Sebelumnya hubungan Korea Selatan dengan Korea Utara terjalin dengan sangat baik berkat Presiden sebelumnya, yaitu Presiden Moon Jae-In. Pada saat itu kedua pemimpin menandatangani Deklarasi Panmunjom. Kedua pemimpin saat itu dengan sungguh-sungguh menyatakan di hadapan 80 juta orang Korea dan seluruh dunia bahwa tidak akan ada lagi perang dan era baru perdamaian telah dimulai di semenanjung Korea. Kedua Korea juga mengatakan akan mengupayakan "denuklirisasi lengkap" di semenanjung. "Korea Selatan dan Korea Utara menegaskan tujuan bersama untuk mewujudkan, melalui denuklirisasi lengkap, semenanjung Korea yang bebas nuklir," kata perjanjian itu, sebagaimana dilaporkan The Guardian.Â
"Korea Selatan dan Korea Utara berbagi pandangan bahwa langkah-langkah yang diprakarsai oleh Korea Utara sangat berarti dan penting untuk denuklirisasi semenanjung Korea, dan setuju untuk menjalankan peran dan tanggung jawab masing-masing dalam hal ini.". Kim dan Moon bertemu untuk pertama kalinya dalam lebih dari sepuluh tahun. Setelah pertemuan, mereka setuju untuk berkomunikasi secara teratur melalui telepon dan bertemu lebih sering. Selain itu, mereka berjanji untuk bekerja lebih dekat pada sejumlah masalah bilateral, seperti memperkuat jaringan transportasi lintas perbatasan dan menyatukan kembali keluarga yang terpisah akibat Perang Korea.
Namun hubungan tersebut mulai merenggang dengan Korea Selatan yang kembali menyebut Korea Utara dengan "musuh kita" dalam buku putih atau dokumen pertahanan Korea Selatan yang diterbitkan dua tahun sekali. Sebutan "musuh" itu sebenarnya tidak pernah terdengar selama enam tahun terakhir ketika keduanya masih mencoba memperbaiki hubungan. Dokumen-dokumen pertahanan Korea Selatan di masa lalu selalu menyebut Korea Utara dengan "musuh utama", "musuh saat ini", atau "musuh". Kini sebutan itu muncul lagi, yang kemungkinan berarti hubungan keduanya sedang tidak baik-baik saja. Korea Utara belum menanggapi penggunaan terminologi musuh yang digunakan kembali. Dulu Korea Utara selalu marah karena menganggap penyebutan musuh itu sebagai bentuk provokasi dan menunjukkan sikap permusuhan Korea Selatan.
Dokumen pertahanan dua tahunan Korea Selatan dirilis pada Kamis (16 Februari 2023). Perang Korea tahun 1950-1953 berakhir  dengan  gencatan senjata, bukan perjanjian damai, sehingga secara teknis Korea Selatan dan Utara masih berperang. Berbagai upaya diplomasi  dilakukan dengan bantuan Amerika Serikat, namun terhenti karena keengganan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un  menghentikan program pengembangan senjata dan nuklirnya. Kim telah memutuskan untuk menyatakan negaranya sebagai negara bersenjata nuklir, dan  tidak ada yang bisa dilakukan untuk mengubahnya. Kim juga melakukan uji senjata hampir setiap bulan, termasuk peluncuran rudal balistik antarbenua (ICBM) yang canggih. Mengantisipasi skenario terburuk, Korea Selatan semakin banyak berlatih  dengan Amerika Serikat.Â
Korea Utara sedang melakukan uji coba rudal dalam jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya pada tahun 2022, termasuk  serangan nuklir tiruan terhadap Korea Selatan. Pemerintahan konservatif Korea Selatan, yang dipimpin oleh Presiden Yun Seok-Yeol, semakin memperkuat komitmen keamanan Korea Selatan terhadap Amerika Serikat sambil memperluas kemampuan militernya sendiri. Dokumen pertahanan Korsel terbaru ini menyebutkan "Korut mendefinisikan kita sebagai musuh pada Desember 2022. Oleh karena itu, rezim Korut dan militer Korut adalah musuh kita". Sebutan musuh dari Korut itu diucapkan Kim Jong Un ketika berpidato di sebuah pertemuan penting partainya.
Dokumen pertahanan Korea Selatan pertama kali menggambarkan Korea Utara sebagai musuh pada tahun 1995, setelah  pejabat Korea Utara mengancam akan menghujani  "lautan api" di Korea Selatan. Retorika berapi-api ini sering digunakan ketika Korea Utara berselisih paham dengan Korea Selatan. Baru sekitar tahun 2000 kata "musuh" digunakan lagi. Istilah ini muncul kembali setelah Korea Utara pada tahun 2010 dituduh menenggelamkan kapal perang Korea Selatan, yang menewaskan 46 pelaut. Di bawah Presiden Moon Jae-in, Korea Selatan tidak menggunakan istilah tersebut karena  berupaya meningkatkan hubungan dengan Korea Utara. Dokumen pertahanan yang dirilis pada masa pemerintahan Moon Jae-in (2017-2022) menyatakan bahwa militer Korea Selatan adalah "kekuatan apa pun yang mempengaruhi kedaulatan, wilayah, populasi, atau properti Republik Korea," dan menyebut nama Korea Utara. Belum. Namun, Tuan Yoon, yang mengambil alih jabatan Tuan Moon pada bulan Mei tahun lalu, kini sekali lagi mengambil sikap keras terhadap Korea Utara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H