Mohon tunggu...
Muhammad Faiz Mumtazul Falihin
Muhammad Faiz Mumtazul Falihin Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

Prodi IQT

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menggugat Keberlanjutan: Korupsi di PT Timah Tbk dan Dampaknya terhadap Keadilan Sosial di Indonesia

4 November 2024   13:16 Diperbarui: 4 November 2024   13:16 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Bagi negara berkembang seperti Indonesia, kasus korupsi senantiasa tiada hentinya menggerogoti pondasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Baru-baru ini , Indonesia di hebohkan oleh kasus mega korupsi yang di perkirakan hingga menyebabkan kerugin keuangan negara sebesar Rp 271 Triliun. kasus ini berkaitan dengan dugaan korupsi dalam pengelolaan tataniaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk untuk periode 2015 sampai 2022.

Secara sederhana, kasus ini berkaitan dengan kerja sama ilegal dalam pengelolaan lahan antara PT Timah Tbk dan pihak swasta. Hasil dari pengelolaan ini kemudian dijual kembali kepada PT Timah Tbk, yang berpotensi menyebabkan kerugian bagi negara. Kejaksaan Republik Indonesia berperan sebagai penegak hukum dalam pengungkapan kasus ini, dan sejauh ini telah menetapkan 16 orang sebagai tersangka. Beberapa nama tersangka yang mendapat perhatian adalah Harvey Moeis, suami aktris Sandra Dewi, serta Helena Lim, seorang pengusaha kaya dari Pantai Indah Kapuk (PIK).

Besarnya angka kerugian keuangan negara akibat praktik korupsi di PT Timah menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana penghitungan tersebut dilakukan sehingga mencapai nominal yang disebutkan. Untuk memahami kerugian keuangan negara, penting untuk mengetahui apa saja yang termasuk dalam kategori tersebut. Berdasarkan UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, keuangan negara didefinisikan sebagai semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun barang, yang dapat dimiliki oleh negara.

Kerugian negara, seperti yang diatur dalam UU 1/2004 tentang Perbendaharan Negara, didefinisikan sebagai kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang jumlahnya jelas dan pasti, yang terjadi akibat tindakan melawan hukum, baik yang dilakukan dengan sengaja maupun karena kelalaian. Dalam konteks penghitungan kerugian akibat korupsi di PT Timah sebesar Rp 271 triliun, perhitungan tersebut dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 7 Tahun 2014 mengenai Kerugian Lingkungan Hidup akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup. Biaya kerugian ini mencakup dana untuk memulihkan fungsi tata air, pengaturan tata air, pengendalian erosi dan limpasan, pembentukan tanah, pendaurulangan unsur hara, fungsi penguraian limbah, keanekaragaman hayati, sumber daya genetik, dan pengurangan emisi karbon.

Kerugian negara, seperti yang diatur dalam UU 1/2004 tentang Perbendaharan Negara, didefinisikan sebagai kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang jumlahnya jelas dan pasti, yang terjadi akibat tindakan melawan hukum, baik yang dilakukan dengan sengaja maupun karena kelalaian. Dalam konteks penghitungan kerugian akibat korupsi di PT Timah sebesar Rp 271 triliun, perhitungan tersebut dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 7 Tahun 2014 mengenai Kerugian Lingkungan Hidup akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup. Biaya kerugian ini mencakup dana untuk memulihkan fungsi tata air, pengaturan tata air, pengendalian erosi dan limpasan, pembentukan tanah, pendaurulangan unsur hara, fungsi penguraian limbah, keanekaragaman hayati, sumber daya genetik, dan pengurangan emisi karbon.

Kesimpulan mengenai kasus korupsi di PT Timah Tbk dapat dipahami melalui teori keadilan John Rawls, yang menekankan pentingnya keadilan distributif dan perlindungan hak individu. Dalam konteks Indonesia sebagai negara berkembang, praktik korupsi seperti yang terjadi dalam pengelolaan komoditas timah ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga memperburuk kesejahteraan masyarakat, terutama mereka yang paling rentan. Rawls berargumen bahwa ketidaksetaraan hanya dapat diterima jika memberikan manfaat bagi mereka yang paling dirugikan.

Dalam kasus ini, kerugian sebesar Rp 271 triliun mencerminkan kegagalan sistemik dalam menjaga keadilan sosial dan ekonomi. Upaya Kejaksaan Republik Indonesia untuk menegakkan hukum terhadap para pelaku korupsi menunjukkan langkah menuju pemulihan keadilan, namun penting juga untuk mengimplementasikan kebijakan yang mendukung keadilan distributif. Untuk memastikan bahwa kerugian yang dialami masyarakat dapat diperbaiki, negara harus menginvestasikan kembali dana yang hilang ke dalam program-program yang bermanfaat bagi rakyat, seperti pendidikan, kesehatan, dan perlindungan lingkungan. Dengan demikian, penerapan prinsip-prinsip Rawls dapat membantu menciptakan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun