Mohon tunggu...
Adinda Riaprasisca
Adinda Riaprasisca Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa on going di UIN KH. Achmad Siddiq Jember

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Dinamika Politik Hukum Islam dalam Pembentukan Undang-Undang Perkawinan

21 Oktober 2022   07:32 Diperbarui: 21 Oktober 2022   07:38 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perkawinan merupakan suatu ikatan yang banyak menimbulkan implikasi hukum, oleh karena itu dibutuhkannya aturan hukum perkawinan yang jelas. Adapun dalam proses Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dapat diketahui bahwa salah satu dinamika (pengaruh) dalam proses perumusan undang-undang perkawinan ini adalah dinamika politik karena dengan adanya undang-undang perkawinan ini maka dapat melindungi dan memperjelas hukum perkawinan itu sendiri sehingga dapat digunakan oleh seluruh masyarakat.

Adapun sebelum kemerdekaan, hukum perkawinan bagi masyarakat pribumi  merupakan hukum tidak tertulis yang mana diadopsi dari hukum fikih dan hukum adat, sehingga tidak ada hukum tertulis yang diundangkan yang dapat dijadikan sebagai patokan dalam pelaksanaan perkawinan di Indonesia, namun hukum tertulis ada dan hanya berlaku bagi golongan tertentu saja, hal inilah yang mendorong beberapa organisasi perempuan pada masa itu menuntut untuk memiliki undang-undang perkawinan.

Kemudian pada saat Indonesia telah merdeka maka lahirlah Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 yang mana sekarang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan, sejak saat itu telah adanya keseragaman pengaturan tentang perkawinan bagi seluruh golongan masyarakat di Indonesia. Dengan adanya undang-undang ini maka perkawinan merupakan ikatan keperdataan seorang pria dengan wanita sebagai ikatan lahir batin sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal. Dalam proses pembentukan Undang-Undang Perkawinan pertama kali dilakukan pada 30 Agustus 1973, hal ini dilakukan setelah presiden menyampaikan surat beserta lampiran RUU kepada DPR.

Dalam tahapan selanjutnya diadakan rapat antar komisi DPR dengan pemerintah yang diwakili oleh Menteri, dalam tahapan ini RUU diolah dan pendapat antara DPR dan Menteri harus sinkron. Kemudian, tahapan yang terakhir adalah sidang pleno DPR untuk mengesahkan undang-undang, apabila dalam perancangannya telah disepakati bersama maka sidang tersebut telah selesai dan naskah RUU tersebut diberikan kepada presiden untuk ditandatangani dan diundangkan. Setelah sekertaris negara menandatanganinya maka undang-undang tersebut sah dan harus ditaati oleh seluruh masyarakat Indonesia. 

Tanggal 2 januari 1974 Presiden Soeharto akhirnya mengesahkan UU Nomor 1 Tahun 1974, adapun setelah undang-undang perkawinan tersebut sah, pemerintah segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975 yang berisi pelaksanaan UU Nomor 1 tahun 1974, dan dikeluarkan juga Peraturan Menteri Agama nomor 3 dan nomor 4 pada Juli 1975, yang memuat tentang kewajiban pegawai pencatatan nikah dan tata kerja pengadilan agama, serta contoh-contoh akta nikah, cerai, talak dan rujuk.

Proses pengesahan RUU ini tidak berjalan mudah, banyak perbedaan pendapat dan masukan-masukan baik dari anggota DPR, elit politik dan masyarakat. Tuntutan yang diberikan tentang keberatan poligami dan mengusung hak-hak perempuan supaya lebih diperhatikan tidak sama seperti yang diajukan pada tahun 1950-an, dan pada Mei 1967 RUU telah diajukan namun mendapati penolakan dari fraksi Khatolik alasannya adalah karena tidak mau membahas suatu hal yang berhubungan dengan agama, sehingga membuat pembahasan ini diberhentikan. 

Kemudian RUU ini diajukan kembali oleh pemerintah pada 31 Juli 1973 ke DPR. Tapi, sebelum rancangan tersebut kembali dibahas, sebagian materi dari RUU sudah terekspos ke media sehingga timbul tuntutan yang membahas soal agama, dan menurut fraksi Persatuan Pembangunan ada beberapa pasal yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama islam. Pasal yang dianggap bertentangan tersebut adalah "mengenai sahnya perkawinan yang tidak berdasakan agama Islam; anak angkat mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan anak kandung; larangan adanya perkawinan karena adanya hubungan anak angkat atau bapak angka; dan perbedaan agama bukanlah penghalang perkawinan."

Fraksi Persatuan Pembangunan sangat bersemangat merevisi RUUP dari segi agama, sedangkan fraksi lain hanya melihat dari segi hak-hak prempuan, fraksi ini memegang teguh hasil musyawarah ulama NU yang dilakukan di Jombang. Revisi yang dibawa fraksi Persatuan Pembangunan ini mendapat dukungan dari organisasi islam seperti IPNU, PII, GMII dan para ulama, mereka melakukan demo demi mendukung pernyataan tersebut, yang berisi menolak dan menuntut pemerintah untuk mencabut kembali RUU karena bertentangan dengan aturan agama islam serta menyerukan kepada seluruh lapisan masyarakat termasuk sipil dan militer untuk tetap berpegang teguh pada akidah agama.

Fraksi Pesatuan Pembangunan ini juga mengatakan bawah RUU ini tidak cocok, sebab banyak pasal yang diadopsi dari BW dan HOCI. Karena hal tersebut, terjadilah demonstrasi dan Menteri Agama saat itu, Mukti Ali melakukan jalan politik dengan fraksi PPP dan para ulama. dalam hal ini ditunjuklah Jenderal Soemitro sebagai penanggungjawab masalah tersebut, Kemudian didapatkan lah hasil berupa perombakan RUU yang awalnya 73 pasal, menjadi 66 pasal, dengan rumusan sebagai berikut: 

"(1) Hukum Islam dalam perkawinan tidak akan dikurangi ataupun dirubah; (2) Sebagai konsensus nomor satu, alat-alat pelaksana tidak akan dikurangi ataupun dirubah; (3) Hal-hal yang bertentangan dengan hukum islam dan tidak sesuai dalam Undang-Undang perkawinan akan dihilangkan; (4) Pasal 2 ayat 1 disetujui dengan rumusan "perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu" dan ayat 2 "Tiap-tiap perkawinan dicatat demi kepentingan administrasi negara"; (5) Perkawinan dan perceraian serta poligami perlu diusahakan untuk mencegah kesewenang-wenangan." Dengan adanya pertemuan tersebut semua pasal yang dianggap bertentangan dengan hukum islam dirubah sehingga tidak bertentangan lagi, sehingga setelah terjadinya kesepakatan ini RUU perkawinan bisa dilanjutkan dibahas dengan adanya persetujuan semua fraksi.

Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa ikatan perkawinan banyak menimbulkan implikasi hukum kepada kedua belah pihak. Selian itu, ikatan perkawinan terdapat multitafsir yang disebabkan setiap agama memiliki aturannya sendiri mengenai pelaksaan perkawinan, terutama dalam agama islam yang tegas mengatur hukum perkawinan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun