Baru-baru ini saya menonton lagi film epik asal Korea Selatan. Buat kamu yang lagi jenuh sama film-film box office Hollywood, mungkin film asal negeri ginseng ini bisa menjadi alternatif pilihan. Film yang saya tonton berjudul My Way produksi tahun 2011, cukup lama juga saya tertinggal.
Film ini berkisah tentang seorang pelari maraton yang bernama Kim Jun-shik (Jang Dong-gun) yang hidup di masa perang dunia kedua. Saat itu Korea masih di bawah kekuasaan Kekaisaran Jepang. Berawal dari ayah Jun-shik kecil yang bekerja sebagai pelayan pada sebuah keluarga Jepang. Suatu hari sang majikan kedangatan cucunya yang bernama Tatsuo (Joe Odagiri) yang seumuran dengan Jun-shik. Ternyata mereka memiliki hobi yang sama, yaitu berlari. Mereka pun tumbuh bersama baik sebagai teman, saingan maupun hubungan majikan dan pelayan.
Hingga pada suatu hari saat sedang ada pesta di rumah sang majikan, sesorang mengirim hadiah yang ditujukan untuk Tatsuo. Tak disangka ternyata isi hadiah itu adalah sebuah bom. Dengan sigap sang kakek yang pada saat itu berada dekat dengan Tatsuo segera mengamankan kado tersebut dari Tatsuo. Walaupun ia selamat, tidak begitu dengan sang kakek. Karena yang menerima hadiah itu adalah ayah Jun-shik, Tatsuo menuduh kalau dialah yang menyebabkan kakeknya meninggal. Sejak saat itu keluarga Jun-shik pun diusir dari kediaman Tatsuo.
Jun-shik pun bekerja sebagai penarik becak untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Pertemuannya yang tidak sengaja dengan seorang atlit olimpiade Korea membawanya mengikuti seleksi lari maraton untuk olimpiade. Karena saat itu Korea dikuasai oleh Jepang, maka hanya orang-orang Jepang saja yang bisa ikut olimpiade. Tapi setelah bernegosiasi, Jin-shik pun diberi kesempatan untuk ikut seleksi.Â
Rival terberatnya saat itu adalah Tatsuo yang juga sudah dikenal sebagai pelari maraton yang ulung. Tentu saja saat pertandingan, Jun-shik keluar sebagai juara, namun panitia menganggapnya diskualifikasi karena dianggap telah menjatuhkan salah satu peserta (padahal peserta tersebut yang curang terhadap Jun-shik). Tak terima dengan keputusan tersebut, Jun-shik pun protes yang menyebabkan para penonton Korea yang merasa dicurangi terbakar emosi yang menyulut kerusuhan.
Jepang pun menjatuhi hukuman untuk para perusuh yaitu mengabdi menjadi tentara kekaisaran. Mereka yang terhukum dikirim ke perbatasan untuk ikut menjaga pos Jepang dari serangan Uni Soviet. Selama di pos ini para tentara Korea mendapat perlakuan yang tidak adil namun mereka masih mampu menghadapinya. Hingga suatu hari datanglah komandan baru untuk menggantikan komandan mereka (yang disuruh harakiri karena menyuruh pasukan mundur saat berperang) yang tak lain tak bukan adalah Tatsuo. Kedatangan Tatsuo malah membuat keadaan di posko menjadi susah. Dia tidak menolerir segala kegiatan yang bersifat kesenangan termasuk hobi Jun-shik, berlari.
Setelah beberapa lama sebagai tawanan, para tentara Uni Soviet menjadikan mereka sebagai martir untuk ditaruh di medan perang sebagai penghalau pasukan Jerman. Karena tak ada pilihan, para tawanan terpaksa menjadi tentara Soviet dan siap meregang nyawa. Beruntung (lagi-lagi) jun-shik dan Tatsuo mampu selamat, bahkan mereka mengungsi bersama menuju wilayah Jerman. Hingga saat Tatsuo yang sedang sekarat terpaksa ditinggalkan oleh Jun-shik yang pergi mencari bantuan. Karena mereka menggunakan seragam tentara Jerman, lagi-lagi mereka direkrut oleh Jerman untuk menjadi pasukannya.
Film ini diangkat dari kisah nyata (yang tentu saja sudah banyak dramatisir sana-sini) seorang tentara Korea bernama Yang Kyoujong yang harus berjuang bertahan hidup dengan menjadi pasukan dari beberapa negara. Menjadi film Korea Selatan berbudget mahal sepanjang sejarah (US$ 24 Juta) membuat My Way tertata ala blockbuster Hollywood dengan efek-efek canggih. Ditambah deretan pemain yang sangat mumpuni seharusnya film ini bisa menjadi box office yang sayangnya kalah bersaing dengan film box office asal Amerika,  Mission: Impossible – Ghost Protocol, yang dirilis hampir bersamaan.
My Way menjadi salah satu film yang membuat Korea Selatan menjadi salah satu negara yang patut diantisipasi. Berkaca dengan kondisi perfilman dalam negeri, mungkin kita juga harus banyak belajar dari mereka.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H