Mohon tunggu...
Adin Aziz
Adin Aziz Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Background: Ilmu Komunikasi, part-timer in a coffee shop, seorang ambivert yang memiliki banyak minat :)

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tentang Mengusahakan Jodoh

30 Agustus 2014   10:51 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:07 692
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_321554" align="alignnone" width="640" caption="Ilustrasi: when boy meet girl"][/caption]

Pada satu kesempatan diskusi di kursusan bahasa Inggris milik seorang kawan, kami membahas tentang ta’aruf.

Disini ta’aruf saya artikan sendiri sebagai; media perkenalan antara laki-laki dengan perempuan, yang mana bertujuan untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan jika keduanya saling merasa ada kecocokan.

Ta’aruf, media perkenalan

Jika saya ulang dengan memberi penomoran, maka menjadi; (1) media perkenalan antara laki-laki dengan perempuan, yang mana (2) bertujuan untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan (3) jika keduanya saling merasa ada kecocokan.

Disana kebetulan hadir mbak (lupa namanya, kita panggil saja mbak Wulan), kawan kami dari Kalimantan. Kawan kami ini kebetulan telah menikah, dengan melalui ta’aruf. Mbak Wulan ini juga pernah menjadi perantara ta’aruf beberapa orang temannya.

Pada beberapa kisah yang dibeberkan mbak Wulan, saya menyimpulkan bahwa, orang yang menjadi perantara adalah orang yang mengenal dengan baik kedua pihak, pendeknya kita sebut orang yang menjadi perantara (selanjutnya kita sebut mak comblang) ini adalah kawan baik kedua belah pihak. Nah, kita tentunya tidak akan secara asal memilihkan pendamping hidup untuk kawan kita, bukan?

Tahapan ta’aruf, diawali dengan penyampaian profil diri pihak laki-laki serta kriteria-kriteria jodoh yang diinginkan, pun begitu juga dengan pihak perempuan. Biasanya dalam bentuk Proposal Ta’aruf, CV, atau apapun namanya. Kemudian CV tersebut dipertukarkan dengan kedua belah pihak untuk dipelajari, jika kedua merasa cocok, maka akan berlanjut pada pertemuan.

Ada banyak kisah pertemuan ta’aruf yang cukup membuat takjub dan haru. Dalam novel Ayat-Ayat Cinta misalnya, dikisahkan sang pemuda telah mendapatkan foto perempuan yang hendak dipertemukan, tapi ia tak segera melihat foto tersebut, hingga tiba masa keduanya bertemu muka.

Ada pula kisah dari adik sepupu kawan saya, mas Ryan. Adik mas mas Ryan ini pihak perempuan, saat pihak laki-laki datang, ia sama sekali tidak keluar menemui. Tapi ketika pihak laki-laki pulang, ia pun akhirnya mau melihat, hanya dari kejauhan. Dari itu keduanya merasakan kecocokan, hingga berlanjut ke pernikahan.

Dengan menggebu-gebu mbak Wulan menceritakan, tak terkira rasa bahagianya, ketika dulu ia pertama kali menyentuh tangan pihak laki-laki, dalam keadaan halal, sudah menikah. Ya, laki-laki yang kini menjadi suaminya, yang juga ia kenal melalui proses ta’aruf.

Lalu, bagaimana dengan pacaran?

Perlu kita ingat, bahwa dalam kepercayaan Islam, semua yang dilakukan antara suami-istri adalah ibadah. Berbeda dengan pacaran (saya terpaksa ikut menggunakan istilah ini), yang mana tidak ada ikatan nikah. Tidak ada ikatan kewajiban suami-istri.

Dalam pandangan saya pribadi, pacaran itu tidak dapat dipertanggungjawabkan. Kedua pihak bisa saja putus sewaktu-waktu. Pacaran, dengan segala lika-likunya itu, melelahkan. Semua akan terlihat manis selama pacaran, hingga akan terbuka semuanya setelah pernikahan.

Jika saya belajar dari pengalaman saya pribadi, saya akhirnya menyimpulkan, bahwa gaya pacaran saya selama ini adalah ikut arus. Hanya satu mungkin yang secara sadar memang saya mulai, dengan inisiatif saya sendiri.

Kala SMA dulu, saya sempat dekat dengan seorang kawan perempuan. Yang kini saya sadari, saya jadian dan pacaran (dengan campur-aduk saya memakai dua kata ini) dengan dia karena dikompori oleh kawan-kawannya, tidak benar-benar dari hati saya sendiri. Kawan perempuan saya kala itu, adalah seseorang yang punya ‘semacam’ keistimewaan dalam kelompoknya (kita bisa sebut geng, ingat kita cenderung untuk berkelompok dengan teman-teman tertentu ketika jaman sekolah dulu).

Kasus pacaran-karena-dikompori-kawan ini pun sempat terulang lagi di tahun-tahun pertama saya kuliah. Kemudian, yang namanya bukan dari hati, ya tetap pada akhirnya akan putus juga.

Pacaran yang secara sadar atas inisiatif saya sendiri adalah, hubungan dekat yang terjadi, kala saya bertugas menjadi reporter untuk koran kampus saya. Pendeknya, saya jatuh hati dengan narasumber saya. Dia dua tahun lebih muda dari saya, dan sudah bekerja saat kami bertemu dulu (hingga sekarang).

Saya menjalani dengan banyak rasa campur-aduk, antara tidak setujunya saya dengan konsep pacaran oleh orang kebanyakan, tetapi juga ingin memiliki kekasih yang saya sayangi. Saya sendiri, jujur, sangat setuju jika ada yang mengatakan, “Laki-laki yang hanya melakukan pendekatan tetapi tidak berusaha mensegerakan (untuk menikah), adalah laki-laki cemen, pengecut.” Tapi, ya begitulah pacaran, menurut saya.

Pada perjalannya putus-nyambung itu pun terjadi.

Semua karena fokus saya terbagi. Kerja, kuliah, keluarga.

Saya memang bukan dari keluarga yang berlebih. Kadang saya berpikir, mungkin hanya mereka-mereka dari keluarga mampu saja yang boleh ‘pacaran.’

Iya, mereka tidak perlu pusing untuk mencari makan, bukan? Banyak waktu luang bagi mereka, yang semakin memberi keleluasaan.

Tapi ya, seperti saya bilang tadi. Saya juga manusia biasa yang ingin disayang oleh kekasih. Satu-satunya alasan saya untuk lagi-lagi menghubungi dia, adalah untuk memberi penanda bahwa, saya tidak sedang dekat dengan perempuan lain. Penanda yang menjadi alasan kenapa komunikasi yang putus-nyambung ini tetap berjalan, hingga hampir tiga tahun ini.

Kembali pada diri pribadi

[caption id="attachment_321555" align="aligncenter" width="320" caption="Ilustrasi:Istiharoh, agar dimudahkan"]

1409345332509121568
1409345332509121568
[/caption]

Pada akhirnya, semua akan kembali pada kepercayaan serta keyakinan kita masing-masing. Mungkin tiap-tiap kita berbeda dalam hal mengusahakan jodoh. Salah satu caranya, misal, dengan ta’aruf itu tadi. Kemudian untuk meyakinkan diri, maka sebagaimana kita (umat Muslim) telah diberi tuntunan dengan sholat istiharoh. Maka minta lah petunjuk, penanda insya Allah akan datang. Dalam kisah Mbak Wulan, ia merasakan segala urusan menuju pernikahannya dipermudah, setelah sholat istiharoh.

Pernikahan dengan melalui ta’aruf, bisa jadi langgeng, bisa pula berakhir dengan perpisahan. Semua kemungkinan bisa terjadi. Dalam hal ini, kita percaya dengan yang namanya jodoh.

Tetapi, pacaran (dengan pemahaman dan keyakinan tiap-tiap orang yang menjalaninya) pun bisa juga berakhir bahagia di pernikahan.

Saya mengetahui sendiri, dua orang kawan saya semasa kuliah (mereka juga dari Kalimantan), toh pada akhirnya berjodoh, menikah dengan ‘pacar’ mereka semasa sekolah. Ada yang menikah setelah tujuh tahun pacaran, setelah empat tahun pacaran, dan sebagainya.

Ingat juga, laki-laki adalah calon imam. Calon pemimpin yang akan bertanggung jawab dengan keluarga. Jika kita merasa belum mampu, maka giatlah bekerja. Jangan berlebihan menghabiskan waktu dengan kawan dekat perempuan.

Giatlah berusaha, istiharoh, minta petunjuk, kalau berjodoh pasti dimudahkan, pasti didekatkan.

Tulisan ini murni pendapat dan perasaan saya pribadi, semua kembali pada keyakinan pembaca ya :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun