Mohon tunggu...
Rizky Adinugroho
Rizky Adinugroho Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perbandingan antara Masyarakat Iran (Syiah) dan Masyarakat Indonesia (Ahlussunnah)

12 Maret 2014   23:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:00 1136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terlepas dari banyaknya ragam cerita mengenai hal yang sebenarnya terjadi dibalik Revolusi “Islam” di Iran, Iran telah berhasil mengubah sistem pemerintahan di negaranya yang semula monarki menjadi demokrasi. Berangkat menuju sebelum Revolusi Iran terjadi, banyak sekali perubahan signifikan pada Iran terutama pada masyarakatnya yang semula begitu “kebarat-baratan” menjadi masyarakat yang sangat “tradisional” dari segi berpakaian.

Masyarakat Iran selepas revolusi berhasil menggali nilai-nilai asli mereka, salah satu nilai tersebut adalah nilai agama. Perlu dicatat bahwa Islam di Iran bukanlah Islam seperti yang sebagaimana kita kenal pada umumnya, melainkan Islam Syiah. Syiah adalah golongan minoritas yang seringkali “dikafirkan” oleh mayoritas muslim yakni golongan Ahlussunnah. Beberapa perbedaan seperti cara sholat, pandangan mereka terhadap Rasul & Sahabat, Hadits yang berbeda akan dengan mudah ditemukan bila membandingkan kedua golongan ini, tapi yang ingin saya bahas bukanlah perbedaan ataupun persamaan kedua golongan ini dari segi ibadah, melainkan akan membahas mengenai sikap mereka terhadap umat beragama lain, semisal Nasrani dan Yahudi.

Pertama, saya akan memilih dua negara sebagai komparasi, yakni Iran (Syiah) dan Indonesia (Ahlussunnah). Di bawah kekuasaan keluarga Shah Pahlevi, Iran adalah sebuah negara yang mengesampingkan urusan agama, berfokus pada modernisasi, dan westernisasi. Shah melarang penggunaan pakaian tradisional yang bernuansa Islami, serta melarang penggunaan jilbab, ia mengerahkan polisi untuk merazia wanita yang berpakaian demikian dan melepas paksa bila mereka menolak untuk membukanya sendiri. 1935, terjadi kerusuhan yang melibatkan polisi dan para alim ulama Syiah di suatu tempat yang merupakan tempat suci bagi kaum Syiah, yakni Kuil “Imam Reza” (Imam kedelapan Syiah). 1979, Revolusi “Islam” berjalan sukses mengubah Iran menjadi negara yang “mengharamkan” sesuatu yang bersifat kebaratan, berpegang teguh pada prinsip-prinsip Syiah yang mana hal tersebut menjadi sebuah identitas tersendiri bagi Iran. Kini di Iran setiap wanita apapun agamanya asalkan dia sudah berusia di atas 9 tahun diwajibkan untuk mengenakan jilbab.

Wajib jilbab, mungkin anda akan berfikir bahwa pemerintah Iran adalah semacam diktator dan tidak memikirkan nasib kaum minoritas (Non-Syiah), hal tersebut adalah salah karena di Iran, kaum minoritas justru sangat diperhatikan. Sinagog (tempat ibadah Yahudi) dan Gereja disana jumlahnya sama banyaknya dengan Masjid Syiah. Syiah, Yahudi, dan Nasrani hidup berdampingan tanpa pernah ada saling terror dan intimidasi satu dengan lainnya, padahal perbandingan jumlah mereka sangatlah jauh.

Beralih ke Indonesia, di bawah Presiden Bung Karno dulu dikenal sebuah slogan “Berdiri di atas kaki sendiri” atau biasa disingkat sebagai “Berdikari”, hal tersebut dimaksudkan bahwa Indonesia haruslah menjadi bangsa yang mandiri, tidak bergantung pada bangsa asing, karena dengan menjadi mandiri kita akan menjadi bangsa yang memiliki karakter tersendiri yang mana hal tersebut akan menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang kuat. Era Soekarno berakhir, era orde baru dimulai, Indonesia menjadi bangsa yang sangat tidak mandiri, sangat bergantung pada bangsa lain, dan tidak Islami (dibuktikan dengan larangan berjilbab). Sistem perekonomian yang pada awalnya berlandaskan prinsip koperasi berubah menjadi ekonomi liberal, pengadopsian nilai-nilai yang tidak Islami dan tidak cocok dengan karakter bangsa ini mengakibatkan Indonesia hancur, laju inflasi sangat tinggi. Puncaknya pada Mei 1998, masyarakat muak dengan era tersebut, dilakukanlah sebuah demo besar-besaran yang berakhir menjadi sebuah kerusuhan berdarah yang mana hal tersebut menjadi tonggak awal era reformasi. Reformasi ternyata tidak berjalan mulus, bahkan banyak sekali yang berpendapat bahwa Era Reformasi tidak lebih baik dari Era Orde Baru, mengapa demikian ? Karena Indonesia saat ini adalah wujud dari produk westernisasi Orde Baru, bangsa kita sudah tidak memiliki jati diri, tidak punya identitas, dan jauh dari nilai-nilai agama. Penduduk Indonesia mayoritas adalah Islam (Ahlussunnah) dan merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, tapi lucunya tidak sedikitpun prinsip Islam digunakan dalam menjalankan pemerintahannya. Yang lebih lucu lagi, Indonesia sangat anti terhadap pluralisme, kebebasan umat beragama lain begitu terpenjara, mereka seringkali mendapat teror saat merayakan hari raya, dilarang mendirikan tempat ibadah dan lain sebagainya.

Masyarakat Iran begitu religius dengan Islam Syiah-nya tetapi sangat menghormati kaum minoritas beragama lain, Indonesia dengan masyarakatnya yang sangat tidak religius dengan Islam Ahlussunnah-nya tetapi begitu menentang keberadaan kaum minoritas beragama lain. Sudah saatnya bagi bangsa Indonesia untuk mengembangkan nilai-nilai tradisional dan spiritualnya supaya bisa menjadi bangsa yang kuat, mandiri, dan religius layaknya yang dilakukan Iran, tapi tentu dengan Ahlussunnah-nya bukan Syiah-nya

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun