Kemacetan merupakan salah satu penyakit serius yang seringkali hadir di kota-kota besar di Indonesia. Â Terlebih lagi, semakin maraknya pembelian transportasi pribadi dan berkurangnya masyarakat yang menggunakan transportasi umum menjadi salah satu faktor terbesar penyebab kemacetan. Setiap pagi, siang, sore hingga malam kemacetan akan selalu ditemui pada tiap persimpangan jalan.
Salah satu langkah yang biasanya diambil dalam menangani masalah kemacetan ini yaitu dengan membangun infrastruktur flyover (jembatan layang) di titik-titik lokasi yang seringkali menjadi biang kemacetan. Menurut Sucipto (2016), fly over merupakan struktur yang dibangun di atas persimpangan yang sudah sangat terbatas dan tidak bisa dilakukan untuk penambahan lajur serta pelebaran ruas jalan karena terdapat bangunan bertingkat yang dibangun permanen di sekitarnya. Adanya flyover ini dapat menertibkan pergerakan laju lalu lintas di sekitar. Dengan demikian, pergerakan kendaraan dapat menjadi lancar dan teratur.
Disisi lain dengan adanya kebijakan pembangunan infrastruktur transportasi seperti flyover dapat diterima oleh banyak pihak sebagai solusi yang jitu mengatasi kemacetan. Akan tetapi, apakah benar tertibnya pergerakan alur lalu lintas akibat pembangunan flyover tidak menjadi sumber masalah yang lain?.
Menurut perkiraan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2020 sekitar 56,7% dari penduduk Indonesia tinggal di area perkotaan. Angka ini diproyeksikan akan terus meningkat menjadi 66,6% pada tahun 2035. Oleh sebab itu, salah satu aspek yang berkaitan dengan padatnya perkotaan adalah semakin banyaknya jumlah kendaraan pribadi di kota baik mobil maupun motor. Jumlah kendaraan bermotor di Indonesia mencapai 153.400.392 unit, dengan 60 persen di antaranya berada di Pulau Jawa. Pengaruh dari semakin banyaknya kendaraan pribadi yang dimiliki secara individual adalah kemacetan. Data menunjukkan bahwa sejumlah kota besar di Indonesia mengalami kemacetan yang signifikan. Berdasarkan laporan dari INRIX, pada tahun 2022, Surabaya menjadi kota dengan kemacetan terburuk di Indonesia, di mana rata-rata waktu yang terbuang akibat kemacetan mencapai 35 jam. Jakarta berada di urutan kedua dengan 28 jam, diikuti oleh Denpasar di peringkat ketiga dengan 22 jam. Malang menempati posisi keempat dengan 18 jam, dan Bogor berada di peringkat kelima dengan 7 jam waktu terbuang. Jumlah jalan yang tersedia diperkotaan juga tidak mampu menampung jumlah kendaraan yang bertambah banyak, dan ketika sistem one family one car tidak optimal, maka sebagai solusi pemerintah dari tidak berjalannya sistem tersebut adalah upaya pelebaran jalan atau penambahan luas dan jalur jalan salah satu nya yakni melalui Pembangunan flyover.
Pembangunan flyover di Indonesia dimulai pada era 1970-an sebagai respons terhadap meningkatnya volume lalu lintas di kota-kota besar. Beberapa flyover penting termasuk Flyover Senen dan Gatot Subroto di Jakarta pada era 1970-1980-an, Flyover Sudirman dan Pasupati pada 1990-an, serta proyek-proyek terbaru seperti Flyover Tendean-Ciledug dan Summarecon Bekasi pada 2020-an. Pembangunan flyover terus berlanjut di berbagai kota di Indonesia sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk mengatasi kemacetan lalu lintas yang semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan urbanisasi. Flyover merupakan solusi penting untuk meningkatkan efisiensi transportasi dan mobilitas di perkotaan, yang berdampak positif pada produktivitas dan kualitas hidup masyarakat.
Pembangunan flyover di Indonesia membawa banyak manfaat signifikan bagi masyarakat perkotaan. Dengan adanya flyover, kemacetan lalu lintas dapat berkurang secara drastis, sehingga waktu perjalanan menjadi lebih efisien dan produktivitas masyarakat meningkat. Flyover juga membantu mengurangi emisi kendaraan karena lalu lintas yang lebih lancar, yang berdampak positif pada kualitas udara dan kesehatan masyarakat. Selain itu, pembangunan flyover mendorong pertumbuhan ekonomi lokal dengan meningkatkan aksesibilitas ke berbagai wilayah, memudahkan distribusi barang dan jasa, serta mendukung perkembangan kawasan bisnis dan perumahan. Secara keseluruhan, flyover merupakan solusi penting untuk mengatasi tantangan lalu lintas di kota-kota besar Indonesia, membantu menciptakan lingkungan perkotaan yang lebih tertata dan nyaman. Namun, pembangunan flyover ini juga tidak luput dari pandangan kontra oleh masyarakat karena dianggap kontra-produktif di Indonesia. Pertama, biaya konstruksi dan pemeliharaan flyover sangat tinggi, yang seringkali membebani anggaran pemerintah dan mengalihkan dana dari proyek infrastruktur lain yang juga penting. Selain itu, Flyover juga dapat mengubah tata ruang kota secara signifikan, sering kali mengorbankan ruang hijau dan merusak estetika kota. Lebih lanjut, flyover tidak selalu mengatasi akar masalah kemacetan, seperti ketergantungan pada kendaraan pribadi dan kurangnya transportasi umum yang efektif. Dengan demikian, ada argumen bahwa solusi yang lebih berkelanjutan dan holistik perlu dipertimbangkan untuk mengatasi masalah lalu lintas di kota-kota besar Indonesia.
Berdasarkan beberapa berita baik mengenai pembangunan flyover di Indonesia. Pembangunan flyover Junda dapat dikatakan salah satu flyover yang memiliki manfaat bagi sekitar. Flyover Juanda adalah salah satu proyek infrastruktur yang memiliki total panjang 858 meter dengan dua struktur jembatan layang, yakni flyover A dan flyover B yang masing-masing dilengkapi ramp menuju Sidoarjo maupun Surabaya. Flyover Juanda telah dimulai sejak tanggal kontrak 1 November 2022. Flyover ini memberikan kemudahan aksesbilitas yang lebih baik bagi masyarakat sekitar Surabaya dan tentu saja aman bagi pengendara yang menuju Bandara Internasional Juanda. Pembangunan ini  mengurangi kemacetan yang seringakali terjadi pada persimpangan Bundaran Aloha (pertemuan jalan Nasional Surabaya dan Sidoarjo) dengan akses jalan menuju bandara. Serta dapat mengurangi resiko kecelakaan karena adanya perlintasan dengan rel kereta api.
Selain dari berita positif terkait adanya pembangunan flyover di beberapa wilayah Indonesia, tak menutup kemungkinan terdapat kabar buruk terkait infrastruktur ini. Salah satunya adalah pembangunan flyover Pantoloan. Flyover Pantoloan merupakan proyek bangunan flyover sepanjang 900 meter senilai Rp. 85 Miliar yang berada di kota Palu dan diresmikan pada 27 Mei 2021. Flyover ini dapat dikatakan "gagal bangun" akibat ketidaksiapan dalam proses pembangunan yang menyebabkan terjadinya kerusakan. Untuk kerusakan yang terjadi dua sisi oprit bagian utara flayover mengalami keretakan cukup parah akibat tidak mampu menahan beban tinggi kendaraan sehingga terjadi penurunan pada bagian badan jalan. Nilai proyek yang besar ini pun seharusnya dapat dipakai untuk dana memilihara jalan rusak dan jembatan misalnya jalan menuju Pape ke Tindatana Sulawesi Selatan. Dengan adanya hal ini, flyover yang sebagaimana bersumber dari APBN negara dan dibangun untuk mempermudah mobilisasi masyarakat malah sangat merugikan.
Dengan adanya  pro dan kontra tentang pembangunan infrastuktur flyover memerlukan banyak pertimbangan yang matang dan jelas dari seluruh lapisan stakeholder. Perlu adanya perhatian serius akan kelayakan, dampak lalu lintas dan dampak lingkungan sebelum melaksanakan pembangunan. Sehubung dengan masalah kemacetan perlu di pertimbangkan ulang apakah memang benar kebutuhan di kota-kota?
Jika memang permasalahan terkait kemacetan akibat bertambahnya jumlah kendaraan pribadi dari tahun ke tahun, maka pembangunan infrastruktur flyover ini bukan jawaban yang paling tepat. Pembangunan flyover merupakan sebagian kecil upaya mengatasi kemacetan untuk melancarkan titik-titik lalu lintas. Dan tentu saja permasalahan kemacetan akan selalu menjadi masalah yang tidak pernah selesai. Â
Sampailah pada kita pada kesimpulan, saat melangkah maju untuk menagani masalah transportasi di perkotaan, maka akan dihadapkan pada pilihan kebijakan yang ada. Kebijakan seperti pembangunan flyover, adanya sistem ganjil-genap kendaraan, wajib menggunakan transportasi umum, dan lain sebagainya yang telah disetujui pemerintah. Sering kali ada pro dan kontra setiap tindakan yang akan di pilih. Maka dari itu, adanya partisipasi kita sebagai masyarakat dalam proses perencanaan esensial dapat memastikan bahwa kebutuhan dan kekhawatiran dapat diperhitungkan serta menciptakan solusi yang adil dan efektif bagi semua pihak.