rupiah, kami berpelukan erat dengan terharu, kelelahan itu terbayar sudah, teman! Penonton tidak berhenti memuji, bertepuk tangan dan melakukan standing ovationselepas pertunjukan kami. Pasca malam penggalangan dana, warga Charlottetown tak henti-hentinya membicarakan "A Night in Indonesia" bahkan dengan lugasnya mereka mengatakan mereka jadi penasaran dan ingin berkunjung ke Indonesia setelah melihat penampilan kami malam itu. Yang lebih mengharukan lagi, akhirnya kami berhasil menggeser headline tentang berita serangkaian bencana itu dengan berita suksesnya penampilan kami diThe Guardian! Indonesia sukses menjadi buah bibir di Charlottetown dengan cara yang luar biasa : dari berita menyedihkan ke berita membanggakan.

Fundraising Planned on 7 Dec
Fundraising Planned on 7 Dec

Success of A Night in Indonesia
Success of A Night in Indonesia
[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Global Jam in Summerside"]
[/caption]

December 17, 2010 Saya masih termangu menatap jalanan kosong ketika Annie, ibu angkat saya, menepuk pundak saya dan memberi kode bahwa kami harus segera berangkat ke pusat kota, dimana sebuah bus akan mengantarkan kami ke Halifax, Nova Scotia, pagi itu. Pulang. Saya merapatkan jaket dan mengencangkan syal yang melilit leher saya. Dingin. Sepanjang jalan saya diam. Mobil terus melaju melintasi tempat-tempat yang terlalu banyak menyimpan kenangan di hati ini, terutama jembatan yang jadi saksi bisu kelelahan saya yang hampir setiap hari melintas di atasnya dengan terbungkuk-bungkuk mendukung notebook tua dengan nafas satu-satu beruap karena hembusan angin Atlantik yang menusuk tulang. Gila, saya pernah melalui masa-masa itu. Saya merasa jauh lebih kuat, dari segi fisik dan emosional. Sesaat sebelum melepas saya pulang, Marc, ayah angkat saya, sempat berkata :

Kalian telah meninggalkan jejak yang luar biasa di kota ini. Ketika Charlotettown hanya berpikir bahwa Indonesia adalah suatu titik entah dimana di dunia dengan bencana-bencananya, kalian telah menunjukkan sisi lain dari Indonesia, sisi lain yang indah dan tidak seburuk bencana-bencana itu. Charlottetown telah memiliki pandangan baru tentang Indonesia karena usaha kalian. Kalian akan selalu diingat di setiap sudut kota ini. Terima kasih. Indonesia pasti bangga memiliki kalian.

Air mata ini tak sadar menetes ketika perlahan bus beranjak pergi meninggalkan serombongan pengantar yang tak hentinya melambaikan tangan ke arah kami. Ah, berbulan-bulan latihan keras yang menguras hati, pikiran, keringat dan air mata itu ternyata meninggalkan kesan yang sangat mendalam. Dan saya baru menyadari ternyata kekuatan motivasi untuk membantu saudara-saudara di Indonesia yang sedang mengalami musibah itu sudah berhasil mendorong saya menjadi manusia yang ikhlas dan rela berkorban untuk kepentingan bersama. Menahan ego agar semuanya baik-baik saja. Sejak saat itu, saya bersumpah untuk terus berusaha bersikap positif walau dalam kelelahan yang luar biasa sekalipun, dalam ketidakmungkinan yang paling tidak mungkin sekalipun. Karena saya yakin sebenarnya di balik semua itu tersimpan hikmah dan berkah yang melimpah. Bukan cuma untuk saya, tapi lebih dari itu, untuk Indonesia. [caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Brosur Pariwisata Indonesia - A Fundraising Night, December 7, 2010"]

[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun