Dalam beberapa dekade, sistem dan proses komunikasi terus mengalami perubahan disertai dengan hadirnya new media (media baru) sebagai sarana pendukung dalam proses penyebaran informasi. Komunikasi berperan aktif di dalam proses interaksi sosial yang terjadi pada seluruh lini kehidupan bermasyarakat dan bernegara untuk dapat menciptakan kebersinambungan dan memperluas informasi untuk didistribusikan kepada seluruh lapisan masyarakat tanpa adanya pengecualian dan ketidakadilan yang dimungkinkan dapat terjadi.
Sistem komunikasi memiliki berbagai macam bentuk dan fungsinya yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat setempat, tak terkecuali di desa. Sistem Komunikasi Masyarakat Desa (SKMD) atau lebih dikenal dengan Sistem Komunikasi di Pedesaan adalah sistem komunikasi di masyarakat yang entah sadar atau tidak telah berjalan dengan sendirinya, seolah-olah menjadi kesepakatan di antara mereka.Â
Kebanyakan dari mereka melakukan komunikasi secara langsung atau lisan dengan berbagai saluran seperti arisan, pengajian, penyuluhan, duduk-duduk di depan rumah dan lainnya mengikuti kebiasaan daerah setempat, dilansir dari laman website p2k.stekom.ac.id.. Komunikasi ini hadir sebagai jembatan antara pemerintah dengan mereka yang kurang memiliki akses lebih luas terhadap masifnya gelombang informasi yang terjadi, di mana segala informasi hadir tak terbendung hingga melahirkan misinformasi, mispersepsi, dan miskomunikasi.
Sistem komunikasi di pedesaan memiliki ciri khasnya sendiri, dalam buku Sistem Komunikasi Indonesia oleh Nuruddin menyebutkan, salah satu yang paling mencolok yaitu, komunikasi yang terjadi lebih banyak dilakukan dengan komunikasi antarpersona yang diakibatkan oleh minimnya kepercayaan yang tumbuh pada masyarakatnya terhadap media luar dan menyerahkan seluruh kepercayaan yang dimiliki kepada pemimpin desa, dalam bidang akademis biasa kita kenal dengan pemimpin opini (opinion leader).
Komunikasi desa merupakan salah satu proses komunikasi yang secara simultan terjadi guna mencapai kesatuan tujuan dari masyarakat setempat, tak terkecuali pada tiga daerah di Kalimantan Timur yang belakangan ini menjadi sorotan dengan kilatan peristiwa yang terjadi di sana mengenai hadirnya pertambangan ilegal dan penggusuran PKL lebih tepatnya, yaitu Kelurahan Makroman di Sambutan, Kecamatan Sanga-Sanga di wilayah pesisir Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Pasar Pagi di Kecamatan Samarinda Kota.
Berbicara mengenai kedua daerah yakni Makroman dan Sanga-Sanga yang tidak luput dari jangkauan industri ekstratif, salah satunya yaitu pertambangan ilegal, Kementerian ESDM RI dalam diksi lain menyebut PETI (Pertambangan Tanpa Izin) adalah kegiatan memproduksi mineral atau batubara yang dilakukan oleh masyarakat atau perusahaan tanpa memiliki izin, tidak menggunakan prinsip pertambangan yang baik, serta memiliki dampak negatif bagi lingkungan hidup, ekonomi, dan sosial.Â
Dari sisi regulasi, PETI melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dampak sosial kegiatan PETI antara lain menghambat pembangunan daerah karena tidak sesuai RT-RW, dapat memicu terjadinya konflik sosial di masyarakat, menimbulkan kondisi rawan dan gangguan keamanan dalam masyarakat, menimbulkan kerusakan fasilitas umum, berpotensi menimbulkan penyakit masyarakat, dan gangguan kesehatan akibat paparan bahan kimia.Â
Dari sisi lingkungan, PETI akan menimbulkan kerusakan lingkungan hidup, merusak hutan apabila berada di dalam kawasan hutan, dapat menimbulkan bencana lingkungan, mengganggu produktivitas lahan pertanian dan perkebunan, serta dapat menimbulkan kekeruhan air sungai dan pencemaran air apabila berada di dekat pemukiman.
Makroman Kian Terkubur