Kota Yogyakarta mengawali Bulan Desember tahun ini dengan diguyur hujan. Hari itu menyeruak udara dingin dan aroma tanah bercampur hujan, memunculkan niat dalam diri saya untuk mencari sesuatu yang dapat menghangatkan tubuh. Tanpa berpikir panjang, saya langsung mengambil kunci kendaraan dan menancapkan gas menuju Alun-Alun Kidul (Alkid) Yogyakarta, berharap dapat menemukan wedang ronde di antara pedagang makanan di sana. Alkid sendiri terletak tidak jauh dari pusat Kota Yogyakarta, hanya berjarak sekitar 1,7 km dan dapat ditempuh dengan estimasi waktu 5 menit jika menggunakan kendaraan bermotor.Â
Sembari menyusuri jalan, saya memperhatikan suasana di Alkid yang cukup sepi, berbeda dengan kondisi normalnya yang selalu ramai dengan pengunjung. Setelah mengamati pedagang makanan yang ada, saya  melihat gerobak ronde kemudian memutuskan untuk singgah dan membeli semangkuk ronde yang dibandrol dengan harga sepuluh ribu rupiah. Saya memilih tempat duduk di atas tikar atau yang biasa orang lokal sebut dengan "lesehan".
Tak berselang lama setelah saya memesan, satu porsi wedang ronde telah tersaji di depan mata. Seperti kita ketahui bahwa Wedang Ronde memiliki tampilan sangat khas yang membuat kuliner ini dapat dengan mudah dikenali oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Beberapa pendapat menyatakan bahwa wedang ronde terinspirasi dari makanan tradisional khas Tionghoa bernama Tang Yuan yang telah berakulturasi dengan budaya Jawa. Wedang ronde merupakan minuman dengan isian utama adonan bulat berbahan dasar tepung ketan, kenyal berwarna putih tulang dan berisi bubuk kacang tanah. Selain itu, wedang ronde tidak akan lengkap tanpa kolang-kaling, kacang, dan roti. Semua komponen tersebut dimasukkan satu persatu ke dalam mangkuk, kemudian ditambahkan satu sendok gula jawa, lalu tahap terakhir adalah pemberian kuah yang berwarna coklat bening.Â
Dari jarak yang tidak terlalu jauh, saya dapat mencium aroma rempah yang cukup kuat dan mudah saya asumsikan bahwa minuman ini akan didominasi oleh hangatnya rasa jahe. Terlihat dari uap panas yang mengepul, wedang ronde ini menggugah selera terutama jika dinikmati saat musim dingin. Disisi lain, kacang tanah yang disajikan dalam wedang ronde ini cukup banyak dan sedikit berwarna kecoklatan pada beberapa sisinya yang menandakan bahwa kacang tersebut telah melalui proses sangrai atau dengan kata lain digoreng tanpa minyak. Kemudian, kolang-kaling yang disajikan berwarna merah muda dan memiliki rasa yang cenderung hambar. Wedang ronde tersebut juga dilengkapi dengan potongan roti tawar yang akan mengembang setelah beberapa waktu karena tercelup pada kuah. Secara keseluruhan wedang ronde ini terasa sedikit pedas dan tidak terlalu manis serta setiap suapannya memberikan perpaduan yang nikmat di dalam mulut.Â
Saya juga sempat berbincang dengan pak Purwanto, sang penjual ronde yang berasal dari Gunung Kidul dan telah menjajakkan dagangannya sejak dua puluh tiga tahun yang lalu. Setiap hari Pak Purwanto menjual wedang rondenya di Alkid mulai dari jam lima sore. Berdasarkan pernyataan Pak Purwanto, beliau menyebutkan bahwa bahan-bahan pembuatan kuah wedang ronde adalah rempah-rempah yang terdiri dari jahe, cengkeh, pandan, dan lain sebagainya. Kemudian, beliau melanjutkan bahwa kolang-kaling tidak melalui proses perebusan dan hanya dilakukan pencucian karena kolang-kaling termasuk dalam golongan buah.Â
Tidak terasa, waktu berlalu di antara canda tawa dan cerita dari penjual ronde yang ramah. Setelah menyeruput kuah terakhir dalam mangkuk, saya merenung memikirkan bahwa pengalaman eksplorasi kuliner tradisional di Alkid ini tidak hanya memenuhi kebutuhan perut melainkan kisah dari Sang penjual telah memberikan saya wawasan baru dalam dunia gastronomi. Dalam perjalanan pulang, yang saya bawa bukan hanya sisa aroma rempah jahe di lidah, tetapi juga kenangan hangat dari malam yang sebelumnya terasa dingin.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H