Pada era digital saat ini, media sosial telah menjadi panggung utama dalam komunikasi politik modern. Setiap platform media sosial memiliki dinamika yang berbeda, bergantung pada individu yang memanfaatkan aplikasi tersebut. Menurut data dari Goodstats, sebanyak 49,9% masyarakat Indonesia telah memiliki akun media sosial. Baik laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda, bahkan anak-anak, semuanya menggunakan media sosial untuk mengikuti perkembangan zaman. Oleh karena itu, media sosial menjadi kunci dalam komunikasi politik modern, karena mampu menjangkau hampir setengah populasi Indonesia dalam membentuk persepsi publik.
Dua platform yang sangat berpengaruh, seperti TikTok dan Twitter, memainkan peran sentral dalam membentuk persepsi masyarakat terhadap politisi. Kedua aplikasi ini memiliki perbedaan signifikan, baik dari segi fungsi maupun audiens yang dituju. TikTok, dengan format video pendeknya, memungkinkan penyampaian pesan yang mudah diterima melalui konten berbasis audiovisual yang menarik perhatian. Di sisi lain, Twitter berfungsi sebagai arena diskusi yang kritis, di mana opini publik terbentuk melalui teks, argumen, dan debat yang intens dari berbagai individu.
Dengan karakteristik dan fungsi yang berbeda, kedua platform ini menawarkan pendekatan yang unik terhadap pencitraan politik, sering kali menghasilkan tanggapan yang kontras dari publik. Pencitraan politik, sebagai salah satu strategi komunikasi, kini bergantung pada kemampuan politisi untuk memanfaatkan karakteristik unik dari tiap platform media sosial. Namun, apakah perbedaan ini mendekatkan politisi dengan rakyat, atau justru memperburuk polarisasi? Studi kasus pencitraan Kaesang Pangarep dan Gibran Rakabuming Raka memberikan gambaran nyata tentang bagaimana respons publik di TikTok dan Twitter dapat sangat berlawanan
Media Sosial sebagai Alat Pencitraan Politik
Media sosial telah dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk beragam tujuan, termasuk dalam ranah politik. Di era modern saat ini, media sosial menjadi alat yang digunakan secara luas untuk membangun relasi dan menjalin kerja sama tanpa perlu bertatap muka secara langsung. Perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih telah menjadikan media sosial sebagai bagian dari gaya hidup masyarakat di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Para aktor politik memanfaatkan media sosial untuk membangun citra diri di mata masyarakat. Keaktifan mereka dalam membuat dan menyebarluaskan konten sehari-hari yang memberikan kesan simpatik terhadap rakyat menjadi strategi utama untuk mendongkrak citra positif. Melalui media sosial, politisi berupaya menarik simpati rakyat guna meningkatkan popularitas dan dukungan2. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat Indonesia untuk memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas tentang peran media sosial dalam dunia politik. Memahami kaidah pemanfaatan media sosial secara bijak adalah langkah yang penting agar masyarakat dapat menggunakan platform ini secara cerdas dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, sayangnya, banyak masyarakat Indonesia yang masih kurang teredukasi dalam memanfaatkan media sosial, terutama dalam membedakan aplikasi hiburan dan aplikasi yang berfungsi sebagai sumber informasi politik. TikTok dan Twitter adalah dua aplikasi media sosial yang menonjolkan perbedaan signifikan dalam tanggapan terhadap politik. Kedua platform ini sering kali memperlihatkan perbedaan mencolok dalam hal argumen dan opini penggunanya. Perbedaan tersebut, meskipun berasal dari fungsi dasar aplikasinya, dapat memengaruhi persepsi publik secara drastis, yang pada akhirnya memengaruhi pandangan masyarakat terhadap pencitraan politisi.
Algoritma TikTok dirancang untuk menyebarkan konten dengan cepat, terutama jika konten tersebut menarik perhatian secara emosional. Hal ini menjadikan TikTok sebagai platform yang ideal bagi politisi untuk menciptakan citra yang ramah dan mudah diakses. Sebaliknya, Twitter, sebagai platform berbasis teks, menjadi tempat utama untuk diskusi publik yang sering kali diwarnai opini kritis dan debat tajam. Pengguna Twitter cenderung lebih vokal dalam menyampaikan pandangan politik, sehingga politisi yang aktif di platform ini harus siap menghadapi kritik secara langsung.
Studi Kasus Kaesang dan Gibran
Salah satu contoh kasus yang relevan dalam komunikasi politik di media sosial adalah strategi pencitraan yang dilakukan oleh Kaesang Pangarep dan Gibran Rakabuming Raka, dua putra Presiden Joko Widodo. Pada tahun 2024, peristiwa politik menjadi sorotan utama karena pemilu dan pilkada serentak berlangsung di seluruh Indonesia. Momentum ini dimanfaatkan oleh para politisi untuk membangun personal branding demi menarik perhatian pemilih. Namun, respons masyarakat terhadap tindakan mereka berbeda-beda, tergantung pada media sosial yang digunakan sebagai medium penyebaran informasi.
Kaesang Pangarep: Baju 'Putra Mulyono'