Jokowi baru saja dilantik menjadi gubernur DKI Jakarta yang baru. Dia terpilih bukan semata-mata karena kinerja mesin partai, melainkan karena sosoknya yang dikenal sederhana dan merakyat. Dengan tubuh yang terlihat kurus Jokowi dianggap sebagai representasi dari grassroots / rakyat arus bawah. Dan juga track recordnya semasa memimpin Solo. Namun itu saja, tidaklah cukup untuk rakyat Jakarta bisa memilih Jokowi menjadi seorang Gubernur.
Tanpa bermaksud su’udhon (negative thinking) peran media sangatlah besar. Kalau kita sedikit mau mengamati. Sebelumnya Jokowi bukanlah sosok yang diperhitungkan untuk menjadi calon Gubernur Jakarta. Entah disengaja atau tidak, disetting atau tidak, Jokowi seolah-olah atau bahasa jawanya ujug-ujug populer tepat sebelum hiruk pikuk pilkada DKI Jakarta. Media dalam hal ini televisi dan internet begitu gencarnya melakukan pemberitaan tentang profil Jokowi, mulai dari kandidat walikota terbaik dunia sampai pada tentang isu mobil SMK sebagai mobil dinas atau mobil nasional.
Kita sadari atau tidak Jokowi telah melakukan pencitraan yang sangat cantik. Di tengah perilaku para elite politik yang mencerminkan hedonisme, kemewahan, dan tidak peduli dengan rakyat. Jokowi tampil dengan “image” yang berbeda. Melalui pemberitaan di media Jokowi dianggap sangat dekat dengan masyarakat, tidak hanya tinggal diam di kantor tetapi langsung terjun ke proyek-proyek pembangunan infrastruktur, bahkan makan siang sebanyak puluhan kali dengan pedagang kaki lima (PKL) dengan tujuan untuk merelokasi tempat berjualan PKL. Atau bahkan Jokowi tidak pernah mengambil gajinya sebagai walikota.
Sekali lagi tanpa bermaksud su’udhon, kita tidak bisa memastikan betul apakah itu semua sebuah fakta yang benar-benar terjadi atau tidak. Kita tidak akan membahas hal tersebut. Namun perlu kita garis bawahi adalah bahwa peran media sangatlah besar. Tentunya kita belum lupa bahwa ketika pemilu tahun 2004 media juga berperan besar dalam melakukan pencitraan terhadap Susilo Bambang Yudoyono (SBY). Pada waktu itu pun SBY juga dielu-elukan dianggap sebagai sosok yang mampu memimpin bangsa Indonesia bahkan ada yang mengistilahkan dengan sebutan “Satria Piningit”, seorang ksatria yang masih tersembunyi dan dinanti-nanti kedatanganya untuk melakukan sebuah perubahan.
Kita tidak akan membahas itu semua, namun dapat diambil pelajaran bahwa peran media sangatlah penting apalagi di era demokrasi seperti sekarang ini. Dimana rakyat memilih langsung pemimpinnya. Maka siapa yang paling dikenal oleh rakyat bisa jadi dialah yang mempunyai kans paling besar untuk menang. Kita ini masuk didalam zaman imagologi. Apa itu imagologi mungkin anda lebih tahu dari saya. Atau Anda bisa mencarinya via google. Kalau tidak salah sih berasal dari dua kata yaitu imajinasi dan logika. Kelihatan sebuah paradox memang. Dimana imajinasi dan logika saling tumpang tindih hingga kita tidak lagi bisa benar-benar memastikan mana yang benar dan mana yang salah.
Sekarang ini pikiran kita seolah-olah selalu digiring oleh media. Peran media massa sangatlah besar. Makanya tak heran banyak politisi memanfaatkan media. Dan begitu pula sebaliknya pemegang media mulai terjun ke politik praktis. Sekarang ini semua orang bahkan tidak hanya politisi membutuhkan pencintraan. Apalagi berkat kecanggihan teknologi sekarang marak apa yang dinamakan social networking (jejaring social).
Melalui jejaring sosial setiap orang mampu melakukan pencitraan. Mungkin saja ini salah satu dampak psikologis dari pencitraan yang sering dilakukan para politikus sehingga masyarakat kita pun ikut terbawa. Bahkan melalui jejaring sosial mampu menggerakkan people power (kekuatan rakyat) seperti yang terjadi di Mesir dan Libya. Yang kemudian disebut dengan istilah Revolusi Putih.
Di Indonesia pun sekarang sedang trend penggiringan opini dan mobilisasi massa dilakukan via jejaring sosial. Seperti peristiwa yang terjadi beberapa waktu yang lalu mengenai “persilisihan” antara KPK dan Polri. Melalui hastag “ #SaveKPK “ yang dijadikan trending di twitter mampu memobilisasi massa untuk melakukan demonstrasi. Bahkan ada yang memplesetkan singkatan KPK menjadi “Kemana Presiden Kita” dan lebih ekstrim lagi tersebar foto / gambar secara viral di twitter yang bertuliskan “ dicari orang hilang “ dengan foto bapak Presiden disamping tulisan tersebut beserta biodatanya. Yang akhirnya membuat Presiden geram dan angkat bicara.
Disini kita bisa melihat social media selain mampu menjadi media pencitraan positif juga bisa black campaign. Pertanyaanya adalah apakah semua isu yang muncul baik di media massa atau pun di social media ada yang mensetting atau mengalir begitu saja? Ada sebuah akun twitter seperti @TrioMacan200 yang mengumbar data dan fakta mengenai korupsi yang menyangkut tokoh-tokoh besar negeri ini. Apakah kita harus percaya begitu saja atau kita anggap itu sebagai khayalan?
Kalaupun itu sebuah kebenaran / fakta mengapa tidak ada aparat penegak hukum yang menindaklanjutinya. Atau kalau itu sebuah khyalan / rekayasa mengapa juga tidak ada penindakkan oleh aparat penegak hukum.
(Bersambung………………..)