Siapa yang ingin dilahirkan tidak sempurna, tidak akan ada yang mau pasti. Dan jika bisa memilih diri kita ingin  lahir dengan kondisi paling sempurna. Calabai demikian Novel yang ditulis oleh Pepi Al-Bayqunie, Calabai adalah bahasa Bugis yang memiliki arti perempuan dalam tubuh laki-laki atau dalam bahasa keseharian disebut dengan banci, bencong atau waria. Sebagai tokoh sentral dalam novel ini adalah Saidi (atau puang saidi).
Saidi adalah anak laki-laki yang lahir diharapkan oleh ayahnya Baso mampu mengemban dan meneruskan keluarganya kelak, karena kedua kakak Saidi adalah perempuan. Â Tapi kehadiran menjadi tidak diharapkan bahkan dianggap mempermalukan keluarga Baso karena dalam perkembangan usianya Saidi tumbuh secara kemayu atau Calabai.
Berbagai upaya ditempuh ayahnya untuk membuat Saidi menjadi lelaki "utuh". Keluarga, lingkungan bermain, lingkungan sosial, lingkungan pendidikan, bahkan sampai lingkungan agama ditempat  Saidi tinggal tidak pernah berpihak atas keberadaannya. Ayahnya yang notabene keluarga yang sejatinya harus membuat rasa nyaman nyatanya tidak membuat dirinya nyaman. Berbeda dengan ibunya, yang cenderung bisa menerima putra sulungnya ini yang notabene lahir dengan membawa keunikan tersendiri.
Tak ingin menggoreskan luka lebih dalam di hati orang tuanya, saidi memilih pergi. Pertemuan dengan lelaki sepuh bersurban putih di dalam mimpinya telah membakar gairahnya untuk pertualang ke Segeri, negeri para Bissu.Bissu adalah pemuka spriritual yang telah melampaui sifat laki-laki dan perempuan di dalam dirinya, mengemban tugas sebagai penjaga keseimbangan alam. Disana ia menemukan ilmu warisan leluhur. Dan disana pula ia menemukan jati dirinya sebagai Bissu.
Pepi Al-Bayqunie mampu dan "berani" mengangkat isu minoritas dalam ranah sastra. Isu yang sangat sensitif yang sudah pasti orang akan "mengecap" miring. Tapi tidak demikian dalam karya Calabai ini. penulis mampu menghadirkan perspektif baru dengan bagiamana memandang Calabai. Calabai selalu dikategorikan sebagai komunitas subkultur yang selalu berurusah dengan masalah birahi, selalu bermasalah ketika dihadapkan dengan urusan lelaki tampan.
Tapi tidak demikian dengan Calabai, penulis mampu menyajikan cerita Calabai dengan tanpa dibumbui dengan urusan seksualitas komunitas subkultur ini. selain itu juga, melalui Calabai penulis mengajak melihat perspektif "penghakiman" dari sudut pandang Calabai. Karena selama ini ketika pembahasan Calabai hanya dipandang dari perspektif ranah sosial saja, Calabai adalah bahan olok-olok, Calabai memalukan bagi keluarga,Calabai adalah kaum Nabi Luth yang pantas untuk dienyahkan dari muka bumi. Inilah yang menjadi menarik dalam karya yang dituliskan dengan apik oleh Pepi Al-Bayqunie.
Penulis membingkai dari sudut pandang Calabai, bahwa olok-olok dan penolakan-penolakan rasanya tidak enak,sebagai Calabai ia harus menelan pahit-pahit suka atau tidak suka kondisi yang tidak menguntungkan bagi diri Calabai.Calabai sejatinya adalah manusia, yang ingin hidup tentram,nyaman, dan dihargai. Calabai adalah manusia yang sejatinya digariskan oleh Allah untuk ada dan hadir ditengah-tengah kehidupan kita.
Dan rasanya sebagai Calabai tidak perlu menggugat Allah mengapa dirinya dilahirkan dimuka bumi dengan segala bentuk yang menurut kacamata sosial adalah "produk gagal". Semua ini sudah jalan Allah, kadang-kadang kita sebagai manusia terjebak dalam campur tangan tuhan, berusaha memungkiri bahwa hadirnya Calabai adalah scenario Allah.
Novel Calabai selalu menghadirkan dua pandangan yang awalnya merupakan suatu kerumitan, tapi pada akhirnya memberikan gambaran gamblang tentang bagaimana sebagai Calabai harus bersikap. Misalnya, dalam satu tubuh terdapat dua karakter secara ragawi adalah pria, secara batiniah dan perilaku ia adalah perempuan.
Kehadiran ibu dan bapak saidi yang merupakan dua tokoh yang bertolak belakang karena menolak hadirnya Calabai. Tokoh Wina, yang merupakan Calabai kaya raya, hidup dengan gemerlap perkotaan dan bagaimana urusan asmaranya dengan laki-laki tampan, sementara berbanding terbalik dengan Saidi yang tinggal di Sageri negeri para Bissu yang hidup dalam kesederhanaan yang harus melepaskan urusan hasrat seksualnya terhadap laki-laki.
Belum lagi, hadirnya Bissu yang secara manusiawi memiliki hasrat keserakahan, iri dengki, rasa suka atau tidak suka, ingin memiliki uang yang banyak dapat diulas dengan baik oleh penulis. Penulis menghadirkannya dengan sangat apik, dengan penuh sahaja dan berakhir kesimpulan pada sesuatu yang pada akhirnya menjadikan kita termenung dan kemudian mendapatkan pembelajaran.