Mohon tunggu...
Leistar Adiguna
Leistar Adiguna Mohon Tunggu... -

Penulis lepas dan videographer. Alumni Jurusan Televisi ISI Yogyakarta dan Pondok Modern Darussalam Gontor.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kita Tidak Butuh Sekolah; Kita Butuh Guru

22 Juni 2011   22:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:16 1200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

PENDIDIKAN.

Tema besar dengan huruf besar. Dan saya dari mulai hari Jumat hingga Minggu kemarin sampai benar-benar kenyang diceramahi opini mengenai pendidikan di negeri ini. Jika anda tinggal di Jogja dan hidup waktu malam, plus jika anda kebetulan datang ke Kasihan, Bantul pada Jumat malam, anda akan mendengar diskusi mengenai pendidikan saat maiyahan*. Lalu jika anda pada Sabtu malam Minggu kebetulan lewat di titik 0 km, anda akan melihat acara pertunjukan bertajuk : Jogja Istimewa ? Pendidikan Gratis, Kesehatan Gratis, dan Tanpa Gusuran.

Jujur. Saya kalau mendengar orang beropini tentang pendidikan, saya agak muak. Bukan karena saya tidak suka soal pendidikan. Masalahnya, pendidikan kalau didiskusikan dalam konteks forum-forum non-formal dan bukan dalam konteks guru dengan guru, bakal percuma. Anda boleh beropini pendidikan untuk anak itu seharusnya mengedepankan minat dan bakat anak sehingga potensi anak tidak akan terabaikan. Tidak seperti pendidikan di negara ini sekarang. Atau opini lain. Seharusnya pendidikan itu gratis. Tidak boleh ada campur tangan kaum pemodal atau kapitalis dalam pendidikan. Kalau ada, ya, hasilnya komersialisasi pendidikan. Ujung-ujungnya duit.

Itu opini atau boleh, lah kita bilang itu kritik, yang hanya bakal mentok di ujung gang buntu. Masalahnya, mbok, ya, mau diapa-apakan juga pendidikan selama hanya berkutat soal lulus sekolah ini atau dapat nilai sebesar ini, ya, percuma. Sebab, pendidikan pada akhirnya hanya soal ukuran. Ukuran apa ? Ukuran gengsi.

Saya manggut-manggut pada akhirnya ketika Emha “bersabda” saat maiyahan. “Pendidikan itu penghancuran manusia”. Waduh, ekstrim sekali pernyataan itu. Tapi dengan asumsi pendidikan yang dimaksud Emha itu pendidikan yang seperti sekarang ini kita rasakan, saya rasa ada benarnya juga. Toh, sebenarnya, tanpa ada pendidikan pun manusia juga bisa hidup. Bahkan saya pikir jauh lebih baik daripada ada pendidikan. Pendidikan model sekolah, ijasah, nilai, atau kelulusan pada akhirnya hanya bakal bikin manusia pusing dan menambah beban. Lihat. Pada akhirnya pengetahuan yang didapatkan seorang anak dalam sekolah, bisa saja ia dapatkan dari tong sampah. Atau dari nyanyian seorang pengamen. Sumpah. Pengetahuan bisa didapat dari mana saja, jika orang itu berpikir.

Lalu buat apa ada sekolah ?

[caption id="attachment_118254" align="alignleft" width="356" caption="anak-anak sekolah"][/caption] Sosialisasi. Sekolah itu sebenarnya gak penting-penting amat dibandingkan dengan bermain. Bermain saya rasa jauh lebih efektif dibandingkan dengan sekolah untuk memanusiakan manusia. Tujuan utamanya pendidikan, yang dalam hal ini diwakili institusi sekolah, kan juga membuat manusia menjadi manusia. Lah, kalau melihat itu sekarang, tidaklah penting kurikulum pelajaran-pelajaran di sekolah. Yang penting adalah bagaimana seorang anak bisa berinteraksi dengan anak lain. Dengan baik. Dan sekolah adalah percetakan paling potensial untuk itu.

Pada kelanjutannya, sekolah menjadi penempa kesosialan seorang anak. Ia bisa menjadi makhluk sosial jika ada sekolah. Itu inti sekolah yang jarang kita sadari. Kita hanya berkutat pada soal-soal seperti pelajaran, uang SPP, ranking ataupun PR. Itu penting juga sebenarnya dalam sekolah. Tapi kalau unsur interaksi sesama anak dihilangkan, percuma kita sekolah.

Manusia pada dasarnya makhluk sosial. Intinya mereka butuh interaksi dengan sesama supaya bisa hidup. Dan pendidikan seharusnya bisa menjadi faktor yang membantu manusia menjadi manusia yang seharusnya. Nah, sekarang masalahnya pendidikan akademis yang diselenggarakan oleh sekolah-sekolah sudah tidak bisa lagi kita sebut pendidikan. Wah, saya ngomong begini saking sudah penatnya saya dengan keadaan ini. Bayangkan saja, pendidikan zaman sekarang mahal sekali. Dan itu yang mendorong orang-orang SeBumi* pada malam minggu lalu berteriak, gratiskan pendidikan. Untuk rakyat ! Hidup rakyat !

Di Indonesia, zaman sekarang, semua urusan bisa lancar kalau ada duitnya. Nah, kalau anda tidak punya cukup uang untuk melancarkan urusan anda yang banyak di Negara ini, saya beri anda dua solusi. Anda harus pasrah. Itu pertama. Kedua, sebaiknya jadi TKI di Malaysia. Disiksa majikan itu resiko. Yang penting duit lancar. Dan itulah yang diangkat pada panggung rakyat ke-27 yang diadakan oleh SeBumi. Mereka benar-benar marah pada kaum kapitalis yang merusak semua lini kehidupan Indonesia.

[caption id="attachment_118257" align="aligncenter" width="640" caption="Panggung Rakyat"][/caption] Tidak ada lagi kebersahajaan di negara ini. Semua harus dengan duit. Makanya orang miskin yang jadi korban. Sudah bodoh, tidak boleh sakit lagi. Sebab, sekolah mahal. Mereka tidak bisa lagi sekolah. Dan rumah sakit pun mahal. Jadi, mereka tidak boleh sakit. Lebih baik langsung mati saja.

Lalu saya jadi berpikir, apa separah itu ya, pendidikan di negara ini.

Dengar dari orang-orang saat maiyahan lalu acara panggung rakyat di 0 km, kelihatannya memang parah. Dan apa yang saya rasakan di sekolah juga menguatkan kesan itu. Kemudian pada akhirnya kita akan sampai hulunya. Sebuah tanda tanya besar. Mengapa ?

Wah, itu dia. Saya juga bingung. Tapi saya pikir, penyebab parahnya pendidikan di negera ini, ya, gara-gara orang-orang Indonesianya juga sih. Mungkin mereka sudah terlanjur enak dengan sistem kapital yang berasaskan modal atau duit. Kalau dipikir-pikir, ya, mana ada sih yang mau rugi. Toh, pada dasarnya, kita selain sebagai makhluk sosial, kita itu juga makhluk kapital lho. Itu fitrah. Dan saat kita condong kepada kefitrahan kapital kita, nafsu lah yang bicara. Wah, itu nafsu kalau sudah ngomong, tidak akan ada habisnya. Karena hati sudah mati saat itu. Kalau hati sudah mati, ya, mati saja semuanya.

Dulu, waktu di pondokan, saya dijejali doktrin seperti ini. Bahasa Arab. Nanti saya artikan.

Ath-thoriqatu ahammu minal maddah. Wal mudarris ahammu minat thoriqah. Wa ma ahammu minal mudarris. Ruhul mudarris ahammu min mudarris binafsihi.

Lebih kurang maknanya seperti ini. “Metode itu lebih penting daripada materi. Tapi guru lebih penting daripada metodenya. Lalu apa yang lebih penting dari seorang guru ? Jiwa guru lebih penting daripada guru itu sendiri.”

Kalau dimasukkan dalam konteks pendidikan di Indonesia sekarang ini, kita lebih mementingkan materi di atas metode. Dan metode, dalam hal ini kurikulum, lebih penting daripada gurunya. Lah, jiwa guru yang teramat penting malah sudah dibuang ke laut. Materi malah yang paling dipentingkan. Itu gara-gara kita mendewakan sistem. Kita lupa bahwa sistem bisa berhasil jika ada orang-orang yang sesuai dengan system. Sekarang dengan sistem pendidikan kita yang sedemikian rupa, adakah orang-orang yang sesuai dengan sistem tersebut ? Melihat pendidikan zaman kini, kita musti jujur. Baru sedikit orang yang sesuai dengan sistem itu.

Selanjutnya muncul pikiran begini. Kalau begitu kita musti ganti sistem dong ?

Huh. Percuma. Kita mau berganti jadi sistem apa pun, dan berapa kali pun ganti sistem, kalau tidak ada orang yang tepat, ya tidak bakal jalan. Unsur paling penting dalam pendidikan, mau dibolak-balik bagaimana pun, ya, tetap guru. Guru itu yang paling penting. Tapi lebih penting lagi itu jiwa seorang guru. Kalau kita mementingkan ini, sistem bagaimana pun bakal lancar-lancar saja.

Jiwa guru. Itu yang hilang selama ini. Makanya pendidikan semakin mahal. Makanya pendidikan seolah jalan di tempat. Jiwa guru itu sejatinya jiwa pengabdian. Kalau sudah niat mengabdi, ya, yang dipikirkan bukan masalah duit atau materi lagi. Yang dicari itu ketentraman atau ketenangan jiwa. Sama seperti para abdi dalem keraton Yogyakarta yang mengabdi pada Sri Sultan. Gajinya saja tidak seberapa.

Memang sih, rasanya tak adil jika kita menyalahkan para guru. Mereka, biar bagaimana pun, sudah berjasa mencetak banyak orang-orang besar. Itu yang berhasil. Saya rasa yang bingung sendiri juga banyak. Yang malah mikir gaji, kesejahteraan, atau gengsi juga banyak. Yang seperti inilah yang kehilangan jiwa guru. Ini yang perlu dibenahi.

Kuncinya adalah jiwa seorang guru dalam masalah pendidikan. Bukan masalah sistem yang kapitalis-lah atau metode kurikulum-lah. Percuma kita semalaman berdebat atau berdiskusi ngalor ngidul soal pendidikan yang benar kalau kita cuma berkutat soal hal yang sangat besar. Sistem. Tidak. Tidak ada yang salah dalam sistem. Orang dalam sistem-lah yang mustinya dibenahi. Dan sebelum membenahi orang dalam sistem, sebaiknya kita benahi dulu jiwa kita masing-masing.

*Maiyahan adalah semacam acara diskusi diiringi dengan dzikir bersama. Digawangi oleh Emha Ainun Najib dan rekan-rekannya. Acara ini juga diisi dengan penampilan-penampilan dari para seniman.

*SeBumi (Serikat Budaya Masyarakat Indonesia) adalah sebuah komunitas yang konsen di bidang seni dan budaya. Tiap dua minggu sekali di 0 km mereka mengadakan panggung rakyat dengan satu tema. Dalam panggung rakyat, siapa yang ingin menampilkan sesuatu, dipersilahkan naik panggung begitu saja.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun