Oleh Adi Mulyadi
Ketua Pawapeling Kabupaten Bandung
Beberapa waktu lalu Pemerintah Pusat maupun Daerah telah mengklaim sudah menghentikan dan mempidanakan sejumlah perusahaan textil yang diindikasikan telah melakukan pelanggaran Undang-undang No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pelanggaran lingkungan hidup itu diantaranya yakni membuang limbah B3 ke media lingkungan tanpa pengolahan baku mutu. Hal tersebut dipaparkan oleh BPLH Kabupaten Bandung di dalam sebuah diskusi dengan sejumlah penggiat lingkungan hidup yang dilaksanakan beberapa waktu lalau di kabupaten bandung.
Namun, klaim itu terbantahkan dengan realitas yang ada di lapangan. Berdasarkan investigasi yang saya lakukan beberapa hari lalu. Itu dilakukan mulai dari penelusuran lubang/saluran pembuangan limbah cair industri tekstil di Kab. Sumedang hingga ke Sungai Cikijing dan ke Sungai Citarik serta Sungai Citarum.Itu ditemukan fakta yang cukup mencengangkan. Fakta itu menunjukan bahwa perusahaan textil pt. kahatex sampai hari itu ditengarai masih membuang limbah B3-nya ke sungai. Yang membuat saya kaget adalah aliran sungai-sungaiitu melewati beberapa hektar pesawahan dan halaman depan dan belakang rumah-rumah warga di sejumlah desa, yang diantaranya Desa Jelegong, Linggar, Sukamulya, Bojong loa, Sukamanah, Solokanjeruk, dan Bojong Emas Kecamatan Rancaekek, dan Solokanjeruk, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
Limbah B3 perusahaan textil itu tentunya dapat berdampak negatif pada aspek ekonomi, kesehatan, kematian biota dan kerusakan lingkungan hidup pada umumnya. Dampak itu nyata terjadi yang pada hari itu menimpa, dirasakan langsung oleh sejumlah masyarakat. Salah satunya adalah seorang warga yang berpropesi sebagai petani yang bertempat tinggal sekitar lebih dari radius 1 km dari perusahaan textil itu. Warga yang dimaksud adalahbernama Bah Dayat. Bah Dayat adalah warga asli pribumi yang lahir pada tahun 1952 silam bertempat tinggal di kampung Cipasir Desa Linggar Kecamatan Rancaekek Kabupaten Bandung.
Pertemuan saya dengan bah dayat adalah ketika dalam perjalanan penyisiran sungai-sungai pada hari itu, yang dengan kebetulan melintasi sawahnya. Sembari istirahat kemudian saya menyapanya, terjadilah perbincangan yang cukup lama dengannya. Ia bercerita soal riwayat mulanya menjadi seorang petani. Pada tahun 1970 tahun silam, semasa masih bujangan Ia sudah menggeluti propesi sebagai petani. Namun waktu itu Ia masih menggarap sawah orang tuanya. Kemudian setelah Ia menikahbeberapa tahun kemudian tepatnya pada tahun 1975, itu Ia memiliki sebidang sawah sendiri dengan luas sekitar 5 bata (Tumbak=14 meter persegi) pertama kali waktu itu.
Berkat kerja kerasnya itu bah dayat sampai dengan tahun 1990, memiliki luas sawah sekitar 4 Bahu (dalam istilah warga sana), atau sekitar 3 hektar lebih. Kejayaannya dalam bertani Ia rasakan pada tahun 1980-an. Dari luas sawah 3 hektar waktu itu menghasilkan sekitar lebih dari 20 ton padi yang di panennya. Namun Ia lupa mengingat harga padi per kwintal waktu itu. Kejayaan bah dayat itu hanya bertahan sekitar 10 tahun saja dan perlahan mulai runtuh. Keruntuhannya itu bermula tahun 1990, ketika sejumlah pabrik-pabrik industri berdiri, yang salah satunya adalah pabrik Pt. Kahatex.
Data BPLHD Propinsi Jawa Barat tahun 2003, mencatat ada 22 industri yang terdapat di Wilayah Rancaekek, terdiri dari 18 buah industri tekstil, 1 buah industri minuman, 1 buah industri jala, 1 buah industri PCB dan 1 buah industri penyamakan kulit. Dari 22 industri tersebut sebagian besar menghasilkan limbah cair dengan total 759 liter/detik atau 5,31 ton/hari. Sedangkan debit limbah cair dari 22 industri di wilayah Rancaekek adalah 65.618 m3/hari. Dalam laporan tersebut ditulis, bahwa kontributor debit limbah cair terbesar adalah PT Kahatex yaitu sebanyak 21.108 m3/hari. Dengan demikian PT Kahatex berkontribusi sebesar 32,2% dan 21 industri lainnya berkontribusi sebesar 67,8%. Limbah tersebut ditengarai telah dibuang langsung ke media lingkungan di enam sungai tanpa dilakukan pengolahan baku mutu.
Kerugian Ekonomi
Tahun 2003 adalah merupakan tahun dimana kejadian terburuk dan paling parah dalam sejarah gagal panen yang dialami oleh para petani termasuk bah dayat di wilayah tersebut. Dan hal itu adalah salah satu dampak negatif dari limbahB3 pabrik tersebut. Panen terakhir pada bulan September 2013 lalu, dari luas sawah 3 hektar lebih itu hanya menghasilkan 28 kwintal padi, begitu pula kualitas padinyapun belum tentu bagus. Itu sangat jauh merosot hasilnya dibanding dengan tahun 1980-1990 yang mana panen padinya itu mencapai 20 ton permusim. Bah dayat kehilangan sekitar 172 kwintal permusimnya, dengan harga padi saat ini, berkisar anatara padi basah Rp. 380.000/kwintal dan padi kering Rp. 500.000/kwintal. Jika dihitung harga saat ini dengan kondisi padi kering perkwintal harganya Rp. 500.000,- maka kerugian yang dialami oleh bah dayat adalah mencapai Rp. 86.000.000,- permusim, belum ditambah upah yang telah dikeluarkan untuk mesin traktor, buruh tandur, pupuk dan lain sebagainya, juga tenaga bah dayat sendiri dan lamanya waktu. Adalah sebuah kerugian ekonomi sangat luar biasa besarnya bagi seorang petani seperti bah dayat, yang mana hal itu tentunya merepresentatifkan para petani lain yang juga sama mengalami gagal panen di wilayah tersebut.
Bah dayat bukan tidak tahu atau tidak pernah melaporkan kejadian ini kepada pemerintahan Desa dan Kecamatan, tetapi sering kali ia laporkan. Tetapi karena seringnya itu, dan tidak ada responmaka ia sudah tidak percaya lagi dengan janji-janji pemerintah yang mana kini ia hanya bisa pasrah. Laporan darinya itu hanya direspon untuk dilakukan pendataan saja tidak pernah serupiahpun ia menerima uang atau barang bantuan atau ganti rugi dari perusahaan. Adapun, ia mendapatkan pembebasan untuk membayar pajak sawahnya oleh pemerintah, namun hal itu tak seberapa jika dibanding dengan kerugian yang dialaminya. “Atos sering laporan, cuman di data weh jeng di janji-jani hungkul. Cenahmah aya ganti rugi itu ieu ti perusahaan, tapi abahmah teu narima sapser oge. Meren di duitnamah didalahar kunu palinterweh. (Sudah sering laporan cumin hanya di data saja dan di janji-janjikan. Katanya ada ganti rugi ini itu dari perusahaan tapi abah tidak pernah menerimanya sepeserpun. Mungkin uangnya di makan oleh orang-orang pinter”. kata bah dayat ketika berbincang dengan saya dipinggir sungai yang tercemar B3.
Menurut bah dayat, setiap hari kahatex masih membuang limbahnya ke sungai yang melintasi sawahnya. “Bohong ges teu micen limbah, buktina ieu cai hideung kieu jeng bau masih ngalir. Timana ieu ngalirna lamun lain ti kahatex. (Bohong sudah tidak buang limbah, buktinya ini air hitam dan bau masih ngalir di sungai. Darimana datangnya kalau bukan dari kahatex.)” Katanya sambil terlihat marah dan kesal pada perusahaan pembuang limbah itu.
Dampak Kesehatan
Setiap hari bah dayat berada di sawah, dan dalam kurun waktu 3 tahun terakhir Ia mulai merasakan dampak limbah B3 itu pada kesehatan dirinya. Hal itu Ia rasakan ketika tangannya gatal-gatal dan kukunya hampir membusuk. Ia memperlihatkan kedua tangannya yang terserang penyakit gatal-gatal itu kepada saya, dengan wajah yang melaas. “Abah ngaraos arartel panangan ieu teh tiap wengi atos titilu taun kapengker. Kuku-kuku jug-ujug buruk, sareng atel pisan. Ayeuna lamun lain tina cai limbah ieu, timana datagna tiap poe di sawah da teu aya riwayat panyakit atel ti keluargamah (Abah merasa gatel tanganya setiap malam itu sudah tiga tahun lalu. Kuku-kukunya tidab-tiba busuk dan gatel banget. Sekarang kalau bukan dari air limbah dari mana lagi karena abah setiap hari di sawah dan gak ada riwayat gatel-gatel dari keluarga.” Katanya
Harapan
Harapan Abah dayat tidak muluk-muluk Ia hanya menginkan kondisi air sungai yang melintasi sawahnya itu bisa normal kembali. Dengan demikian maka Ia akan dapat normal pula bertandurnya dan panennyapun juga pasti akan normal kembali. “ Abahmah hayang cai walungan normal deui, tapi kumaha da teu bisa. Sugan atuh anu parinter jeng pamarentah bisa nganormalkeun deui cai ieu. Abah kepingin air sungai ini normal kembali. Mudah-mudahan orang yang pintar bersama pemerintah bisa menormalkan lagi airsungai tersebut.” Harapnya
Demikian realitas di lapangan dan faktanya adalah perusahaan textile Pt. Kahatex masih membuang limbah B3-nya ke media lingkungan atau sungai. Dan abah dayat adalah salah satu dari sekian ribu masyarakat yang rumahnya berada di bantaran sungai yang dilintasi aliran limbah B3 kahetex. Selain itu sepanjang perjalanan penyisiran saya, sejumlah warga saya tanya soal kondisi air sungai yang melintasi rumah-rumahnya. Yang terlihat sangat hitam pekat dan telah mengeluarkan bau busuk yang luar biasa menyengat. Diantaranya adalah Pak Encu, Rahmat, Undang, Komara, Asep, Iyan, Bu Yeni dan Riri warga yang rumahnya di samping pabrik kahatex dan di bantaran sungai yang dilintasi limbah tersebut, mengatakan. “Bau banget setiap hari sampai sering merasa mual. Warga sudah resah tapi tidak ada tindakan dari pihak berwenang” Testimoninya.
Kontak: Adi Mulyadi, 087822617218Email: pawapeling@gmail.com http://pawapeling.wordpress.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H