Gas suar bakar (flare gas) merupakan gas yang dihasilkan sebagai produk sampingan dari kegiatan eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi. Gas ini biasanya dibakar di atmosfer melalui flare stack karena dianggap berlebih atau sulit dimanfaatkan secara langsung karena tidak dapat ditangani oleh fasilitas produksi atau pengolahan yang tersedia. Proses pembakaran gas tersebut akan menghasilkan emisi yang dapat berkontribusi terhadap perubahan iklim dan degradasi kualitas udara seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan polutan lainnya.
Berdasarkan data dari Global Gas Flaring Tracker Report 2023, Indonesia mencatatkan tren penurunan volume gas flaring dalam beberapa tahun terakhir. Hal tersebut berkat upaya pemerintah yang telah untuk mengurangi volume pembakaran gas suar dalam rangka mengurangi emisi dari kegiatan flaring. Meski demikian, masih ada potensi perbaikan yang dapat dilakukan melalui optimalisasi pengelolaan gas suar.
Pengelolaan gas suar diatur dalam Permen ESDM No. 17 Tahun 2021, yang dirancang untuk mendorong perusahaan-perusahaan minyak dan gas bumi agar mengutamakan pemanfaatan gas suar yang lebih efisien dan ramah lingkungan, sejalan dengan komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dalam industri energi. Peraturan ini menekankan pentingnya pengelolaan gas suar yang berkelanjutan serta mewajibkan pelaporan secara berkala terkait pengelolaan gas suar pada setiap fasilitas. Pemerintah juga memberikan penghargaan kepada pelaku usaha yang berhasil menjalankan pengelolaan gas suar dengan baik.
Salah satu opsi untuk melakukan pemanfaatan gas suar ialah dengan mengolahnya menjadi Compressed Natural Gas (CNG) sebagai bahan bakar kendaraan. Pemrosesan gas suar menjadi CNG ini cocok dilakukan jika lokasi pemanfaatan terletak di onshore dan memiliki flowrate sekitar 2 MMSCFD. Â Teknologi CNG memerlukan infrastruktur yang relatif lebih sederhana jika dibandingkan dengan teknologi pemanfaatan lainnya seperti Liquified Natural Gas (LNG) atau Gas to Liquid (GTL). Pada lokasi onshore, di mana akses ke jaringan jalan dan distribusi energi lebih mudah, fasilitas pengolahan CNG dapat dibangun dengan investasi yang lebih rendah. Proses pengolahan CNG hanya memerlukan kompresor untuk menekan gas hingga tekanan tinggi, tidak seperti LNG yang memerlukan proses pendinginan ekstrem. Flow rate gas suar sekitar 2 MMSCFD dianggap cocok untuk teknologi CNG skala kecil karena volume tersebut cukup untuk membuat pengolahan CNG yang ekonomis dan tidak membutuhkan fasilitas yang besar.
Proses pengolahan gas suar menjadi CNG dapat melalui tahap-tahap berikut:
1. Pengumpulan gas
Gas suar dikumpulkan dari beberapa sumur ke fasilitas pengolahan. Tahapan ini dapat dilakukan dengan peralatan khusus seperti melalui jaringan pipa yang tahan terhadap tekanan dan panas dari gas suar, sehingga aman untuk mengalirkan gas dalam jumlah besar.
2. Pemurnian dan Pemisahan
Tahapan ini dilakukan untuk menghilangkan zat pengotor atau impurities seperti CO2, H2S, , dan mercaptan. Â Proses ini diperlukan untuk memastikan gas yang akan dikompresi memiliki kualitas yang sesuai dengan standar bahan bakar.
3. Kompresi gas
Setelah dilakukan pemurnian, gas kemudian dikompresi hingga mencapai tekanan yang tinggi. Kompresi ini akan mengubah gas menjadi CNG, yang membuat gas lebih mudah disimpan dan diangkut.
4. Distribusi
Distribusi CNG dapat dilakukan menggunakan tanker CNG (truk tangki bertekanan tinggi) atau melalui pipa khusus. CNG akan disalurkan ke Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) yang dilengkapi peralatan untuk mendistribusikan gas kepada konsumen.
Pemanfaatan gas suar menjadi CNG akan memberikan manfaat ekonomi dari segi finansial maupun lingkungan. Pengolahan gas suar 2 MMSCFD menjadi CNG diperkirakan dapat memberikan tambahan penerimaan sebesar Rp116 miliar per tahun. Reduksi emisi yang dapat dikurangi pun dapat mencapai hingga 39 ribu ton kg CO2 per tahunnya. Angka tersebut merupakan angka yang cukup tinggi dalam upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di Indonesia dari kegiatan flaring.Â
Meskipun memiliki banyak manfaat, terdapat berbagai tantangan dalam melakukan proyek pemanfaatan gas suar menjadi CNG. Â Salah satu tantangan utamanya adalah pasokan gas suar yang bisa saja tidak konsisten karena volume gas suar bergantung pada aktivitas pengeboran dan operasional fasilitas penghasil gas. Selain itu, kualitas gas suar bisa sangat beragam, tergantung pada lokasi dan kondisi pengeboran. Hal tersebut membuat proses pemurnian gas menjadi lebih kompleks dan memerlukan teknologi yang canggih agar dapat menghasilkan CNG yang memenuhi standar. Perlu adanya regulasi dan kebijakan yang tepat dari pemerintah untuk mendorong penggunaan transportasi berbahan bakar CNG karena bahan bakar ini dianggap lebih ramah lingkungan dengan menghasilkan emisi yang lebih sedikit dibandingkan dengan bahan bakar fosil. Jika permintaan terhadap CNG naik, maka akan banyak perusahaan yang melakukan produksi CNG.
Dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan peningkatan kebutuhan energi yang berkelanjutan, pemanfaatan gas suar bakar menjadi CNG merupakan solusi yang patut untuk dipertimbangkan. Langkah ini tidak hanya membantu mengurangi pemborosan energi dan emisi gas rumah kaca, tetapi juga memperkuat ketahanan energi nasional dan menciptakan dampak positif bagi perekonomian serta kualitas lingkungan di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H