Menjadi kebanggaan bagi seluruh masyarakat Asia dan Afrika ketika inisiatif dan pemikiran mulia yang dicetuskan Soekarno, Ali Sastroamidjojo (Indonesia), Jawaharlal Nehru (India), Muhammad Ali Bogra (Pakistan), John Kotelawala (Sri Lanka) dan U Nu (Burma) masih tetap bergaung ke seluruh penjuru dunia.
Ya, Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun ini tepat berusia 60 tahun dan diperingati besar-besaran di dua kota besar Indonesia, yaitu Jakarta dan Bandung. Mengangkat tema “Strenghtening South-South Cooperation to Promote World Peace and Prosperity”, diharapkan konferensi ini dapat membawa manfaat bagi 75% penduduk dunia yang tinggal di region Asia dan Afika.
Namun, di tengah hingar-bingarnya peringatan tersebut, kemudian muncul pertanyaan sederhana, apa relevansi KAA setelah kolonialisme yang dulu sangat dipertentangkan para pemimpin bangsa Asia-Afrika berakhir? Apa lagi yang harus diperjuangkan?
Sebuah paradoks terjadi. Ketika kita semua berbicara tentang wajah dunia yang semakin berubah, ternyata dunia hanya berputar pada permasalahan politik yang sama dan “standar” selama 60 tahun terakhir: kolonialisme “gaya baru” dan konflik internal maupun eksternal, dapat dilihat dari percaturan politik global terkini yang hanya berganti aktor dan tempat. Semangat KAA seperti perdamaian, toleransi, keadilan, keseimbangan, kesejahteraan dan stabilitas hanya sebatas dipuja dan diamini tanpa dijalankan dalam bentuk yang konkret.
Dikaitkan dengan isu kontemporer, seperti kehidupan perkotaan Indonesia saat ini pun sama keadaannya. Wajah kota yang semakin tidak manusiawi disuguhkan kepada kita. Padahal, hakikat kota adalah untuk manusia, tetapi eksistensi manusia tergusur oleh dominasi kendaraan bermotor.
Penyerahan perencanaan dan pembangunan perkotaan pada mekanisme pasar menyebabkan kota dikuasai oleh kekuatan kolonialisme modern dalam bentuk kontrol-kontrol yang membatasi ruang gerak penghuninya. Konflik horizontal dan instabilitas menjadi konsumsi publik sehari-hari karena ikatan sosial yang bertumpu pada toleransi telah renggang dan tidak dijaga lagi, malah bukan tidak mungkin “xenophobia” yang terjadi di Afrika Selatan bisa terjadi disini.
Menurut Edward Said, secara politik, Dunia Ketiga memang sudah merdeka, tetapi belum secara budaya. Semangat KAA sampai saat ini belum terinternalisasi dan membudaya dalam jiwa-kehidupan masyarakat dan pemerintahan kota. Perpaduan berbagai permasalahan dan tantangan diatas menuntut kita semua untuk berpikir, solusi apa yang kiranya paling tepat?
Kota Cerdas Sebagai Solusi
Membangun dan mengembangkan Kota Cerdas (Smart City) dapat menjadi solusi permasalahan perkotaan serta menjadi corong penyebarluaskan semangat
KAA. Kota Cerdas tidak hanya menekankan pada pertumbuhan hijau dan perkembangan teknologi informasi, Kota Cerdas mampu memberikan dukungan bagi setiap penghuninya untuk bergerak lebih maju sesuai dengan harapan peradaban modern (Kompas, 08/04/2015), dengan kata lain, semangat kesetaraan dan keseimbangan menjadi kata kunci disini.
Kemudian, cita-cita mengembangkan Kota Cerdas berangkat dari keinginan untuk membuat kota yang lestari, nyaman, efisien, dan berdaya saing ekonomi tinggi. Cita-cita tersebut dibarengi dengan langkah inovasi yang berkualitas. Dapat dilihat bahwa Kota Cerdas dikembangkan semata-mata untuk kesejahteraan rakyat.
Juga, Kota Cerdas menekankan pada pengelolaan cerdas, urban governance yang berdasar pada partisipasi aktif, demokrasi dan keadilan. Pelibatan luas seluruh komponen pemangku kebijakan dan kepentingan menjadi prasyarat utama yang harus dipenuhi.
Pada akhirnya, diharapkan kebangkitan Asia-Afrika tidak hanya muncul secara makro, tetapi juga sampai pada tataran lokal. Kesulitan yang ada harus kita hadapi, menuju kota-kota di Asia-Afrika sebagai equilibrium baru bagi perkembangan perkotaan global yang damai, toleran, adil, seimbang, sejahtera dan stabil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H