Pernah mendengar jargon ‘Jadilah Pelopor Keselamatan Berlalu Lintas”? Jargon tersebut adalah jargon para Polisi untuk masyarakat agar tertib berlalu lintas dan taat pada peraturan.
Dalam website resminya tertulis jargon tersebut memiliki semangat ‘Membudayakan tertib berlalu lintas dan menghormati pemakai/pengguna jalan lainnya sehingga prilaku dalam berlalu lintas dapat dijadikan tauladan dan menginspirasi, mendorong untuk selalu mengutamakan keselamatan sehingga menjadi suatu kebutuhan.’
Artinya, dengan tertib pada peraturan maka kecelakaan dapat dihindari dan dipastikan lebih aman. Namun, pernahkah Anda mencoba (sekali lagi, hanya MENCOBA) untuk menjadi pelopor keselamatan tersebut?
Kalau saya, saya akan menjawab, ‘Ya, Saya pernah’. Apakah menyenangkan? Jawabannya adalah tidak, bikin kapok malah. Karena dengan mencoba menjadi pelopor keselamatan lalu lintas, saya harus rela untuk beradu mulut dengan pengendara lain, ditabrak dari belakang, motor saya dipukul-pukul joknya hingga nyaris ditabrak Kopaja.
Kok bisa? Jawabannya sederhana, karena saya berhenti dibelakang garis stop saat lampu merah, di tempat yang memang seharusnya saya berhenti ketika lampu merah. Dimana saya mengalaminya? Dibanyak tempat bung, hampir di setiap lampu merah.
Padahal, berdasarkan Pasal 287 ayat 1, UU Nomor 22 Tahun 2009 Tentang lalu Lintas dan Angkutan Jalan meyebutkan “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar aturan perintah atau larangan yang dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf a atau Marka Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).”
Pasal inilah yang membuat saya untuk terus mencoba tertib. Dan jargon ‘Jadilah Pelopor Keselamatan Berlalu Lintas’-lah yang membuat saya berusaha untuk taat dijalan raya. Sayangnya, taat di jalan raya itu jauh lebih sulit ketimbang tidak taatnya.
Saat saya bekerja di kawasan Warung Buncit misalnya, saya selalu melewati rute Kampung Rambutan. Ketika saya harus berhenti karena lampu merah, saya pun menghentikan motor saya tepat dibelakang garis berhenti. Sudah berhenti dengan tenang tiba-tiba motor saya ditabrak dari belakang. Yang menabrak bukannya minta maaf malah teriak-teriak agar saya maju karena Zebra Cross masih kosong.
Hanya itu saja? Tidak. Masih di lokasi yang sama, dengan waktu yang berbeda, saya pernah pernah berhenti, lagi-lagi di belakang garis putih. Saya diklakson, dan saya sebodo amat. Kenapa? Karena memang lampu merah. Hasilnya, jok saya dipukul2 oleh 2 motor di belakang saya. “WOY MAJU GOBLOK, MASIH KOSONG DEPAN.”
Pernah lagi saya berhenti di pertigaaan Kalibata. Saya kembali berada di posisi paling depan dan berhenti di belakang garis putih. Kebetulan di belakang saya ada sebuah mobil, di belakangnya lagi ada Kopaja. Nah kopaja ini rusuh. Keneknya pun turun dan meminta saya untuk maju karena Zebra Cross kosong. Saya tidak mau dan untungnya kenek tidak memaksa. Ironisnya, si sopir terlihat dongkol.
Di perempatan Cililitan juga terbilang mengerikan. Jika anda hendak menuju Halim dari arah RS Budi Asih, Anda akan sangat bingung. Karena seharusnya mereka yang hendak belok kanan mengambil lajur di sebelah kanan, tengah untuk lurus dan kiri untuk belok kiri. Kenyataannya di sana berbeda. Jalur kiri adalah untuk ke kanan, tengah untuk ke kanan, dan lajur paling kanan juga untuk ke kanan.