Pornografi adalah gambar, gambar, ilustrasi, foto, teks, suara, suara, gambar bergerak, animasi, kartun, dialog, gerak tubuh, atau bentuk informasi lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan publik, yang mengandung kecabulan atau eksploitasi. Perilaku seksual yang melanggar etika sosial. Menurut UU No. 44/2008 tentang Pornografi.
Sama seperti kasus artis berinisial GA dan rekannya MYD. Pada November 2020, video porno dan vulgar banyak beredar di media sosial seperti Instagram, Twitter, Telegram, dan media sosial lainnya. Dalam sebuah wawancara dengan wartawan, artis berinisial GA, menyatakan bahwa dia bukan dirinya dalam video, dan menyangkal bahwa video itu hanya mirip dengannya.Â
Dua minggu setelah video itu dirilis, polisi menangkap dua tersangka kriminal yang diduga menyebarkan video tersebut, berinisial PP dan MM. Mereka berencana menyebarkan video tersebut untuk menambah followers di media sosial. Â
Selama pemeriksaan, GA menyatakan bahwa dia telah mengirim video ke MYD, tetapi MYD menghapus video tersebut. Tiga tahun lalu, terungkap bahwa ponsel artis GA itu hilang, dan video itu telah dihapus sebelum ponselnya hilang. Saat GA dan MYD ditetapkan sebagai tersangka, mereka mendapat berbagai argumentasi karena undang-undang tidak.Â
Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang pornografi justru melindungi mereka sebagai korban, terkait dengan produksi dan kepemilikan pornografi di ranah privat. Paragraf pertama Pasal 4 UU Pornografi pada dasarnya melarang siapa pun membuat atau menyediakan pornografi, dan Pasal 6 melarang siapa pun memiliki atau menyimpan pornografi. Pasal 4 ayat 1 memiliki ketentuan ancaman, pidana paling singkat 6 bulan, paling lama 12 tahun, paling sedikit 250 juta rupiah, dan paling banyak 6 miliar rupiah.Â
Penyebaran pornografi tertuang dalam Pasal 27(1) Undang-Undang Pendidikan Teknologi Informasi, yang mengatur: Setiap orang mempunyai maksud dan tidak berhak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau menyediakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dapat diakses yang memuat konten yang melanggar martabat Pasal 45(1) UU No. 19/2016 mengatur tentang ancaman pidana bagi pelanggar, yaitu: Setiap orang yang dengan sengaja dan tidak berhak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau memberikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang isinya melanggar Pasal 27(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun. Atau denda maksimal Rp 1 miliar. Pasal 4(1) UU Pornografi mengatur bahwa produksi dan penyebaran pornografi dilarang. Ancaman terhadap pasal ini diatur dalam Pasal 29 UU Pornografi, yaitu:Â
Setiap orang yang memproduksi, memproduksi, memperbanyak, memperbanyak, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menyediakan, memperdagangkan, menyewakan, atau menyediakan bahan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana paling singkat 6 (enam) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan penjara. 12 (dua belas) tahun atau denda paling sedikit 250 juta rupiah dan paling banyak 6 (enam) miliar rupiah. Pornografi sendiri memiliki dampak, antara lain kecanduan, kerusakan otak, keinginan untuk mencoba dan meniru, dan memulai seks. Penjelasannya adalah:Â
1. Kecanduan ada berbagai konten pornografi yang muncul melalui iklan, media sosial, film, video klip, game, dll. Pada awalnya akan timbul rasa ingin tahu untuk menonton, kemudian rasa penasaran ini akan terus merangsang keinginan untuk menonton, kemudian mendorong keinginan untuk banyak menonton konten pornografi lainnya.
 2. Merusak otak
Pornografi merusak otak sebab pada otak ada bagian di depan yang bernama Pre Frontal Cortex( PFC). Bila PFC yang terdapat pada anak belum matang dengan sempurna. Bagian otak ini dapat rusak, hingga bisa menyebabkan sulit konsentrasi, tidak bisa menahan diri ataupun nafsu, susah menunda kepuasan, serta susah merancang masa depan, susah berpikir kritis, tidak bisa menguasai yang mana yang benar serta yang salah.
3. Kemauan berupaya serta meniru