Mohon tunggu...
Adi Muhamad Fadilah
Adi Muhamad Fadilah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Nama saya Adi Muhamad Fadilah saat ini saya sedang menempuh pendidikan di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Siliwangi di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Saya suka menulis dan saya juga suka kamu :)

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Keramahan dan Kejujuran Dua Wajah Kota Jogja

5 Februari 2025   12:54 Diperbarui: 6 Februari 2025   06:16 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Foto ikonik tugu Yogyakarta, Jawa Tengah, dan foto bersama `dengan warga lokal pemandu jeep kami.

Jogja selalu punya cara untuk membuat siapa pun jatuh cinta. Kota ini bukan sekadar destinasi wisata dengan keindahan budaya dan sejarahnya, tetapi juga tempat di mana nilai-nilai kehidupan masih terjaga dengan baik. Dua hal yang paling menonjol dan terasa kuat saat berkunjung ke Jogja adalah keramahan dan kejujuran masyarakatnya. Bukan hanya sekadar slogan, keramahan dan kejujuran ini benar-benar diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, menjadikan Jogja sebagai kota yang istimewa bukan hanya dalam nama, tetapi juga dalam pengalaman.

Saya merasakan langsung kehangatan ini ketika mengikuti bimbingan teknis di Jogja. Berbagai pengalaman menarik saya dapatkan, dari berinteraksi dengan warga lokal, menikmati kuliner khas di angkringan, hingga menjajal petualangan off-road di kaki Gunung Merapi. Namun, dari semua itu, yang paling membekas dalam ingatan saya bukan hanya tempat-tempat yang saya kunjungi, melainkan sikap warga Jogja yang begitu tulus dalam menyambut tamu. Dalam tulisan ini, saya ingin membagikan pengalaman dan refleksi saya tentang bagaimana keramahan dan kejujuran menjadi dua wajah utama yang membentuk karakter Kota Jogja.

Keramahan: Sambutan Hangat di Setiap Sudut Kota

Begitu tiba di Jogja, keramahan penduduknya sudah terasa sejak awal. Senyuman tulus, sapaan ramah, hingga cara mereka berbicara yang lembut menciptakan suasana yang begitu nyaman. Saya ingat saat pertama kali menyusuri Malioboro, saya sempat bertanya arah kepada seorang pedagang kaki lima. Bukannya sekadar menunjuk jalan, beliau justru dengan antusias menjelaskan dengan detail sambil memastikan saya tidak tersesat. Bagi masyarakat Jogja, membantu orang lain bukanlah sebuah beban, melainkan bagian dari kehidupan sosial mereka.

Bukan hanya itu, keramahan juga sangat terasa ketika saya makan di angkringan. Saya memilih duduk bersebelahan dengan beberapa orang yang awalnya asing bagi saya. Namun, dalam hitungan menit, suasana menjadi begitu akrab. Mereka dengan santai mengajak saya mengobrol, berbagi cerita tentang kehidupan di Jogja, bahkan memberikan rekomendasi tempat-tempat menarik yang patut dikunjungi. Tidak ada rasa canggung, tidak ada sekat sosial, semua terasa begitu alami. Di Jogja, setiap orang bisa merasa seperti keluarga, bahkan tanpa mengenal satu sama lain sebelumnya.

Keramahan ini bukan hanya milik para pedagang atau pengusaha wisata, tetapi juga tertanam dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Mereka terbiasa hidup dalam filosofi "sawang sinawang" saling memahami dan menghormati satu sama lain. Itulah sebabnya, Jogja sering kali disebut sebagai kota yang "ngangeni" (dirindukan), karena di sini, orang merasa diterima dan dihargai, tidak peduli dari mana mereka berasal.

Kejujuran: Budaya yang Menjadi Identitas

Selain keramahan, kejujuran adalah nilai lain yang begitu kuat terasa di Jogja. Hal ini saya alami sendiri saat mengikuti wisata off-road di kaki Gunung Merapi. Setelah perjalanan yang penuh tantangan dan keseruan, saya dan rombongan tiba di tempat di mana hasil foto perjalanan kami sudah dicetak dan diletakkan begitu saja di tanah dekat Bus kami. Tidak ada penjaga yang mengawasi dengan ketat, tidak ada sistem keamanan yang rumit. Setiap orang bebas mengambil foto mereka sendiri, lalu membayarnya secara langsung kepada petugas yang ada di dekat situ.

Sistem ini benar-benar mengandalkan kejujuran. Tidak ada yang memaksa, tidak ada yang mengontrol dengan ketat, hanya ada kepercayaan antara penjual dan pembeli. Kepercayaan ini tidak muncul begitu saja, melainkan sudah menjadi bagian dari kebiasaan masyarakat Jogja. Mereka percaya bahwa orang lain pun akan berlaku jujur, sehingga tidak perlu pengawasan berlebihan. Hal ini adalah cerminan dari filosofi hidup orang Jawa yang menjunjung tinggi nilai "becik ketitik, ala ketara" perbuatan baik akan terlihat, begitu pula sebaliknya.

Sistem berbasis kejujuran seperti ini tidak hanya saya temukan di wisata off-road. Di berbagai tempat di Jogja, mulai dari angkringan hingga toko oleh-oleh, banyak yang menerapkan sistem self-service dengan pembayaran sukarela. Bahkan di beberapa warung makan, pelanggan dipersilakan mengambil makanan sendiri dan membayar sesuai dengan apa yang mereka ambil, tanpa ada kasir yang mencatat satu per satu.

Kejujuran di Jogja tidak hanya soal transaksi jual beli, tetapi juga menjadi bagian dari interaksi sosial. Orang-orang di sini terbiasa untuk berbicara apa adanya tanpa niat menipu atau mengambil keuntungan dari orang lain. Itulah sebabnya, banyak wisatawan yang merasa aman dan nyaman saat berkunjung ke Jogja. Tidak ada rasa takut akan ditipu atau diperlakukan dengan tidak adil, karena mereka tahu bahwa kejujuran adalah bagian dari budaya yang dijunjung tinggi oleh masyarakat setempat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun