Mohon tunggu...
Humaniora

Kunjungan Sahabat Sehat di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari

21 Oktober 2015   21:51 Diperbarui: 21 Oktober 2015   22:06 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

TETESAN AIR MATA DI RUMAH TUA

Hari ini tanggal 20 oktober 2015 kami sahabat sehat menyempatkan diri untuk berkunjung ke panti jompo, kami berkumpul di pelataran FKM UHO pukul 07.10 untuk bersama-sama berangkat ke panti namun di perjalanan kami ketinggalan rombongan karena tiba-tiba ban motor bocor, sepanjang perjalanan saya merasa kebingungan karena tak tahu menahu arah kepanti jompo,alhasil kami berempat melewati jalanan menuju kebandara yang ternyata sudah jauh terlewatkan dari alamat yang kami mau kunjungi. Namun semua itu tidak mengurungkan niat semangat saya untuk bertemu dengan mereka, kamipun putar balik arah yang sudah puluhan kilo kami lewatkan.

Sesampainya disana kami betemu dengan sahabat sehat lainnya yang sedang berbincang-bincang dengan para Lansia, tiba-tiba mata saya tertumpu pada seseorang nenek tua yang sedang duduk dengan tatapan kosong. Sayapun menghampiri dan mencoaba mengobrol dengannya. “ Nek,, sedang apa disini ? Nek namanya siapa, kenalin saya Dila…” ujarku dengan lembut. Namun nenek tua itu kurang mendengarkan dan sayapun mengulangi pertanyaan yang sama dengan nada agak besar namun tetap sopan.

Alhasil nenek itu mendengarkan saya dan menjawab dengan nada yang tidak jelas “saya molti nak “… saya kurang mendengarkan apa yang diucapkan sehingga saya bertanya berulang-ulang “ molti nek?” tanyaku. Setelah berulang-ulang ternyata nama nenek tua itu nenek Morti, maklum saja nenek tua itu kemungkinan usianya sudah lebih 100 tahun dan giginya sudah habis jadi ucapannya tidak jelas. Saya terdiam merenung lalu si nenek berkata “kamu cantik “ saya hanya tersipuh malu lalu lemparkan senyum pada nenek itu sembari berkata”makasih nek,nenek juga cantik ( sambil memeluknya)”. Nenek tua ini sudah tidak bisa berbicara banyak seperti kakek-kakek yang ada disampingnya namun perlahan saya tanya dan akhirnya nenek ini bercerita. “nek sudah berapa lama disini, nenek asalnya dari mana? “ tanyaku, “ saya sudah 3 tahun disini, saya punya anak empat dan dua cucu, dulu saya tinggal dicilacap tapi entah kenapa om saya membawa saya kesini” ujarnya si nenek tua dengan nada yang tidak jelas.

Nek Morti tidak bisa berbicara banyak dan juga sudah pikun karena ketika saya tanya beliau mengakunya umurnya masih muda masih berusia 60 tahun padahal kemungkinan usia Si nenek ini sudah lebih dari 100 tahun. Nenek tua ini selalu berharap suatu saat anak cucunya dapat mengunjungi dia disana dan dibawa berkumpul bersama keluarga.Nenek tua ini berpesan agar saya selalu mengunjunginya, tak tahan mendengarkan perkataannya sayapun meneteskan air mata sambil berkata “ nek sehat selalu yah, tiap hari nenek banyakin minum air putih,olah raga teratur, rajin memeriksakan kesehatan dan tak lupa nenek juga harus selalu cuci kaki ketika habis jalan karena nenek tidak pakai sandal, insya allah ketika saya punya waktu luang saya pasti mengunjungi nenek lagi disini yah nek yah ( sambil memeluknya )”.

Masih di Wisma yang sama, saya melihat seorang kakek tegar dengan gigi ompong sedang duduk disamping nenek Morti sambil memegang tongkak dan Sayapun menyapanya dan ternyata nama kakek itu kakek Marzim. Beliau bersahabat baik dengan nenek morti sehingga nenek morti suka datang ke wismanya, kakek Marzim juga selalu membagikan makanan atau uang ke nenek Morti ketika ada rejeki. Usianya memang lebih mudah dari nenek Morti, usianya sudah 60 tahun dan sudah 3 bulan berada dipanti karena korban kebakaran hingga akhirnya dia menyerahkan diri ke dinas social untuk tinggal bersama Lansia lainnya.Beliau tak seperti nenek Morti yang selalu diam, saya melihat kakek Marzim sedikit lebih tegar dengan kehidupannya disini. Senyumnya selalu mengembang kepada siapa saja. Meskipun demikian kakek Marzim menyimpan beribu goresan kesedihan dihatinya, beliau banyak bercerita tentang kehidupannya di jaman dahulu namun ketika saya tanya “ kok bapak tidak tinggal bersama anaknya?” ujarku.

Beliau menjawab dengan nada yang rendah yang menandakan beliau itu sangat sedih “ saya punya anak 3 tapi dekat dari sini tapi saya tak ingin tinggal dengan mereka,saya ingin hidup bebas tanpa merasa bersalah,saya tidak mau dimarah-marahi dan menjadi penyebab pertengkaran diantara mereka”ujarnya dengan nada sedih. Saya hanya bisa tunduk dan meneteskan air mata dan berdoa semoga kelak saya tidak seperti itu. Saya tidak habis pikir, dimana perasaan orang-orang yang tega membuang atau menitipkan orang tuanya di panti jompo dengan alasan sibuk, tidak kuat, repot,dan sebagainya dan bukankah mereka adalah orang tua yang telah rela melahirkan dan membesarkan kita dengan tetesan keringat dan dengan lantunan doa mulia.

” Kalau kita mau bersedih nak pasti setiap hari meneteskan air mata tapi kita kembalikan lagi kalau itulah takdir yang sudah ditentukan oleh yang mahakuasa dan sekarang kakek hanya bisa banyak-banyak melakukan ibadah untuk mendekatkan diri ke yang maha kuasa”. Tak kuasa lagi menahan deraian air mata yang bercucuran dipipih dan akhirnya kakek Marzim pun ikut mengeluarkan air mata kesedihan. Tak ingin larut dalam kesedihan saya kembali lagi menghibur kakek Marzim sembari memberikan pesan-pesan kesehatan secara sederhana agar dia mampu menerapkannya dalam menjalani kehidupan sehari. “ nak saya tau perjalanan kesini tidak mudah,dikhawatirkan banyak hal-hal yang bisa terjadi di jalan tapi kalau ada waktunya,datang kesini lagi yah nak ( wajah penuh harap)”.

Begitu banyak pengalaman yang saya dapatkan di tempat ini dan memberikan pelajaran moral terutama pada nenek Morti yang selalu tegar menjalani hidup dan pelajaran dari kakek Marzim yang selalu memberi dan membagi rejeki kesesama meskipun dia juga kesusahan. Saya selalu menyelipkan doa agar mereka selalu dalam lingdungan allah dan dibalas kemuliaan mereka.

Tidak cukup sampai disini, saya penasaran dan melanjutkan perjalanan ke wisma yang lain untuk melihat aktivitas Lansia lainnya dan ternyata tidak beda jauh dari aktivitas orang dewasa lainnya, mereka juga bermain domino dan saling mengunjungi wisma lainnya sesama lansia. Saya tertarik untuk singgah di wisma Adil karena teman-teman berkumpul disitu sayapun ikut berkenalan dengan Lansia yang ada di wisma itu dan ikut berfoto bareng, ketika teman asyik berfoto-foto dengan lansia lainnya saya melihat kejadian ada wanita lansia yang sedang mengamuk lalu saya mencoba menenangkan atas permintaan lansia lainnya namun ibu-ibu itu lansung mengamuk dan lansung memukul lengan saya berkali-kali hingga saya kesakitan sehingga membuat saya berlari keluar dari tempat itu sambil berderaian air mata, dan entah apa sebenarnya yang membuat saya sedih apa karena ketakutan ataukah saya perihatin terhadap nenek itu. Waktu terus berjalan hingga mengharuskan kami kembali masuk kuliah sehingga kami harus menghentikan pertemuan yang singkat ini yang penuh makna.

“Dan mulai saat saya berjanji tidak akan membiarkan kedua orang tua saya kelak menghabiskan sisa hidupnya berada dipanti jompo dalam kondisi apapun, saya yang ingin merawat mereka hinggah allah memanggil mereka kembali kepangkuanNya. Saya sadar bahwa kesuksesan, prestasi, kemudahan-kemudahan yang selama ini tidak terlepas dari doa dan peran serta kedua orang tua”.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun