Mohon tunggu...
H. Adi Mansah, MA
H. Adi Mansah, MA Mohon Tunggu... Dosen -

Dosen Bidang Hukum Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Peranan Ijtihad dalam Ekonomi Islam Kontemporer

9 Desember 2014   22:47 Diperbarui: 1 Juli 2017   07:27 3578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di Indonesia tidak bisa dipungkiri bahwa kontribusi Islam (Syariah)dan pemikiran umat Islam sangat besar terhadap kelangsungan dan perkembangan pemikiran hukum khususnya dalam ekonomi yang membahas tentang aktualisasi atau reaktualisasi hukum Islam dalam bidang Muamalah, di Indonesia masih terus digemborkan dan masih sangat relevan untuk dibicarakan dan diskusikan bagi setiap orang baik dari kalangan muslim bahkan non muslim, apalagi jika dikaitkan dengan hukum bisnis Islam atau hukum ekonomi Islam pembahasan ini sangat menarik dan mendapatkan tempat di hati pemikir-pemikir ekonomi, karena dibidang ini sangat diperlukan adanya pembaharuan dan usaha reaktualisasi.

Perlunya penemuan-penemuan baru tersebut, karena akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, berakibat pula menggeser cara pandang dan membentuk pola alur berfikir yang mem­bawa konsekuensi logis dan membentuk norma baru dalam kehidupan masyarakat. Maka tidak semestinya kemajuan IPTEK dan peradaban manusia itu dihadapkan secara konfrontatif dengan nash saja, akan tetapi harus dicari pemecahannya secara ijtihadi. Dalam banyak hal pada aktivitas ekonomi, Islam memberikan skala normatifnya secara global.

Secara substansial, hukum Islam (Syariah) adalah bagian dari hukum positif Indonesia yang bersumber dari Al-Quran, Al-Sunnah, dan Al-Ijtihad, terutama yang mengatur tentang Al-Aqdu sebagai dasar timbulnya hak dan kewajiban pihak-pihak dalam perjanjian (transaksi) Islam. Perjanjian/perikatan Islam dan kegiatan bisnis Islam selalu berdasarkan prinsip-prinsip Islam (syariah) yang harus bebas dari unsur ketidakjelasan (gharar), perjudian (maisir), bunga (riba), dan penzaliman terhadap hak-hak orang lain. Tetapi secara formal dari segi bentuk usaha (badan usaha) dalam kegiatan bisnis Islam bersumber dari hukum perundang-undangan. Oleh karena itu, kedudukan hukum Islam (syariah) secara yuridis adalah kuat dan legal dalam sistem hukum Indonesia, dan secara bisnis operasional memperoleh dukungan kuat dari masyarakat karena di dasarkan pada akad yang benar, adil, jujur, transparan, bebas dari ketidakjelasan (gharar) , perjudian (maisir), bunga (riba), dan jauh dari penzaliman.

Sehubungan dengan itu, dapat kita lihat berbagai jenis transaksi telah muncul dan berkembang keseluruh penjuru dunia, terutama di Indonesia. Banyak jenis transaksi baru yang di tawarkan yang juga menjanjikan keuntungan yang berlipat ganda, di samping itu terdapat pula ketentuan-ketentuan hukum yang dikeluarkan oleh otoritas pemerintah untuk menertibkan kegiatan-kegiatan bisnis modern tersebut secara konvensional. Di sisi lain, untuk melindungi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, perlu dikaji kejelasan hukum dari transaksi tersebut dipandang dari segi hukum Islam (syariah).

Adapun Ijtihad sebagai sumber hukum Islam ketiga memberi peluang untuk berkembangnya pemikiran umat Islam dalam menghadapi segala permasalahan di era globalisasi ini. Jika kita lihat kataIjtihadini berasal dari bahasa arab artinya, Aljuhdu ialah bersungguh sungguh. Menurut para ulama di Istilahkan, ialah bersungguh-sungguh memeriksa, menggali dan memahami secara mendalam akan keterangan dari Al-Quran dan Al-Hadits, hingga jika di temui pertanyaan yang sulit-sulit dan suatu kejadian-kejadian yang luar biasa, bisa didapatkan hukumnya dari Al-Quran dan Al-Hadits atas jalan pemahaman dengan susah payah atau jalan Qiyas. Orang yang berusaha semacam itu tersebut juga dengan Mujtahid.

Fungsi Ijtihad itu sendiri ialah sebagai solusi hukum jika ada suatu permasalahan yang harus diterapkan hukumnya, tetapi tidak dijumpai dalam Al-Quran maupun Al-Hadits. Maka jika dilihat dari fungsi Ijtihad tersebut, untuk mendapatkan kedudukan dan legalitas dalam Islam (Syariah). Meskipun demikian, Ijtihad tidak bisa dilakukan oleh setiap orang, tetapi hanya orang yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang boleh berijtihad.

Sebagai kesimpulanialah bahwa Ijtihad itu bersungguh sungguh memeriksa dan dan menggali serta memahami dalam-dalam akan keterangan dari Al-Qur’an dan Al-Hadits, hingga buat pertanyaan yang sulit-sulit dan buat kejadian-kejadian yang luar biasa itu, bisa mereka dapatkan hukumnya dari Al-Qur’an dan Al-Hadits atas jalan faham dengan susah payah atau jalan Qiyas. Orang berusaha seperti itu dinamakan Mujtahid.Imam Syafi’i mengatakan bahwa seorang mujtahid tidak boleh mengtakan “tidak tahu” dalam suatu permasalahan sebelum ia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meneliti, menelaah, menggali dan tidak boleh mengatakan “aku tahu” seraya menyebutkan hukum yang diketahui itu sebelum ia mencurahkan kemampuan dan mendapatkan hukum itu.

Sedangkan aplikasi Ijtihad itu dapat di terapkan pada empat cara dalam bentuk transaksi yaitu;

1.Lisan. Para pihak mengungkapkan kehendaknya dalam bentuk perkataan secara jelas.

2.Tulisan. Adakalanya, suatu perikataan (transaksi) dilakukan secara tertulis. Hal ini dapat dilakukan oleh para pihak yang tidak dapat bertemu langsung dalam melakukan transaksi, atau untuk transaksi-transaksi yang sifatnya lebih sulit, seperti yang dilakukan oleh badan hukum.

3.Isyarat. Suatu transaksi tidak hanya dilakukan oleh orang-orang yang normal, orang yang cacat pun dapat melakukan transaksi (Al-Aqdu). Apabila cacatnya adalah tuna wicara maka dimungkinkan akadnya dengan isyarat, asalkan terdapat sepemahaman dalam transaksi tersebut.

4.Perbuatan. Seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, kini transaksi dapat pula dilakukan dengan cara perbuatan saja, tanpa secara lisan, tulisan maupun isyarat. Hal ini dapat disebut dengan ta’ati atau mu’atah (saling memberi dan menerima). Adanya perbuatan ini dari pihak yang telah saling memahami perbuatan transaksi tersebut dengan segala akibat hukumnya. Hal ini sering terjadi di supermarket yang tidak ada proses tawar menawar. Pihak pembeli telah mengetahui harga barang yang secara tertulis dicantumkan pada barang tersebut. Pada saat pembeli datang ke meja kasir menunjukkan bahwa di antara mereka akan melakukan transaksi jual-beli. 

Wallahu A’lam Bisshawwab.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun