Tahun politik 2014 sudah di depan mata. Nama-nama calon presiden pun bermunculan. Di antara sekian banyak nama yang muncul dalam bursa calon presiden tentu saja jang paling mencorong saat ini adalah Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo alias Jokowi. Sudah banyak desakan dari berbagai kalangan, baik pengamat politik maupun rakyat kebanyakan -entah sudah disetting atau tidak- agar Jokowi dicalonkan sebagai presiden oleh PDI Perjuangan.
Mengingat bahwa Jokowi selalu ada di urutan teratas survei calon presiden dan desakan yang semakin deras dari banyak pihak rasa-rasanya PDIP tidak akan mengabaikan begitu saja kemungkinan pencalonan Jokowi sebagai presiden di 2014 nanti. Dalam rakernas yang baru lalu tanda-tanda ke arah pencalonan itu pun sudah terlihat. Tidak ada yang bisa mengelak bahwa Jokowi telah menjadi ikon baru PDIP menggeser Megawati. Bagi PDIP sesungguhnya ini adalah momentum yang sangat baik untuk kembali tampil sebagai partai berkuasa setelah menjadi oposisi selama hampir 10 tahun. Apa yang dialami PDIP sekarang mirip dengan yang dialami partai ini tahun 1999 lalu, ketika PDIP memiliki ikon Mega sebagai pembela “wong cilik” dan korban kezaliman rezim Orde Baru. Seandainya waktu itu Indonesia sudah melaksanakan pilpres secara langsung bisa dipastikan Mega-lah yang bakal terpilih sebagai presiden. Kehadiran sosok ikon yang dicintai masyarakat, itulah yang terulang hari ini. Sungguh bodoh kalau PDIP menyia-nyiakan momentum emas ini.
Walhasil sepertinya pencalonan Jokowi bukan soal apakah akan dicalonkan atau tidak tetapi hanya tinggal tunggu waktu saja. Mari kita lihat beberapa bulan ke depan. Bukan tidak mungkin PDIP akan mengumumkan pencalonan Jokowi sebagai presiden bertepatan dengan momen-momen penting semisal Hari Sumpah Pemuda (28 Oktober), hari Pahlawan (10 November), atau HUT PDIP sendiri (10 Januari) sebagaimana yang diusulkan sejumlah pengurus PDIP daerah. Bisa pula pencalonan Jokowi ini akan dimulai dengan pernyataan Mega bahwa dirinya tidak akan kembali bertarung di pilpres tahun depan. Pencalonan ini tampaknya memang akan dirancang layaknya sebuah drama atau sinetron yang bergerak dengan lambat namun sedikit demi sedikit menghangat hingga mencapai puncaknya dan diakhiri dengan happy ending. Secara hitung-hitungan politik pencalonan Jokowi lebih menguntungkan jika dilakukan sebelum pemilu legislatif ketimbang setelah pemilu legislatif. Bila pencalonan itu dilakukan sebelum pemilu legislatif maka PDIP akan punya figur yang bisa menjadi pendongkrak suara partai moncong putih ini. Apalagi PDIP sudah punya target meraup 27% suara 152 kursi DPR RI alias di atas angka presidential threshold (PT). Menembus syarat PT akan sangat menguntungkan bagi PDIP karena mereka bisa mencalonkan pasangan presiden-wakil presiden sendiri tanpa harus berkoalisi dengan partai lain yang artinya harus banyak kompromi dan politik dagang sapi.
Jika Jokowi dicalonkan menjadi presiden, pertanyaan selanjutnya siapakah yang akan mendampinginya sebagai cawapres? PDIP punya banyak kader potensial untuk menjadi cawapres. Namun ada pertimbangan lain di luar urusan kapabilitas dan kompetensi semata. Bagaimanapun PDIP adalah partai yang lekat dengan nama besar Bung Karno dan tidak bisa lepas dari trah Sukarno. Oleh karena itu nama Puan Maharani harus diperhitungkan sebagai kandidat utama cawapres PDIP. Bila PDIP mampu meraih PT dan berhak mencalonkan pasangan capres-cawapres sendiri, kemungkinan besar yang akan mereka calonkan adalah pasangan Jokowi-Puan.
Siapa Pesaing Jokowi?
Jika soal pencalonan Jokowi sedikit demi sedikit sudah mulai mendekati kepastian maka yang masih menjadi pertanyaan adalah siapa yang akan menjadi pesaingannya dalam Pilpres 2014 nanti? Ini tergantung dari hasil pemilu legislatif 9 April yang akan datang. Bila Jokowi menjadi capres PDIP maka peluang besar dimiliki partai “wong cilik” ini untuk menjadi pemenang pemilu. Posisi peraih suara terbanyak berikutnya tampaknya akan diisi oleh Golkar, Gerindra, Demokrat, dan PKS. Bersama dengan PDIP, partai-partai ini akan menjadi 5 besar pemenang Pemilu 2014.
Mengapa partai-partai tersebut yang menempati 5 besar di luar PDIP? Masing-masing partai itu memiliki kekuatannya tersendiri. Golkar adalah partai tertua di Indonesia yang telah memiliki jaringan dan basis pendukung yang mantap sejak Orde Baru dengan kantong-kantong suara di luar Jawa. Sekalipun kekuatannya sudah jauh berkurang dibandingkan masa Orde Baru, rasa-rasanya partai beringin ini masih tetap akan menjadi salah satu partai terkuat di Indonesia. Gerindra punya sosok Prabowo yang hingga saat ini masih menjadi calon presiden yang elektabilitasnya mampu bersaing dengan Jokowi. Demokrat, sekalipun terpuruk karena bertubi-tubi diterpa kasus korupsi tetapi tampaknya masih bisa bertahan berkat kehadiran figur SBY. Hampir dapat dipastikan suara partai berlambang bintang Mercy ini akan menurun drastis, namun berdasarkan hasil survei Demokrat sepertinya masih mampu bertahan di urutan 5 besar dengan perolehan suara bekisar antara 8-10%. Lalu bagaimana dengan PKS? Partai yang mengusung slogan “Cinta, Kerja, dan Harmoni” ini tampaknya juga akan mengalami penurunan suara akibat isu korupsi dan pragmatisme yang menimpanya. Namun partai ini mempunyai kader yang loyal dan militan dengan jaringan yang kuat hingga ke akar rumput dan nampaknya masih mampu mempertahankan basis dukungannya sekalipun hanya berkutat di angka 6-7% seperti dua pemilu sebelumnya. Lantas bagaimana pula dengan partai-partai lainnya? Mohon maaf, sepertinya PPP, PAN, PKB, PBB, PKPI, dan pendatang baru Partai Nasdem hanya akan menjadi penggembira belaka. Masih untung kalau mereka bisa lolos electoral threshold (ET).
Dengan peta politik yang demikian dapat diperkirakan hanya akan ada 3 kubu yang bertarung di pilpres mendatang: PDIP, Golkar, dan Gerindra beserta mitra koalisinya. PDIP hampir pasti akan mengusung Jokowi, kemungkinan bersama Puan. Golkar jelas mengusung Aburizal Bakrie, jika harus berkoalisi Ical dan Golkar tampaknya akan mencari figur militer dan Jawa. Jika Pramono Edhie Wibowo memenangi konvensi Demokrat -sebagaimana yang diprediksi banyak orang, termasuk saya- maka ia akan menjadi figur yang cocok dipasangkan dengan Ical sebagai cawapres, mengingat sangat sulit peluang bagi Demokrat mencalonkan kandidatnya sendirian. Gerindra meskipun berambisi maju sendirian dalam pertarungan pilpres sepertinya harus rela berkoalisi untuk bisa mengusung Prabowo. Figur yang dipasangkan dengan Prabowo akan merepresentasikan kalangan sipil, Islam, dan kalau bisa non-Jawa. 4 partai ’santri’ (PKS, PPP, PAN, PKB) punya kesempatan menggandengkan calonnya dengan Prabowo namun bagi PKS kecil peluangnya akan ditarik kandidatnya oleh Prabowo. PKS masih memiliki citra sebagai partai Islam yang eksklusif dan kurang baik citranya di mata ‘dunia internasional’. Selain itu, bagaimanapun seorang nasionalis sejati seperti Prabowo pasti masih menyimpan kecurigaan bahwa PKS memiliki ‘agenda tersembunyi’ di balik kiprah politiknya dan jika diberi peluang berkuasa PKS akan menggunakan kekuasaan itu untuk kepentingan ideologisnya sendiri seperti yang dilakukan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Sementara itu PPP tidak punya sosok yang “layak jual” sebagai kandidat capres maupun cawapres. Jadi posisi cawapres bagi Prabowo tampaknya akan menjadi milik calon PAN atau PKB. Hatta Rajasa atau Mahfud MD berpeluang besar untuk itu. Terlepas dari siapa cawapres yang akan dipilih Prabowo, tampaknya di pilpres mendatang akan muncul Poros Tengah Jilid II gabungan partai-partai berbasis massa Islam (PKS, PPP, PAN, PKB,PBB) plus dua partai nasionalis (Gerindra dan PKPI pimpinan Sutiyoso yang purnawirawan TNI). Ini sekaligus nostalgia Prabowo dengan kalangan Islam yang mana pada era akhir Orde Baru Prabowo dikenal sebagai jenderal “ABRI hijau” (”pro Islam”).
Adapun dua partai yang gencar berpromosi lewat televisi, Nasdem dan Hanura, kemungkinan akan merapat ke kubu yang lebih berpeluang untuk menang yaitu PDIP. Ini tentu tidak lepas dari hitung-hitungan ala pebisnis ditambah masih adanya sisa-sisa aroma persaingan Prabowo vs Wiranto untuk Hanura. Partai Nasdem nampaknya lebih memilih mendukung Jokowi bersama-sama dengan Hanura ketimbang berkoalisi dengan Golkar karena sang boss -Surya Paloh- tentunya masih menyimpan gengsi untuk bergandengan tangan dengan Ical yang pernah menjadi saingannya di Munas Golkar beberapa tahun lalu. Meskipun Hary Tanoe telah bergabung dengan Hanura, Surya Paloh tidak akan terlalu kehilangan muka jika partainya berkoalisi dengan Hanura, toh Hanura masih menjadi “milik” Wiranto, bukan Hary Tanoe.
Walhasil itulah kurang lebih prediksi gambaran drama politik pilpres 2014 nanti. Tentu saja ini bukan hal yang pasti karena konstelasi politik bisa berubah dengan cepat seiring dengan makin dekatnya pemilu. Saya dan anda sebagai rakyat akan disuguhi oleh berbagai suguhan “menu politik” dan “atraksi politik” yang mungkin akan memuakkan sekaligus menggelikan. Namun apapun, pilihan akan tetap di tangan kita sekalian. Selamat mengamat-amati dan menentukan pilihan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H