Saya selalu ingat sebuah ungkapan sederhana bahwa rasa hormat itu diciptakan, bukan dipaksakan. Tidak ada rasa hormat melalui jalan pemaksaan. Jalan pemaksaan hanya menghasilkan penindasan sehingga yang ada adalah rasa tunduk dari inferior (minoritas) pada superior (mayoritas).
Karenanya menggunakan alasan "menghormati" yang sedang berpuasa untuk menutup warung-warung makan, tentunya mengurangi nilai toleransi itu sendiri, karena itu sudah bukan lagi toleransi karena menghormati.
Saya sering melihat orang yang berpuasa senin-kamis, dan mereka melakukannya dengan tanpa beban walaupun semua warung buka (bahkan tidak ditutup kain sekalipun), walau ada yang makan/minum di depannya, dan bahkan kalau ada yang menawarinya makan (karena tidak tau dia sedang puasa), dia hanya menjawab "sedang puasa".
Sesungguhnya berpuasa pada intinya adalah melatih diri, melatih diri untuk merasakan bagaimana rasanya orang-orang yang berkekurangan, melatih diri hidup sederhana, melatih diri tangguh dalam menghadapi cobaan, melatih diri meningkatkan kesabaran. Bukan semata-mata menahan lapar dan haus.
Sudah waktunya umat Islam naik kelas, berpuasa tidak sekedar simbol fisik, tetapi lebih pada pemahaman esensi puasa.
Padahal Allah berkali-kali menyebutkan dalam Al Qur’an bahwa Dia tidak akan menguji hambanya melebihi kemampuan hambanya.
“…seseorang tidak akan dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya…” (Al Baqarah : 233)
” Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…” (Al Baqarah : 286)
“…Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar kemampuannya…” (Al An’aam : 152)
“…Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya…” (Al Mu’minuun : 62)
“…Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yg Allah berikan kepadanya…” (Ath Thalaaq : 7)