Warga Baduy yang tinggal di pedalaman Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, menangis saat mengetahui bahwa hutan mereka telah dirusak oleh penambang emas liar. Hutan yang disakralkan memang berada di wilayah Cibarani. Dulhania mengatakan dirinya merasa bertanggung jawab karena amanat dari leluhurnya untuk menjaga hutan tersebut. Dalam pernyataannya kepada Kompas.com melalui sambungan telepon pada Kamis, 22 April 2021, Dulhania menyebutkan bahwa pria dalam video tersebut adalah Ayah Pulung, seorang warga Baduy yang merupakan cucu dari leluhur Baduy. Ia ditugaskan untuk menjaga Gunung Liman, yang disakralkan oleh masyarakat Baduy karena menjadi sumber dari sejumlah sungai penting di Kabupaten Lebak, seperti Ciujung, Ciliman, Cibarani, dan Sibaso. Keluarga Baduy secara turun-temurun menjaga hutan Gunung Liman supaya tidak rusak, namun saat ini, hutan tersebut telah dirusak oleh penambang emas liar.
Tindakan penambang emas liar yang menghancurkan hutan adat Baduy di Cibarani jelas melanggar Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang secara tegas melarang setiap orang merusak lingkungan hidup, termasuk hutan adat. Masyarakat Baduy sendiri juga menjalankan sistem pemerintahan berdasarkan hukum adat "pikukuh karuhun". Selain itu, ada juga Peraturan Daerah Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy.
Karena kawasan hutan adat memiliki nilai kultural dan ekologis yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup mereka pada kelestarian alam sekitar, tetapi juga mengancam keseimbangan ekosistem yang lebih luas, yang apabila tidak segera dihentikan, dapat mengakibatkan kerusakan permanen pada keanekaragaman hayati, sumber air, dan stabilitas tanah di kawasan tersebut, serta mempengaruhi iklim mikro lokal yang berdampak pada kehidupan manusia dan lingkungan sekitar.
Perlindungan Hutan Baduy dan Hukum Adatnya
Masyarakat Adat Baduy, memiliki sistem hukum adat yang kokoh untuk melindungi hutan mereka. Hutan dipandang sebagai inti kehidupan, menyediakan sumber daya penting seperti makanan dan air. Dalam perspektif mereka, hutan bukanlah barang yang dapat dieksploitasi, melainkan tanah komunal yang harus dikelola secara berkelanjutan. Hukum adat Baduy mengelompokkan hutan menjadi tiga kategori: hutan larangan, hutan dudungusan, dan hutan garapan. Hutan larangan dijaga dengan ketat karena dianggap suci, sedangkan hutan dudungusan dilestarikan untuk menjaga tempat-tempat keramat. Hutan garapan adalah wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk pertanian.
Upaya perlindungan ini telah menunjukkan hasil yang positif, termasuk penghargaan Kehati Award pada tahun 2004 atas keberhasilan menjaga 5.635 hektar hutan. Namun, tantangan muncul dari penyerobotan oleh pihak luar yang merusak keseimbangan ekosistem. Masyarakat Baduy tetap berpegang pada hukum adat yang melarang penebangan pohon sembarangan, menunjukkan komitmen mereka terhadap kelestarian lingkungan. Secara keseluruhan, hukum adat Baduy membantu menjaga hak ulayat dan mendorong pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, yang menghasilkan harmoni antara manusia dan alam. Karena, setiap individu warga baduy harus bertanggung jawab atas perlindungan hutan dan bagi siapa saja yang melanggar aturan tersebut dapat dikenakan sanksi sosial, termasuk pengusiran dari masyarakat dan hilangnya hak atas sumber daya alam. Selain itu, masyarakat luar Baduy yang melanggar aturan adat Baduy juga berpotensi terkena musibah yang tidak diduga-duga.
Masyarakat Baduy juga menerapkan sistem rotasi dalam pengelolaan lahan pertanian. Mereka berpindah dari satu area ke area lain setelah beberapa tahun untuk memberikan kesempatan pada ekosistem untuk pulih. Praktik ini tidak hanya menjaga kesuburan tanah, tetapi juga mengurangi tekanan terhadap hutan. Selain itu, mereka memiliki tradisi ritual yang berkaitan dengan pengelolaan hutan, yang memperkuat hubungan spiritual antara manusia dan alam. Dalam menghadapi ancaman penebangan liar dan eksploitasi sumber daya, masyarakat Baduy terus berupaya mengedukasi generasi muda mengenai pentingnya hukum adat dan pelestarian hutan. Dengan cara ini, pengetahuan dan nilai-nilai yang berkaitan dengan lingkungan dapat diwariskan dan diperkuat.
Ancaman Terhadap Kearifan Dan Budaya Lokal
Indonesia memiliki banyak suku dan budaya, salah satunya suku Baduy. Suku Baduy di-kenal sangat melestarikan kearifan lokal hingga lingkungan sekitarnya. Mereka senantiasa melestarikan keindahan alam di lingkungan sekitar. Hutan yang terjaga keasriannya, sumber air yang masih jernih dan bersih, serta lingkungan yang terbebas dari sampah menunjukkan bahwa suku Baduy sangat memeliharan kearifan lokal dan lingkungannya. Oleh karena itu, Perusakan yang terjadi pada kawasan hutan adat Baduy oleh penambang emas ilegal itu tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga bisa mengancam kearifan lokal dan budaya masyarakat setempat. Maka dari itu, Perusakan hutan akibat aktivitas penambangan emas ilegal ini juga tidak hanya mengganggu hubungan manusia dengan alam, tetapi juga menghambat transfer pengetahuan dari generasi tua ke generasi muda, yang merupakan inti dari pelestarian budaya. Ketika hutan mengalami kerusakan, pelaksanaan upacara adat seperti Kawalu yang sangat bergantung pada kondisi alam yang baik juga terancam terganggu. Dampak ini pada akhirnya dapat mengurangi rasa identitas kolektif dan solidaritas sosial di antara anggota suku Baduy, yang selama ini hidup selaras dengan alam dan tradisi nenek moyang mereka.
Selain itu, ancaman ini menimbulkan kekhawatiran jangka panjang terkait erosi budaya. Ketika masyarakat Baduy dipaksa beradaptasi dengan lingkungan yang rusak, ada juga potensi hilangnya pengetahuan tradisional yang berkaitan erat dengan alam, Contohnya seperti (1) Hilangnya hutan yang bisa mengurangi konsumsi sumber daya alam dalam kehidupan sehari-hari, seperti makanan, obat-obatan, dan bahan bangunan. (2) Â Hilangnya habitat asli flora dan fauna yang berdampak pada keanekaragaman hayati, dimana keanekaragaman tersebut merupakan bagian integral dari budaya dan identitas Baduy. (3) Hilangnya akses terhadap hutan yang berdampak pada praktik budaya seperti ritual tradisional dan pendidikan generasi muda tentang nilai-nilai budaya.