Kami bangga melihat kesediaan Dini menjadi Pengajar Muda. Dini merupakan generasi baru republik ini yang menyatakan siap untuk mendapat kehormatan untuk melunasi salah satu janji kemerdekaan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Melihat kuatnya motivasi Dini untuk mengabdi membuat kita pantas bangga dan makin yakin bahwa di tangan anak-anak muda seperti Dini-lah bangsa ini akan maju dan cerdas, republik ini akan adil dan makmur. Saya jadi ingat betapa Soekarno dan Hatta, serta para pejuang lainnya, memilih mengabdi dan berjuang demi kemerdekaan padahal mereka adalah sarjana di saat bangsa ini belum terdidik. Mereka bisa saja memilih hidup nyaman, mapan dan sejahtera untuk dirinya dan keluarganya. Tapi mereka memilih untuk berjuang. Hari ini kami bangga menyaksikan anak muda penerus kegemilangan itu. Dini, kami bersyukur dan kami bangga dengan niat mulia Dini. Kami akan review dan kaji dengan cermat, dengan teliti dan penuh kesungguhan semua informasi dan tulisan dari Dini. Mari kita jaga kontak ini dan kita kuatkan jalinan pengabdian anak-anak muda untuk kemajuan republika tercinta ini. Salam hangat, Anies Baswedan
20 Juni 2011 Pagi itu, saya mendapat email dari panitia rekrutmen Pengajar Muda (PM) dariGerakan Indonesia Mengajar (GIM) yang memberitahukan bahwa saya telah lolos seleksi tahap pertama dan diharapkan kehadirannya untuk mengikuti direct assessment (seleksi tahap kedua) di sekretariat GIM di ibukota pada tanggal 8 Juli 2011. GIM merupakan gerakan yang diprakarsai oleh Anies Baswedan, seorang intelektual muda Indonesia yang sekarang menjabat sebagai rektor Universitas Paramadina, Jakarta. GIM merekrut sarjana-sarjana terbaik bangsa ini untuk menjadi pengajar sekolah dasar di daerah-daerah pelosok Indonesia selama setahun penuh. (http://indonesiamengajar.org)
Sejak GIM diluncurkan untuk pertama kali tahun 2010 lalu, saya sudah sangat tertarik untuk menjadi PM. Namun, takdir berkata lain karena saya lebih memilih fokus untuk mengikuti Program Pertukaran Pemuda Indonesia Kanada (PPIK)dan memendam keinginan saya setahun lamanya sampai program selesai. Sujud syukur saya haturkan untuk Allah SWT yang telah memberi saya kabar baik pagi itu. Tak hentinya saya mengucap alhamdulillah, rasanya masih tak percaya. Ribuan sarjana terbaik bangsa ini mendaftar untuk menjadi PM angkatan III (angkatan I telah diberangkatkan pada November 2010 dan angkatan II pada Juni 2011) dan saya dipercaya untuk mengikuti seleksi tahap kedua yang pesertanya hanya berjumlah 158 orang. Subhanallah!
Silakan kamu mau pergi ke ujung dunia mana untuk sekolah, saya restui. Tapi tidak untuk yang ini. Masih ada orang-orang berkepentingan yang WAJIB mengurusi hal seperti ini, Din. Kalau harus kalian, anak-anak muda ini yang turun tangan, apa kerja orang-orang di balik meja itu? Kalau harus sarjana teknik seperti kamu yang turun tangan, apa kerja sarjana pendidikan itu? Silakan idealis, Din, tapi kamu juga harus tetap realistis.
Debat saya terhenti sampai disitu. Saya tak menjawab pertanyaan PH yang terakhir itu, saya tahu apa yang harus saya jawab, tapi lidah ini rasanya kelu, kata-kata itu tak keluar. Tak perlulah kalian tahu apa pertanyaan dan pernyataan lain secara lebih mendetail. Tapi itu sudah cukup membuat hati saya remuk redam hancur tak berbentuk. Saya mencoba mencari pembelaan dari MA yang biasanya mengerti apa yang saya inginkan, tapi kali ini MA pun menggeleng lemah, sembari berkata :
Mama mohon, sekali ini ikutilah permintaan Mama. Sekali ini saja, Sayangku, Kusumawardhani ...
Sempurna sudah. Saya tahu setiap nama belakang saya itu disebut, keputusan sudah final. Saya tersenyum lemah dan mengambil bundelan itu dari tangan PH, masuk kamar dan menjawab dalam hati pertanyaan terakhir PH yang tak bisa saya jawab di depan wajahnya :
I just want to serve this country, Pa. Ini bukan karena saya adalah (sarjana) arsitek lantas tak berkepentingan mengurusi pendidikan. Saya bukannya ingin sekedar mengajar, saya ingin menjadi inspirasi.
Bukankah Papa yang memberi saya nama Kusumawardhani? Yang Papa bilang artinya "kusuma bangsa. bunga bangsa". Karena Papa ingin melihat saya menjadi bunga yang mampu mengharumkan bangsa ini dimanapun saya berada, dalam kondisi apapun saya. Tapi kenapa sekarang Papa berbeda?
Masih tidak percaya, emosi yang meluap-luap karena bahagia langsung terhapus oleh kekecewaan dalam waktu beberapa jam saja. Sakit rasanya. Pening sekali kepala ini. Sudah lama saya tak merasa kecewa seperti ini. Hal yang paling saya inginkan saat ini, justru terhalang oleh orang-orang yang tadinya saya yakin mau mendukung saya. Sungguh melawan arus itu susah, yang bisa melakukannya hanya dua tipe orang : kalau tidak orang hebat, dia pasti orang gila. Saya tidak menangis. Saya hanya kecewa. Seminggu lamanya saya menghindari berbicara dengan PH, bukan karena saya membenci beliau karena tak mengabulkan keinginan saya, tapi lebih karena saya butuh waktu untuk menetralkan lagi perasaan saya. Butuh waktu untuk menertawakan kebodohan saya yang uring-uringan seminggu lamanya karena saya tak diizinkan untuk merantau ke pelosok sana. Butuh keberanian untuk menekan tanda "send" email konfirmasi ke panitia rekrutmen dan menyatakan pengunduran diri saya. Oh, God! I used to think, I had the answers to everything. But now I know that life doesn't always go my way.
Bad teacher, tells. Good teacher, explains. Best teacher, shows. Excellent teacher, inspires.