Terlepas dari kejadian kasuistik di beberapa tempat, semua sepakat pesona Ramadan membawa perubahan bagi setiap individau yang meryakini kegungannya.
Pusat perbelanjaan, instansi pemerintahan, tontonan di televisi, bahkan perilaku sosialpun ‘dipaksakan’ se-Ramadan mungkin.
Bagi muslim laki-laki, tidak afdhal rasanya kalau keluar rumah tidak mengenakan aksesoris seperti baju ‘taqwa’, songkok, atau selembar kain yang dililitkan di kepala bagi yang perempuan, meski hanya menutupi sebahagin rambutnya saja.
Dan bagi mereka yang kebetulan memiliki ‘kelebihan’ harta (duit) rasanya tidak sempurna ‘ibadahnya’ di bulan Ramadan kalau tidak mengundang anak-anak panti asuhan, yatim piatu, dan dan jenis dhuafa lainnya untuk berbuka puasa bersama.
Sampai-sampai pengelola panti asuhan pun konon ‘keder’ karena kebanjiran order, yang mana harus dihadiri undangannya. Akhirnya, yang mana kira-kira lebih ‘menjanjikan’ itulah yang dihadiri.
Masjid bahkan surau terkecil di pelosok kampong sekalipun dipastikan penuh sesak oleh jubelan manusia yang ‘ngalap’ berkahnya Ramadan, I’tikaf pun menjadi pilihan untuk optimalisasi bulan Ramadan.
Tua-muda, bocah-remaja, laki-perempuan, kaya-miskin, hanyut dalam ‘ritual’ Ramadan, tanpa pandang status dan strata sosial. Saat beduk Magrib menggema, Pejabat-rakyat Jelata bersanding mesra penuh canda tawa, duduk setara, dan makan-minum yang sama, tanpa perbedaan tanpa ego.
Sayangnya, mau tidak mau, suka atau tidak suka, Ramadan hanya datang 29 atau 30 hari dalam 365 hari, lantas apakah kita pun hanya menjadi makhluk saleh dan peduli sesama hanya 29 atau 30 hari juga? Na’udzubillah.
[ditulis tengah malam di penghujung Ramadan]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H