Mohon tunggu...
Leistar Adiguna
Leistar Adiguna Mohon Tunggu... -

Penulis lepas dan videographer. Alumni Jurusan Televisi ISI Yogyakarta dan Pondok Modern Darussalam Gontor.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bosankah Dunia Berubah ?

1 April 2011   03:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:14 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Merubah dunia.

Saya sudah amat sangat sering mendengar kata ini. Merubah dunia. Atau mengubah dunia. Ah, entahlah. Yang penting dunia akan berubah. Dan cita-cita orang-orang yang terlalu banyak bermimpi adalah : merubah dunia.

Rupanya orang-orang yang memiliki cita-cita seperti itu ternyata banyak jumlahnya. Saya jadi begidik sendiri membayangkannya. Kalau orang yang punya obsesi merubah dunia itu banyak, mau jadi seperti apa dunia ini jadinya ?

Saya susah dan tak mau membayangkannya. Dengar, banyak orang di dunia sudah menyuarakan perubahan. Jadi, dunia akan lebih sering berubah daripada yang dulu. Dulu, perubahan selalu saja datang seperti badai. Langsung menggebrak dan mengejutkan. Tapi lalu badai itu lalu menguap begitu saja meninggalkan bekasnya. Lama-lama badai itu pun terlupakan. Dan perubahan pun menghilang.

Saya pun sadar. Perubahan itu muncul gara-gara ketidakpuasan. Kadang juga muncul karena keterpaksaan. Tapi lebih sering muncul gara-gara dendam dan kemarahan. Inilah masalahnya. Manusia itu punya sifat dasar yang parah, selalu tidak puas. Melihat ini tidak puas, melihat itu juga tidak puas. Pantas saja bumi ini mulai keriput dan sakit-sakitan habis ditumpangi manusia.

Dan kesimpulan saya semakin bulat setelah baca novel “A Thousand Splendid Suns” karya Khaled Hosseini. Ia juga yang menulis novel best-seller “Kite Runner”. Novel itu menceritakan kisah pedih dua orang wanita di tengah pergolakan Afganistan. Seperti biasanya, saya sering merinding sendiri baca novel model seperti itu. Kadang mata saya rasanya sampai berkaca-kaca. Ah, indah sekali novel itu.

[caption id="attachment_99413" align="aligncenter" width="331" caption="thousand splendid suns"][/caption]

Tapi yang membuat saya lebih merinding adalah nafsu manusia. Di Afganistan rupanya sudah sering terjadi perang atau pemberontakan. Pertama, muncul Soviet di negeri ini untuk menjajah. Setelahnya kelompok yang disebut mujahidin berhasil mengusir Soviet. Lalu apa setelahnya ? Perang lagi. Perang di antara suku-suku para mujahidin sendiri. Perang antara Pashtun, Tajik, Uzbek dan Hazara mewarnai hari-hari Afganistan kemudian. Perang memperebutkan kekuasaan. Dan di tengah perang antar suku, datanglah orang-orang Taliban. Afganistan pun berubah kembali.

[caption id="attachment_99414" align="alignleft" width="640" caption="Korban perang di Afganistan"][/caption]

Orang-orang Taliban mengubah Afganistan menjadi sebuah negara yang menjalankan hukum syariat Islam dengan keras dan kaku. Alhasil, sepertinya warga Afganistan lebih menderita di sana. Lalu perubahan pun datang kembali terutama pasca peristiwa 11 September 2001. Amerika menyerang Afganistan. Dan Afganistan pun kembali berubah. Entah apa ini perubahan yang baik atau malah buruk.

Khaled menulis prosa tentang kisah penderitaan dua wanita ini dengan tajam menusuk hati. Aduh, saya jadi bersukur sekali tinggal di Indonesia. Sebejat-bejatnya orang Indonesia, setidaknya tidak sampai sekejam di sana. Terlepas apakah tulisan itu berlebihan atau tidak, saya sadar, rezim pemerintahan di Indonesia meski kaku dan tidak jelas tidak begitu diwarnai ketakutan seperti di Afganistan. Perang begitu sering terjadi di Afganistan. Di Indonesia kita tidak akan menemukan perang seperti di Afganistan.

Hei, bagaimana mau perang. Senjata saja sudah tidak layak pakai semua. Tidak. Cuma bercanda. Orang Indonesia akan sebisa mungkin cari aman. Lebih cinta damai. Sedikit saja ada kisruh atau tawuran, pasti dikecam habis-habisan. Makanya, konflik di Indonesia relatif tidak begitu mengguncang. Memang kalau melihat masa lalu, ada juga kejadian-kejadian bentrok yang sampai merubah negara ini. Seperti kejadian Mei 98. Presiden Soeharto pun sampai turun tahta. Lihat, sebuah perubahan.

Tapi ya, orang-orang Indonesia lebih suka damai. Makanya, perubahan itu jarang terjadi. Namun perubahan lebih sering bersuara di Indonesia. Sedikit-sedikit, kalau baca opini di koran, pasti tuntutan berubah ada di akhir tulisan. Ya, ya. Berubah. Lalu berubah. Terus saja berubah. Pada akhirnya, sampai kapan perubahan akan terus terjadi, tidak ada yang tahu. Kita lihat sejarah Indonesia. Pertama, orang tidak puas dengan penjajahan. Makanya, ada proklamasi. Presiden Soekarno naik tahta. Eh, muncul isu PKI. Terjadilah G-30-S-PKI. Presiden Soekarno turun. Presiden Soeharto pun naik tahta.

Lalu orang-orang juga tidak puas dengan Orde Baru. Tidak ada kebebasan. Maka pecahlah berbagai kekacauan. Puncaknya tahun 98. Presiden Soeharto turun. Orde Baru diganti zaman reformasi.

[caption id="attachment_99415" align="aligncenter" width="300" caption="Menjelang reformasi 98"]

1301628918262909770
1301628918262909770
[/caption] Habis ? Belum. Zaman reformasi dan pasca reformasi memang membawa perubahan. Tapi juga menuntut perubahan selanjutnya. Lihat. Lagi-lagi orang tidak puas dengan perubahan. Rasanya belum cukup kalau melihat dunia belum berubah.

Saya tidak terlalu ingin melihat dunia sering berubah. Mual. Bisakah kita lebih perlahan merubah dunia ? Maksud saya, perubahan harusnya dilakukan bertahap. Pelan-pelan. Jangan langsung berubah. Hanya ada masalah saja. Mau saya sih, perubahan tidak usah ada saja. Tapi tidak mungkin. Sadar juga perubahan itu memang sudah ada dari dulu. Dan tidak bisa dihindari.

Maka, saya menyuarakan perubahan dunia dengan perlahan. Seperti perubahan dunia akibat perkembangan komputer. Dulu, orang tertawa kalau dengar ide komputer di rumah-rumah. Sekarang kita akan tertawa kalau mendengar komputer dengan ukuran sebesar kamar. Lihat. Perubahan komputer tentu saja bertahap dan berproses. Ini perubahan yang ideal. Tapi seideal apa pun perubahan itu, pasti saja ada masalah. Kenapa ?Ya karena manusia itu. Susahnya manusia itu tidak pernah puas. Ada saja orang yang tidak puas dengan keadaan sekitarnya.

Kadang memang keadaan perlu berubah. Tapi ya, tidak sesering seperti sekarang lah. Ini bisa membawa kekacauan dalam hidup. Bahkan bencana alam pun tidak menimbulkan kekacauan yang benar-benar kacau seperti perubahan yang dilakukan manusia. Kalau keadaan jauh lebih kacau daripada sebelumnya, biasanya orang-orang akan menyesalinya dan membayangkan romantisme masa lampau. Ah, itulah. Itu yang namanya penyakit amnesia.

Tapi mau apa ? Kalau sudah berubah, ya harus dilanjutkan. Tunggu sampai ada perubahan selanjutnya. Seperti kereta. Kalau ketinggalan, ya sudah. Naik kereta yang selanjutnya. Dan saya jadi ingat satu mahfudzot atau apa ya, kalau bahasa Indonesianya ? Saya juga kurang ngerti. Mungkin kata mutiara lebih tepat. Begini bunyinya, “Asyaddu jihad, jihadul hawa”. Artinya kurang lebih, “Perang paling sulit, perang melawan diri sendiri”.Benar. Jarang orang menyuarakan perubahan diri sendiri. Kita gemas melihat korupsi di Indonesia yang sudah keterlaluan. Tapi kadang kita masih berpikir cari kesempatan kalau ada anggaran kecil-kecilan. Lalu kapan mau berubah. Oke. Mungkin korupsi adalah satu hal yang tak akan pernah berubah. Tapi toh, kita bisa merubah diri sendiri memandang korupsi dengan berbagai modusnya. Itu lebih baik daripada tiba-tiba korupsi di Indonesia menghilang begitu saja. Wah, bingung semua orang-orang Indonesia.

Juga revolusi PSSI.

[caption id="attachment_99416" align="aligncenter" width="320" caption="revolusi PSSI"]

13016290311091099578
13016290311091099578
[/caption] Perubahan pasti datang. Tidak tahu kapan. Nah, pertanyaannya, siap tidak kita untuk berubah ? Percuma saja PSSI direformasi, kalau orang-orang masih suka ugal-ugalan soal sepak bola. Di negara mana pun sepak bola bisa maju kalau orang-orangnya juga benar-benar mencintai sepak bola. Artinya, apa pun diberikan untuk sepak bola. Bisakah kita, sebagai orang Indonesia yang fanatik ini, berkorban untuk sepak bola ?

Saya takut. Takut kalau kita terlalu gampang mengkambing-hitamkan atau menyalahkan. Dan membawa emosi yang berlebihan di situ. Saya takut. Bagaimana kalau ternyata yang salah itu kita ? Lalu tiba-tiba semuanya berubah. Siapkah kita ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun