UU Keistimewaan dan Jogja Ora Didol
Suatu kali pada Agustus 2013, nuansa lebaran saat itu, saya kaget saat banyak tempelan poster “kowe neng ngendi (Kamu Dimana) Haryadi” dengan latar belakang poster adalah lambang PSIM. Sebetulnya, sejak lama saya tahu bahwa PSIM dikelola secara amburadul, atau minimal tidak ada orang yang benar-benar ditempatkan secara profesional. Entah mengapa Pak Herry (eks Walikota) gagal, dan kegagalan dilanjutkan oleh Pak Haryadi.
Saat kemudian kembali ada hingar bingar bertajuk “Jogja Ora Didol”, dan dari banyak sekali opini-opini yang menohok, pada intinya semua berfokus pada isu tanah dan atau tata kota yang (makin) kacau. Selanjutnya, ada suatu narasi bahwa “ini bukan semata kota” tapi lebih besar lagi: “ini problem seprovinsi”, hanya saja warga Kota Yogya lebih berani dan frontal mengekspresikannya.
Sebagai orang yang pernah secara khusus mengevaluasi RUU Keistimewaan DIY (dan berbagai RUU di Komisi 2 DPR RI) dan juga pernah terlibat dalam rapat (Mei 2013) terkait jadi/tidaknya Bandara baru di Kulonprogo akan dibangun, saya seperti mengalami hutang moral untuk memaparkan apa yang sebetulnya terjadi mengenai (setidaknya) RUU tersebut dimasa lalu.
Saya ingat sekali bahwa PDIP dan Golkar memang menjadi lokomotif utama dalam hal (mbok ya segera saja) RUU Keistimewaan DIY disahkan. Saya menyebut PDIP lebih dulu, bukan semata PDIP memang lebih aktif dibanding Golkar dalam “menyuarakan kepedulian (agar RUUK)” segera disahkan. Tapi memang karena dalam tiap rapat RUUK DIY, kehadiran fraksi PDIP jauh lebih all out dibanding fraksi lain. Tidak 100 persen, tapi selalu hampir semua datang.
Apakah kemudian Fraksi ini memiliki beban moral atas (justru) terkapling/terkapitalisasinya tanah-tanah di Yogya? Sebentar, jangan buru-buru.
Setahu saya, dari catatan notulen yang bisa saya buat atas rapat di DPR dan rapat konsinyer atas RUUK DIY (dan hingga kini sebetulmnya masih banyak link download untuk mengunduh notulensi RUUK DIY yang dibuat tim DPR, bukan saya), PDIP menginginkan bahwa jika RUU tersebut disahkan, ada kejelasan hukum bagi semua warga DIY dalam hal (per)tanah(an)-nya. Dan bukan membuat Kesultanan (melalui Sultanat Ground) dan Pakualaman (melalui Paku Alaman Ground) menjadi seenaknya mengambil lahan-lahan warga hanya karena alasan “loh dulu kita hanya ngasih tempat tapi bukan ngasih hak milik”.
Kebetulan sekali, RUUK DIY saat itu berbarengan dengan pembahasan RUU Pertanahan di Komisi 2 (yang kunkernya sampai harus ke Perancis), dan RUU Pertanahan pun sampai saat ini belum selesai disahkan. RUU Pertanahan saat itu juga punya tujuan mulia. Pertama, ada pemetaan yang lebih akurat atas tiap-tiap tanah warga vis pemerintah. Kedua, ada kejelasan bagaimana kemudian mengelola tiap-tiap lahan pemerintah yang sebetulnya mangkrak tapi tetap bersikukuh pemerintah memilikinya (yang selanjutnya pada 2013 ini yang disuruh menangani hal ini adalah Badan Pertanahan Nasional/BPN dan Badan Informasi Geospasial/BIG selaku pengganti Bakosurtanal). Ketiga, ada niatan agar rakyat bisa jauh lebih dipermudah dalam mengurus sertifikat tanahnya. Jadi, kadang isu-isu sensitif di RUUK DIY yang utamanya terkait tanah, kadang juga diselipi dengan konteks “diingat pula lho sama RUU Pertanahan yang kita bahas”.
Pembangunan Mall atau minimal Ruko yang makin kencang sebetulnya sudah terjadi sejak RUUK belum disahkan, dan kadang juga diselipi kepentingan Kesultanan. Kalaupun tidak bisa digeneralisasi sebagai kepentingan kesultanan, minimal disebut dengan “salah satu penggerak pembangunan mall adalah dari pihak kesultanan”. Pada suatu opini yang saya lihat, dalam kasus terbaru ada 6 mall baru yang akan dibangun, yaitu (1) di dekat Jombor, (2) di dekat jaringan hotel nasional di Seturan, (3) di utara Monjali, (4) di dekat Polda DIY, (5) di dekat sungai Tambakbayan, (6) satu lagi kurang tahu.
Toh diluar 6 kasus tersebut, sudah pernah ada perlawanan “si kecil”, bukan. Ambarukmo, tapi tetap saja dibangun. YAP Square, tapi juga tetap saja dibangun. Ruko di dekat Sendangsono tapi juga gagal dicegah. Tapi jangankan mall, masih ada yang lebih mengkhawatirkan bagi saya.
Saya menyebutnya bahwa Yogya (secara Provinsi) akan dibangun dengan konsep ala “BSD (Bumi Serpong Damai)”. Sejak gempa 2006 dan letusan Merapi 2010, ada kecenderungan berbagai fasilitas infrastruktur yang besar/amat besar dibangun di area barat. RS Akademik Gadjah Mada misalnya, entah apa planningnya apakah kebetulan atau tidak, berlokasi di agak barat (baratnya Jombor). Bandara Kulon Progo yang tak kunjung dibangun, tentu saja di barat. Ada 1 universitas ternama (diluar UMY) yang kemudian memilih bangunan utamanya dibangun di barat DIY (meski awalnya bertempat di dekat malioboro dan di Gejayan).
Yang lebih masif, adalah perumahan. Saya kaget saat November 2012 kembali ke Yogya, dimana saat menyusuri jalan menuju Wates, tetiba ada banyak sekali reklame perumahan baru yang akan dibangun, salah satunya perumahan dengan pengembang nasional yang sudah level internasional. saya sadar bahwa sepertinya “Barat DIY” adalah masa depan DIY. Tapi masalahnya, masa depan untuk siapa?
Maka protes bertajuk “Jogja Ora Didol”, sebetulnya menjadi antiklimaks atas UU Keistimewaan. Saya ingat betul, Golkar (Cawali) dan PDIP (Cawawali) berkampanye pilwalkot dengan euforia bahwa kota Yogya akan menjadi lebih tertata dan sebagainya. Kedua partai ini, utamanya PDIP, yang nyata-nyata sebagai penggerak RUUK DIY pula. Memang hingga saat ini belum ada opini yang saya lihat, apakah antara Walikota dan Wakil Walikota Yogya berselisih/tidak dalam menyikapi izin pembangunan hotel yang begitu masif beranak-pinak di Yogya. Yang saya dapat lebih ke fokus walikotanya.
Oh ya, saya tidak terafiliasi paprpol manapun. Saat di DPR, itu murni berposisi mengevaluasi atas nama NGO yang memantau dan memberi masukan atas berbagai RUU.
Saya bingung mengapa UU Keistimewaan justru menjadi “alat penggusur warga”, utamanya yang kini lebih terasa adalah warga Kota Yogya vis pengembang hotel. Salah satu tempat KKN PPM UGM saya dulu (di dekat SMA 1 Yogyakarta), dekat dengan suatu hotel bintang 4 yang sedang dibangun. Entah berapa warga yang digusur.
Padahal dalam UU Keistimewaan juga terkandung “Dana Keistimewaan” yang diamanatkan kepada pemerintah pusat agar diberikan tiap tahunnya pada pemprov. Bisa sekitar Triliunan harusnya, karena kalau tidak salah, angkanya 0,5 persen dari APBN, sementara APBN sudah mencapai 1.700 Triliun. Awalnya dana keistimewaan ini diusulkan karena ada tujuan mulia spesifik yang akan dibangun: parkiran raksasa di dekat Stasiun Tugu, yang akan dibangun di tanah terbengkalai di dekat Stasiun Tugu, nanti dana keisitimewaan bisa dipakai untuk pembebasan lahan dan pembangunan gedung parkir. Karena jika merujuk APBD Provinsi dan APBD Kota, sama sekali tidak mungkin membangun gedung parkir raksasa tersebut.
Dana keisitimewaan yang sedemikian besar sebetulnya juga dimaksudkan untuk membangun bandara Kulon Progo. Menyadari Adi Sucipto tak lagi cukup besar menampung (setahu saya zaman pasca kemerdekaan, bandara ini maunya dibangun hingga seluas ke areal yang kini dibangun JEC,-red). Tentu saja karena APBD Provinsi DIY tak cukup membiayai pembangunan bandara, sehingga ada pasal terkait Dana Keistimewaan. Toh pada Mei 2013 lalu, direksi Angkasa Pura yang membawahi Bandara Adisucipto dan membawahi rencana pembangunan Bandara Kulon Progo juga tak bisa memberikan jawaban meyakinkan kapan dan bagaimana bandara baru akan dibangun. Terkesan dari jawaban pihak Angkasa Pura (dari yang saya simak saat rapat), mereka seolah terkendala dengan UU Keistimewaan dan hal lain, tapi disampaikan secara tersirat.
Saya sadar harga tanah makin mahal. Jangankan di Yogya. Menurut data Real Estate Indonesia, kenaikan harga tanah termahal dalam 1,5 tahun terakhir adalah kota Semarang tempat lahir saya, yang mencapai 3kali lipat harga dibanding setidaknya 1,5 tahun lalu. Bisa jadi karena ekses pembangunan berbagai tol (proyek Trans Jawa) yang melintasi Semarang. Saya tidak tahu berapa besar kenaikan harga tanah di Yogya, baik secara kota maupun secara keseluruhan/provinsi.
Tapi saat UU keistimewaan justru menjadi alat penggusur warga (hanya karena atas nama Sultanat/Paku Alaman Ground), disaat harga tanah makin tak terbeli sehingga warga sedapat mungkin tidak menjual tanahnya karena tak mungkin membeli tanah di tempat lain, hal ini menjadi kontradiktif. Padahal, UU Keistimewaan justru disahkan agar (salah satu poinnya) memberi kepastian bahwa warga DIY memiliki tanah yang ditempati selama puluhan tahun. Bisa jadi harusnya UGM minggat saja ke Jakarta. Lha iya, UGM terletak di tanah strategis sekali, bukan. Kalau suatu waktu, entaha generasi keberapa dari Kesultanan/Paku Alaman memaksa mengambil, bagaimana?
Sebagai orang yang (secara keluarga, selama 10 tahun) berjuang total hingga akhirnya memiliki rumah baru di Yogya, saya sedih dengan “Jogja Ora Didol”. Dan benar, Haryadi mungkin hanya “tangan kecil” dari suatu sistem. Saya sedih, “sistem” itu ternyata adalah pihak yang sebetulnya disegani di berbagai provinsi, minimal karena tidak seamburadul (perpecahan di) Surakarta. Saya sedih, jika UU Keistimewaan, nantinya jika tak ada lagi pembatasan nafsu ekspansi aset tanah, hanya akan membuat Kesultanan Yogya terpecah seperti di Kasunanan Surakarta, kasunanan dimana salah satu orangtua saya mendapat silsilah.
Akhirnya saya menulis ulasan lagi. Sayangnya bukan hal yang ceria atau positif. Mudah-mudahan kekhawatiran saya memang terlalu berlebihan dalam hal Jogja Ora Didol.
Saya mencintai Yogyakarta, kotanya, dan provinsinya. Saya khawatir Yogya sedang menggali kuburnya sendiri hanya karena isu materi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H