Jeff Seibert yang merupakan Twitter Former Executive dan Serial Tech Enterpreneur mengatakan bahwa “ Setiap Tindakan yang kita lakukan dipantau dan direkam dengan hati-hati, bahkan mereka menghuting berapa lama kita melihat sebuah foto”
Ada yang namanya konsep presepsi yang digunakan untuk mendebak apa saja kira-kira yang useres atau pengguna ingin lihat, oleh karenanya data-data rekaman tersebut dibutuhkan agar presentase dalam medebak semakin tinggi, menyajikan konten yang pengguna sukai, terus-menerus dilakukan agar pengguna selalu datang dan perusaahan media sosial akan terus menghasilkan uang.
Dalam Film Social Dilemma banyak sekali dibahas dampak-dampak dari media sosial secara detail, mulai dari mengubah perilaku pengguna secara tidak sadar, memberikan addiction, perang saudara, membunuh kebebasan, terus terpaku dengan konten yang sama sehingga membentuk sudut pandang yang sempit dan tertutup dengan sudut pandang yang lain, bertia hoax, demokrasi hancur, saling menjatuhkan antar negara, kericuhan politik, kehilangan kepercayaan, dan masih banyak lainnya. Dampak pribadi yang saya alami saat ini adalah saya tidak bisa mengontrol diri saya dalam menggunakan sosial media, apalagi saat masa pandemi dimana saja dilimpahkan sebuah koneksi internet yang makin membuat saya sulit berpaling dari layar ponsel saya, saya menjadi sulit membagi waktu, kesulitan dalam berkonsentrasi, kesulitan dalam berfikir kritis, kesulitan menunda kepuasan dalam menggunakan media sosial, dan kesulitan dalam merancang masa depan mirip dengan dampak menonton pornography.
Saat ini banyak sekali manusia yang buta yang sedang menatap langit biru, manusia yang tuli namun bisa mendengar, manusia yang bisu namun sanggup berbicara, manusia yang pincang namun sanggup berlari kencang. Dapat dilihat disekeliling kalian, pada ruanglingkup keluarga ketika seorang Ibu menyuruh anaknya untuk melakukan sesuatu, Ibu harus memanggil anak itu berkali-kali bahkan hingga nada yang paling keras, padahal anak tersebut tidak tuli. Ketika seorang Suami sedang mengajak ngorbol Istirnya, bukannya menatap mata Suaminya ia malah menatap layar ponselnya dan hanya merespon omongan Suami dengan dengungan tenggorokkan saja. Dilingkungan luar rumah, ada Seseorang yang meminta pertolongan banyak orang yang malah pura-pura terpaku pada media sosialnya, bungkuk pada layar ponsel dan tak mau melihat apa yang terjadi. Ketika diluar bertemu dengan kerabat, bukannya menyapa malah menutupi wajahnya dengan ponselnya inilah mengapa media sosial dkatakan telah mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat.
Dahulu ketika saya SMP atau Sekolah Menengah Pertama saya memutuskan untuk masuk pondok pesantren dan tinggal di asrama dan selama 3 tahun di asrama tidak ada kata bosan walau saya tidak memegang sebuah telfon genggam, saya terus bersenang-senang bersama teman-teman saya hingga saat ini 5 tahun lamanya saya masih mengingat betul masa-masa kesenangan saya di SMP bahkan tanpa menggunakan handphone sekalipun. Dulu saya bisa merangkai impian saya dengan jelas, menggunakan waktu saya sebaik-baiknya. Awal bangun tidur saya akan memulainya dengan sholat subuh lalu membaca Al-Qur’an, kemudian saya akan mandi, lalu membaca buku sebentar dan kemudian tidur sejenak, makan, dan berangkat sekolah, saat pulang saya akan bermain dan mengobrol dengan teman saya, atau mandi, membaca buku lagi, kadang kala kmai mneonton film bersama dengan TV atau komuter yang disediakan, atau kadang bermain ke warnet bersama secukupnya, makan, dan kemudian sholat, membaca Al-Qur’an, mengobrol lagi dengan teman-teman saya, dan kemudian tidur. Waktu saya benar-benar saya gunakan semaksimal mungkin.
Berbeda dengan ketika saat saya menggunakan ponsel saat ini, pertama kali saya menggunakan ponsel pada SMA kelas 1 semester 2 hingga saat ini dan benar apa yang dikatakan oleh Shoshana Zuboff, PhD pada Film Social Dilemma yang merupakan Harvad Business School Profesor Emeritus dan Author The Age of Survelliance Capitalism berkata bahwa “Kita bisa mempengaruhi perilaku dan emosi dunia nyata tanpa memicu kesadaran pengguna, mereka sama sekali tidak tahu” dapat disimpulkan bahwa media sosial secara tidak sadar telah mengubah pola pikir, pola prilaku kita dan kita telah menjadi budak sosial media, dengan menjual data diri kita agar mereka mendapatkan uang.
Sebenarnya media tidaklah jahat, mereka tidak jahat namun cara mereka menjual para penggunanya untuk menghasilkan banyak uang harus diperbaiki, secara tidak langsung mereka telah mengubah dunia, mengubah orang-orang menjadi pasif, diperlukanya sebuah perusahaan dalam bersaing dan dalam mendapatkan uang, sehingga mereka tidak menjadi pemerintahan yang sungguhan yang menggerakkan rakyatnya seperti saat ini. Namun jangan meulu menyalahkan perusahan sosial media, adakalanya kita harus tetap berkaca dan sadar diri, dengan adanya ancaman seperti ini seharusnya kita harus dapat mengendalikan diri.
Demikian artikel dari saya, semoga dengan artikel ini kalian para pembaca dapat lebih mengontrol, penggunaan media sosial termasuk saya. Pergilah keluar rumah tanpa ponselmu, mulailah percakapan dengan teman-temanmu, tataplah mata lawan bicaramu, jangan menjadi kaum bungkuk yang hanya menatap sinar layar, janganlah membuat tembok besar sampai lawan bicaramu tidak dapat mendekatimu, semoga artikel ini dapat menyadarkan kalian, Film Social Dilemma sangat saya rekomendasikan agar kalian dapat lebih tahu bagaimana jahatnya perusaah media sosial memanfaatkan kalian secara lebih detail, sebenarnya banyak efek positif dari penggunaan media sosial, namun lebih banyak efek atau dampak negatif yang dapat kita rasakan pasa sekeliling kita. Mari berhenti dikendalikan oleh media sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H