Mohon tunggu...
Adinda Rosyadha
Adinda Rosyadha Mohon Tunggu... Editor - Learner

A causal life spectator

Selanjutnya

Tutup

Money

MEA 2015: Sudah Siapkah Negara Kita?

18 September 2015   16:51 Diperbarui: 18 September 2015   16:56 1687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), lebih dikenal sebagai Pasar Bebas ASEAN oleh masyarakat Indonesia secara umum. Hal tersebut tentu tidak dapat disalahkan mengingat main goal dari MEA itu sendiri adalah tercipatanya aliran pasar bebas di antara 10 negara yang tergabung di dalamnya, yang meliputi Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Laos, Kamboja, Vietnam, Brunei Darussalam, Myanmar, dan Indonesia. Mengacu pada AEC blueprint, semua big plan akan secara resmi diberlakukan tepat pada 31 Desember 2015 mendatang. Mulai saat itu, aliran bebas dalam hal barang, jasa, investasi, modal, dan tenaga kerja terampil akan resmi diberlakukan. Masyarakat akan dengan mudah menjual dan membeli barang ke dan dari negara lain, menjadi tenaga kerja terampil di negara lain, hingga berinvestasi dan menanamkan modal tidak hanya di dalam negeri. Pasar bebas akan segera kita hadapi dalam kurun waktu kurang dari enam bulan ke depan.

Namun, apabila kita sadari aliran pasar bebas sebenarnya sudah kita jalani sejak belasan tahun lalu sebagai dampak kecil dari globalisasi. Sebagai contohnya, kita sudah merasakan kemudahan dalam menjual barang dan jasa lintas negara dengan bantuan teknologi informasi dan komunikasi. Sudah sangat banyak produk-produk impor yang masuk secara bebas ke pasar dalam negeri dari berbagai sektor. Mulai dari berkembangnya toko online fashion impor Bangkok dan Korea yang memenuhi beranda Facebook, hingga berbagai perusahaan asing yang merajai sektor industri manufaktur Indonesia.

Bahkan saat ini pun media pertelevisian sudah mulai didominasi oleh acara-acara hasil kreativitas negara tetangga, seperti India, Turki, dan Korea. Produser-produser itu pun tidak ragu memberikan kontrak kepada para entertainer India untuk menjadi pemain utama dalam produksinya. Benar-benar menyedihkan menurut saya. Sebab, seakan negara kita tidak lagi memiliki talent yang pantas menjadi bintang di negara sendiri. Lalu, bagaimana kelak saat MEA telah resmi dijalankan? Apa perbedaan yang akan terjadi dibandingkan dengan keadaan saat ini?

Menurut saya, aliran pasar bebas yang terjadi pada MEA merupakan sebuah program yang memang diatur dan direncanakan dengan baik di mana kesepakatan dibuat secara resmi, dengan persiapan terstruktur dan matang. Semua hal diatur pada perjanjian-perjanjian yang terus dikaji, diimplementasikan, dan dievaluasi secara kontinu. Sebaliknya dengan globalisasi, apa yang kita rasakan selama belasan tahun kebelakang hanyalah sebuah dampak dari kemajuan teknologi yang terjadi secara alamiah, tanpa perencanaan atau persiapan yang memang diintegraskan. Dengan demikian, dapat kita bayangkan betapa bebasnya aliran keluar masuk barang, jasa, modal, hingga para tenaga kerja di Indonesia setelah MEA diresmikan. Sudah siapkah kita untuk menghadapi pasar bebas seperti itu? Di mana kita benar-benar harus bersaing dengan 9 negara lain.

Barang-barang impor tidak hanya ditemukan di pasar modern sekelas supermarket melainkan juga akan dengan mudah kita temukan di pasar tradisional atau bahkan toko kecil di pinggir jalan. Lowongan pekerjaan pun tidak lagi terbatas bagi WNI melainkan terbuka untuk semua orang dari 10 negara anggota ASEAN. Benar siapkah negara kita mempertahankan stabilitas perekonomian nasional dalam persaingan sengit antar negara nanti?

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa kesiapan sangat bergantung pada persiapan, dan juga sebaliknya. Mengenai kesiapan pemerintah, tentu saja pemerintah Indonesia tidak mungkin menyetujui dan menandatangani perjanjian tanpa pertimbangan dan kesiapan akan resiko yang kelak dihadapi. Pemerintah pun telah menyusun berbagai langkah strategis yang mengarah pada sektor hulu hingga hilir di bawah koordinasi Badan Khusus atau Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian. Langkah-langkah strategis tersebut dapat diartikan sebagai daftar persiapan-persiapan yang harus segera diselesaikan, sehingga negara kita bisa mendapatkan kesiapan yang matang sebelum MEA diresmikan. Lalu bagaimana dengan masyarakat lainnya?

Sangat disayangkan bahwa belum seluruh masyarakat Indonesia tahu mengenai rencana besar yang akan segera direalisasikan tersebut. Dengan demikian, bagaimana mereka bisa mempersiapkan diri apabila mereka tidak mengetahui hal tersebut. Inilah salah satu hal yang akhirnya membuat sebagian masyarakat bertanya-tanya tentang maksud Pemerintah menandatangani menyetujui untuk bergabung dalam MEA. Namun, bagaimanapun MEA sudah ada di depan mata dan mau tidak mau kita harus siap menghadapinya.

Oleh karena itu, sebagai mahasiswa yang sering diandalkan sebagai agen perubahan (agent of change), kita berperan aktif dalam mendukung negara kita menjadi negara yang pantas dipertimbangkan dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN. Adapun salah satu hal yang harus kita lakukan adalah membentuk pola pikir (mindset) siap bersaing dan percaya diri serta bangga dengan negara kita sendiri. Seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia masih memiliki ketergantungan terhadap impor. Hal ini dipicu oleh cara pandang masyarakat yang masih enggan untuk mengalihkan pengeluaran mereka ke produk lokal. Mereka masih memiliki keyakinan bahwa kualitas asing lebih baik daripada kualitas lokal. Sebagai contoh, sektor pertanian Indonesia seharusnya tidak dapat diragukan lagi mengingat negara kita memiliki label negara Agraris. Namun, salah satu fakta yang menyedihkan adalah datang dari produk pisang lokal yang banyak dijual di supermarket berkelas.

Pisang Cavendish (Sunpride), sering dinilai sebagai produk impor oleh masyarakat hanya karena kualitas pisang tersebut jauh melampaui kualitas pisang lokal lainnya (via sunpride.com) Hal itu menunjukkan betapa rendahnya kepercayaan diri masyarakat bahwa negara kita bisa menghasilkan produk berkualitas internasional. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran dan perlu kita ubah perlahan-lahan dengan memulainya dari diri kita sendiri. Mulai dengan membangun kesadaran dan memberikan contoh nyata kepada masyarakat dengan menggeser tingkat konsumsi ke arah produk lokal serta mencintai dan bangga terhadap produk karya anak negeri. Kita harus mulai berpikir bahwa bukan saatnya lagi untuk berbangga atas sepatu, baju, tas, celana, dan barang-barang lain berlabel brand luar negeri hanya untuk mempertahankan gengsi.

Selain itu, kita harus mempersiapkan diri kita untuk keluar sebagai tenaga kerja ahli dan terampil dengan cara fokus belajar menekuni bidang yang telah kita pilih di perguruan tinggi, mengumpulkan pengalaman dan mengembangkan diri melalui organisasi kampus atau organisasi kemasyarakatan lain untuk melatih profesionalitas dalam bekerja dan bersosialisasi, serta tak lupa mengembangkan kemampuan berbahasa asing sebagai modal awal memasuki persaingan ketat pasca diresmikannya MEA 2015. Dengan demikian, kita bisa mulai membangun kesiapan dengan melakukan berbagai persiapan guna menghadapi MEA 2015.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun