Pasca-reformasi mendengar kata “Pancasila” serasa membawa kita pada era otoritarianisme Orde Baru. Tidak aneh sebenarnya karena memang pada masa itu “Pancasila” menjadi sebuah ‘kata sakti’ yang selalu didengung-dengungkan dan disebut dalam hampir semua kesempatan, terutama oleh para pejabat. Tidak hanya itu, dalam lapangan kehidupan berbangsa dan bernegara pun Pancasila menjadi satu-satunya asas yang tidak dapat diganggu gugat keabsahannya. Semua partai politik dan organisasi kemasyarakatan harus menjadikan Pancasila sebagai asasnya, tentu saja Pancasila di sini adalah Pancasila yang telah ditafsirkan sesuai selera penguasa.
Bagi umat Islam Indonesia Pancasila dirasakan pula sebagai sesuatu yang mengundang trauma sekaligus sikap antipati. Hal yang wajar sesungguhnya karena pada masa Orde Baru Pancasila dijadikan sebagai alat untuk membelenggu aspirasi politik umat Islam dan alat pemukul bagi kelompok umat Islam yang dianggap ‘berbahaya’ bagi penguasa. Belakangan di era Reformasi ketika perjalanan bangsa dirasa tidak lagi mempunyai arah yang jelas dan negeri ini dihantui ancaman disintegrasi di mana-mana Pancasila yang menjadi common denominator (pembagi bersama) dan common platform (landasan bersama) bangsa Indonesia dimunculkan kembali dengan harapan dapat memberikan arah bagi perjalanan bangsa serta membangun kembali kebersamaan di antara pelbagai elemen bangsa. Revitalisasi Pancasila diserukan oleh berbagai kalangan. Namun di sisi lain bagi sebagian kalangan umat Islam Pancasila dianggap sebagai alat untuk mengekang aspirasi umat yang berkaitan dengan pelaksanaan syari’ah. Upaya formalisasi syari’ah dan pemberlakuan sejumlah peraturan daerah (perda) yang “bernuansa syari’ah” dicap oleh sebagian kelompok sebagai suatu hal yang bertentangan dengan semangat menjaga kemajemukan yang terkandung dalam Pancasila. Islam dan Pancasila lalu seolah menjadi dua hal yang harus dibenturkan, seolah-olah jika ada umat Islam yang menuntut formalisasi syari’ah maka sama dengan anti-Pancasila.
Pertanyaannya benarkah Islam bertentangan dengan Pancasila atau sebaliknya? Begitu pula betulkah aspirasi penerapan syari’ah itu bertentangan dengan Pancasila? Hal inilah yang coba dijawab oleh Ustadz Adian Husaini lewat bukunya “Pancasila Bukan Untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam”. Dalam buku ini Ustadz Adian mencoba menjelaskan timbulnya kesalahpahaman kalangan Kristen dan nasionalis sekuler mengenai aspirasi penegakan syari’ah dan juga pemahaman yang ‘tepat’ atas Pancasila dari sudut pandang Islam. Selain itu tidak lupa ia pun mengingatkan umat Islam bahwa perjuangan Islam di Nusantara belum berakhir dan bahwa tugas generasi kaum Muslimin hari ini adalah melanjutkan perjuangan generasi terdahulu dengan cara membangun budaya ilmu yang merupakan fondasi utama dari sebuah peradaban. Cendekiawan Muslim yang produktif dalam menulis ini mengingatkan bahwa untuk membangun peradaban tidak cukup hanya dengan meraih kekuasaan melainkan justru harus dimulai dengan membangun budaya ilmu, terutama sekali meluruskan kekeliruan mengenai konsep ilmu itu sendiri.
Momok Piagam Jakarta
Berbicaratentang upaya penegakan syari’at Islam di Indonesia tidak akan lepas dari Piagam Jakarta. Di dalam piagam yang oleh Bung Karno disebut gentlemen’s agreement ini terdapat 7 kata yang menjamin kewajiban pelaksanaan syari’ah bagi umat Islam Indonesia. Namun seperti kita ketahui kata-kata “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam Piagam Jakarta yang sedianya akan dijadikan pembukaan UUD 1945 itu harus dihapus atas desakan umat Kristen Indonesia timur yang khawatir jika ketentuan itu berlaku maka akan menjadikan umat non-Muslim sebagai warga negara kelas dua.
Secara resmi ketujuh kata tersebut tidak lagi tercantum dalam teks Pancasila pada pembukaan UUD 1945. Setelah dihapuskannya 7 kata itu tidak sedikit orang –khususnya kalangan non-Muslim dan sekuler- memahami bahwa Piagam Jakarta hanyalah masa lalu yang tidak perlu diungkit-ungkit lagi. Dalam konteks yang demikian upaya penerapan syari’ah lewat formalisasi hukum-hukum Islam dalam hukum negara kerap dinilai sebagai pelanggaran –bahkanpengkhianatan- atas Pancasila, dengan kata lain formalisasi syari’ah dianggap sebagai tindakan yang inkonstitusional. Tudingan inilah yang mengemuka setiap kali ada rancangan undang-undang atau peraturan lainnya yang dianggap berbau syari’ah atau mengakomodasi kepentingan umat Islam. Lewat argumentasi historis dan hukum positif Ustadz Adian membantah tuduhan ini. Ia menunjukkan bahwa upaya penerapan syari’ah lewat aturan perundang-undangan adalah hal yang sah, legal, dan konstitusional. Secara historis terbukti bahwa ketika UUD 1945 diberlakukan kembali lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Presiden Soekarno menyatakan bahwa Piagam Jakarta “menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Itu berarti bahwa 7 kata yang terdapat dalam Piagam Jakarta juga diakui secara legal-formal sebagai “jiwa” dan bagian yang tak terpisahkan dari UUD 1945 yang masih berlaku hingga kini. Dengan demikian tidak ada alasan untuk menolak formalisasi syari’ah dengan dalih inkonstitusional.
Lebih jauh lagi, penolakan formalisasi syari’ah oleh sebagian kalangan sesungguhnya dilatarbelakangi oleh sentimen Islamo-fobia yang sejatinya adalah warisan kolonialisme Belanda. Sebagaimana kita ketahui bahwa kalangan Kristen adalah elemen yang paling keras menolak formalisasi syari’ah dan upaya-upaya mengangkat kembali isu Piagam Jakarta. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam hal ini kalangan Kristen mewarisi persepsi kolonialis Belanda yang memandang Islam sebagai ancaman. Memang dahulu Belanda khawatir dengan pemberlakuan syari’ah karena syari’ah akan memperkuat identitas keislaman penduduk pribumi yang akan menghambat hegemoni kolonial Belanda serta mendorong semakin kuatnya perlawanan kaum Muslim pribumi terhadap Belanda. Bagi kaum misionaris, syari’ah juga akan menghambat upaya Kristenisasi Nusantara karena jika umat Islam berkomitmen pada syari’ah sudah barang tentu akan menolak dengan keras upaya-upaya pemurtadan seperti Kristenisasi. Hal inilah yang dilihat oleh Adian sebagai alasan utama mengapa kaum Kristen selalu menolak usaha-usaha pemberlakuan syari’ah di Indonesia. Ini bukanlah tuduhan yang tak berdasar karena memang dinyatakan sendiri oleh kalangan Kristen bahwa setelah perginya kaum misionaris asing bukan berarti tugas penkabaran Injil berakhir akan tetapi tugas tersebut beralih kepada umat Kristen Indonesia yang dalam hal ini harus berhadapan dengan tantangan dan hambatan dari umat Islam sebagai penduduk mayoritas di Indonesia (hal. 67-69).
Satu hal lagi yang menjadi hambatan dan tantangan bagi pelaksanaan syari’ah dalam aturan perundang-undangan di Indomnesia adalah masih adanya kesalahpahaman mengenai syari’ah. Penerapan syari’ah seringkali masih disalahpahami –atau memang disalahpahamkan- secara sempit sebagai penerapan hukum huddud dan qishash padahal sesungguhnya cakupan syari’ah jauh lebih luas dari sekadar hukum pidana. Bahkan jika dikaitkan dengan permasalahan riel yang dihadapi Indonesia hari ini seperti kemiskinan, korupsi, utang luar negeri dan sebagainya syari’ah sangatlah relevan untuk memecahkan permasalahan tersebut. Dalam hal ini Ustadz Adian menekankan pentingnya peran umat Islam – khususnya para tokohnya- untuk menjadi contoh yang baik dari penerapan syari’ah. Syari’ah tidak boleh menjadi slogan dan komoditas politik belaka melainkan harus diterapkan secara nyata dalam kehidupan sehingga terbukti bahwa syari’ah sebagai aturan yang datang dari Allah memang mampu memecahkan problematika kehidupan umat manusia.
Tafsir Pancasila
Hal menarik lain yang diangkat dalam buku ini adalah mengenai polemik tafsiran Pancasila. Kita tentu sudah mafhum bahwa Pancasila adalah kesepakatan bersama para pendiri bangsa ini yang terdiri dari poin-poin umum yang bisa diterima oleh seluruh elemen bangsa dari pelbagai, agama, ideologi, partai politik, etnis, dan sebagainya. Sering dikatakan bahwa Pancasila adalah sebuah ideologi yang terbuka. Di satu sisi karakter Pancasila yang terbuka dan fleksibel ini memang dapat menjadi pengikat bagi seluruh elemen bangsa yang plural ini akan tetapi di sisi lain juga menjadi kelemahan tersendiri manakala Pancasila hendak diposisikan sebagai dasar filosofis-normatif penyelenggaraan negara. Sejarah menunjukkan bahwa tafsiran atas Pancasila selalu dikontestasikan oleh berbagai kekuatan politik sesuai dengan perspektif ideologis, aspirasi, dan kepentingannya masing-masing.
Terkait dengan hal tersebut, kalangan non-Muslim dan nasionalis sekuler memahami Pancasila dari perspektif yang netral-agama. Pancasila tidak boleh ditafsirkan menurut sudut pandang agama tertentu tetapi harus mengakomodasi keberagaman keyakinan yang ada di Indonesia. Dengan demikian maka Pancasila juga tidak boleh –dalam pandangan kelompok ini- dijadikan alat legitimasi masuknya paham atau aturan agama tertentu dalam penyelenggaraan negara. Persepsi semacam ini tentu wajar saja mengingat cara pandang yang mereka gunakan untuk menafsirkan Pancasila adalah cara pandang sekuler yang memisahkan agama dan negara, di samping ada juga kepentingan tertentu sebagaimana sudah disinggung di atas. Atas dasar persepsi inilah kalangan non-Muslim dan nasionalis sekuler menjadikan Pancasila sebagai alat untuk menolak formalisasi syari’ah yang marak berlangsung pasca-reformasi.
Namun benarkah bahwa Pancasila adalah sebuah konsepsi yang netral agama? Inilah yang dibantah oleh Ustadz Adian Husaini. Doktor bidang Pemikiran Islam lulusan ISTAC Malaysia ini menyatakan dengan tegas bahwa Pancasila bukanlah konsepsi sekuler sebagaimana yang dipahami banyak kalangan. Adanya sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dalam Pancasila menunjukkan dengan jelas bahwa Pancasila tidak lepas dari nilai-nilai ketuhanan (baca: agama). Lantas apakah Pancasila itu netral agama dalam arti tidak diwarnai oleh satu agama tertentu, katakanlah Islam misalnya? Ini pun dibantah oleh Ustadz Adian. Dalam hal ini ia mengutip pernyataan dari seorang penulis Kristen yang menyebut sila pertama sebagai suatu kekalahan dari “bapak-bapak Kristen dan Hindu” dalam penyusunan dasar negara ini (hal 131). Jika “bapak-bapak Kristen dan Hindu” mengalami kekalahan lalu siapakah yang menang? Tak lain dan tak bukan yang menang adalah tokoh-tokoh Islam. Ini bukan hal yang mengada-ada karena memang dalam sejarahnya yang mengajukan rumusan sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” –sebagai pengganti 7 kata yang dihapus- adalah tokoh NU K.H. Wahid Hasyim dan rumusan tersebut diambil dari ajaran tauhid.
Untuk menunjukkan bahwa Pancasila memang tidak bisa dilepaskan dari pengaruh worldview Islam, Ustadz Adian menjelaskan bahwa pemahaman mengenai siapa “Tuhan Yang Maha Esa” yang dimaksud dalam sila pertama tidak bisa dipisahkan dari kalimat dalam pembukaan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa kemerdekaan adalah “berkat rahmat Allah”. Oleh karena pernyataan “berkat rahmat Allah” dan sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” ada dalam satu wacana –yaitu Pembukaan UUD 1945- makalogis jika keduanya dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh. Penggalan kalimat “berkat rahmat Allah” sesungguhnya memberikan petunjuk mengenai siapa “Tuhan Yang Maha Esa” dalam sila “ketuhanan Yang Maha Esa”. Tidak lain dan tidak bukan yang dimaksud “Tuhan Yang Maha Esa” adalah Allah. Dalam kaitan dengan hal tersebut amat terang benderang bagaimana pengaruh Islam dalam perumusan Pancasila. “Allah” jelas merupakan konsep Tuhan khas Islam yang tidak ditemukan dalam agama-agama lain. Ia lalu membandingkan konsep ketuhanan dalam Islam dengan konsep ketuhanan dalam tradisi Yudeo-Kristiani yang bahkan tidak mengenal satu nama yang pasti untuk menyebut Tuhan Pencipta Alam Semesta.
Bila “Tuhan Yang Maha Esa” yang dimaksud sila pertama adalah Allah maka tidak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa asas pertama Republik Indonesia adalah tauhid. Dengan demikian ini sekaligus membantah asumsi sebagian kalangan bahwa Pancasila adalah konsepsi yang netral agama alias sekuler. Selanjutnya, karena “ketuhanan Yang Maha Esa” adalah sila pertama maka wajar bila penafsiran sila-sila selanjutnya tidak bisa dipisahkan dari kandungan sila pertama tersebut. Sila “kemanusiaan yang adil dan beradab” misalnya, tidak bisa ditafsirkan secara bebas tanpa memerhatikan asas tauhid yang terkandung dalam sila pertama apalagi kata “adil” dan “adab” yang terdapat dalam sila tersebut adalah kata serapan dari bahasa Arab dan merupakan bagian konsep-konsep kunci dalam Islam. Kata “adil” dan “adab” baru dikenal setelah masuknya Islam ke Nusantara dan tidak ada padanannya dalam kosa kata asli bahasa-bahasa lokal di Nusantara. Oleh karena itu “adil dan beradab” dalam sila kedua harus dipahami dengan merujuk pengertian kedua kata tersebut dalam khazanah keilmuan Islam sebagai sumber konseptualnya. Dalam aplikasinya maka sila “kemanusiaan yang adil dan beradab” tidak bisa dijadikan dasar untuk membenarkan hal-hal yang dilarang agama –khususnya Islam- katakanlah misalnya praktik homoseksual, karena hal-hal yang dilarang agama justru merupakan suatu kezaliman (lawan dari adil) dan ketidakberadaban. Dengan kata lain “kemanusiaan” harus dibatasi oleh “keadilan dan keberadaban” yang didasari oleh agama khususnya Islam yang merupakan pengejawantahan dari ajaran tauhid yang terkandung dalam sila pertama.
Pendek kata penafsiran Pancasila berdasarkan perspektif keislaman bukan hanya sah jika tetapi juga Pancasila itu sendiri dipenuhi oleh konsep-konsep yang bersumber dari Islam. Ini bukan hal yang aneh mengingat banyak di antara perumus Pancasila adalah tokoh-tokoh Islam. Dilihat dari sudut pandang ini menjadikan Pancasila sebagai alasan untuk menolak penerapan syari’ah di Indonesia jelas tidak memiliki dasar yang kuat dan gugur dengan sendirinya. Sayangnya dalam buku ini Ustadz Adian tidak mencoba menjabarkan perspektif keislaman dalam penafsiran tiga sila lainnya dalam Pancasila yaitu sila ketiga sampai kelima.
Tafsir Islami Pancasila dan Konteks Kebangsaan
Ditinjau dari perspektif keislaman penjelasan Ustadz Adian Husaini mengenai Pancasila sudah cukup menjawab bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam, begitu pula sebaliknya. Ini perlu ditekankan mengingat di tengah umat Islam sendiri masih ada kalangan yang menganggap Pancasila bertentangan dengan Islam bahkan menyebut Pancasila sebagai “paham syirik”. Persepsi semacam itu jelas mengecilkan peranan para tokoh Islam dalam perumusan Pancasila dan menafikan kenyataan besarnya pengaruh Islam dalam konsepsi Pancasila itu sendiri.
Akan tetapi masih ada satu pertanyaan tersisa dari penafsiran Pancasila dengan perspektif keislaman sebagaimana yang telah dikemukakan Ustadz Adian. Pertanyaan itu adalah bagaimana jika penafsiran tersebut dihadapkan dengan realitas bangsa kita yang majemuk? Diakui atau tidak dalam konteks kebangsaan penafsiran Pancasila seperti yang coba ia lakukan akan ‘bermasalah’. Suka atau tidak suka konsep kebangsaan yang dianut Indonesia adalah konsep yang netral agama. ‘Bangsa Indonesia’ adalah sebuah entitas yang plural, yang terdiri dari berbagai elemen agama, etnis, ideologi, kelas sosial, dan sebagainya yang berbeda namun dipersatukan oleh perasaan ‘senasib sepenanggungan’ sebagai sesama penduduk negeri yang terjajah. Kaum sekuler tampaknya lebih berhasil merumuskan konsep kebangsaan Indonesia yang bertahan hingga kini. Secara historis, Indische Partij adalah organisasi pergerakan pertama yang merumuskan konsep “bangsa Hindia” yang menjadi cikal bakal dari konsep “bangsa Indonesia”. Konsep “bangsa Hindia” yang diusung Indische Partij adalah konsep kebangsaan berdasarkan kewargaan (citizenship based nationalism), semua orang bisa menjadi bagian dari “bangsa Hindia” apapun latar belakang agama, etnis, ataupun rasnya selama ia adalah warga Hindia dan merasa sebagai “orang Hindia”. Momen-momen penting lain dalam terbentuknya kesadaran akan identitas bersama sebagai “bangsa Indonesia” adalah Manifesto Politik Perhimpoenan Indonesia tahun 1925, terbentuknya Partai Nasional Indonesia (PNI) tahun 1927, dan Sumpah Pemuda tahun 1928. Dalam momen-momen ini kaum sekulerlah yang menjadi pemain utama dalam merumuskan apa dan siapakah “bangsa Indonesia”. Tentu saja bukan berarti kalangan Islam absen dalam upaya merumuskan identitas kebangsaan. Seperti kita ketahui Sarekat Islam (SI) adalah organisasi pertama yang berhasil membangun kesadaran nasional dalam arti mampu membangun jaringan organisasi yang meluas ke seluruh Hindia Belanda melintasi batas-batas daerah dan etnis. Namun perlu kita ingat bahwa pada masa-masa puncak kejayaannya SI sendiri belum menunjukkan secara tegas identitas keislamannya sehingga ketika itu SI secara ideologis belum bisa disebut gerakan Islam dan dalam perjalanan sejarah berikutnya kaum sekulerlah yang lebih dominan dalam membentuk identitas kebangsaan. Terbukti bahwa pada dekade 1930-an timbul polarisasi di tengah kalangan pergerakan antara “kaum Islam” dengan “kaum kebangsaan” yang menyiratkan bahwa “kebangsaan” tidak identik dengan “Islam” dan begitu pula sebaliknya. Hal ini diperkuat pula oleh kritikan keras dari sejumlah tokoh Islam seperti Haji Agus Salim, A. Hassan, dan Mohammad Natsir terhadap ide kebangsaan. Tentu kritikan itu timbul karena ide kebangsaan yang dominan ketika itu adalah ide kebangsaan yang netral agama meskipun para tokoh Islam itu tidak selalu antipati pada ide kebangsaan per se.Setelah proklamasi kemerdekaan keadaan ini tidak banyak berubah. Hingga sekarang pun identitas “bangsa Indonesia” tidak pernah identik dengan agama tertentu. Bandingkan dengan identitas “bangsa Melayu” di Malaysia yang identik dengan Islam, atau “bangsa Thai” yang identik dengan Buddhisme dan “bangsa Filipina” yang identik dengan Kristen khususnya Katolik. Dengan identitas kebangsaan yang netral agama maka sejujurnya sulit untuk memberlakukan suatu penafsiran atas Pancasila sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara dengan perspektif satu agama tertentu sekalipun –katakanlah- itu tidak dilakukan secara terang-terangan. Tentu saja akan ada perkecualian jika kita membongkar identitas kebangsaan Indonesia dan membangunnya kembali dengan identitas keislaman sebagai dasarnya. Namun ini pun menyimpan masalah tersendiri.
Ketika sebuah negara-bangsa hendak dibangun di atas negeri yang penduduknya majemuk maka mau tidak mau keberagaman tersebut harus benar-benar diperhatikan. Ini dengan catatan jika negara-bangsa itu hendak didirikan dengan tanpa mengorbankan keutuhan wilayah negeri tersebut. Dalam hal ini kita bisa belajar dari pengalaman sejarah India. Apa yang membuat sebagian kaum Muslim India yang dimotori oleh Muslim League menuntut negara tersendiri yang akhirnya membuahkan lahirnya Pakistan adalah perasaan dieksklusikan dalam pembentukan identitas kebangsaan India. Pembentukan identitas kebangsaan India sebagai bagian dari perjuangan kemerdekaan negeri tersebut memang didominasi oleh kaum Hindu, ide nasionalisme India –yang sebenarnya netral agama- juga dianggap banyak diwarnai pandangan hidup Hinduisme dan hanya kedok untuk menciptakan diktator mayoritas di India. Muncul kekhawatiran dari sebagian kaum Muslim bahwa kemerdekaan India akan membawa pada penindasan minoritas Muslim oleh mayoritas Hindu. Sementara itu di kalangan Hindu timbul pula persepsi negatif terhadap kaum Muslim. Kaum Muslim –terutama golongan elitnya yang memang banyak di antaranya adalah keturunan Arab, Persia, Afghan, atau Turki- dipandang tidak memiliki rasa memiliki sebagai bagian dari “bangsa India” dan dicap sebagai anak-turunan ‘penjajah’, yang dimaksud ‘penjajah’ di sini adalah para penguasa Muslim dari luar India seperti Dinasti Mughal yang menguasai India sebelum era kolonialisme Inggris. Apakah nasionalisme India yang diusung oleh organisasi Indian National Congress di bawah kepemimpinan Gandhi dan Nehru memang hanya kedok bagi dominasi mayoritas Hindu sesungguhnya masih bisa diperdebatkan. Bahkan kalaupun betul nasionalisme India diwarnai pandangan hidup Hinduisme itu tidak serta merta menjadikan kaum Muslim menjadi minoritas yang tertindas di India. Nyatanya hingga kini India telah memiliki 3 presiden Muslim, banyak Muslim yang menjadi public figure terkemuka –termasuk selebritis Bollywood, tidak ada halangan bagi dakwah Islam, madrasah Darul Ulum Deoband yang konon merupakan lembaga pendidikan Islam terbesar kedua di dunia setelah Al Azhar masih kokoh berdiri dengan murid berdatangan dari berbagai penjuru dunia. Bagi sebagian kalangan Hindu sendiri Congress dianggap bersikap terlalu akomodatif dan kompromistis kepada kaum Muslim, nasionalisme India yang diletakkan dasarnya oleh Congress juga dikritik tajam oleh kelompok ini karena dianggap hanya copy-paste dari nasionalisme di Barat alias “tidak bersifat India” (baca: tidak bersifat Hindu) –sementara bagi kaum Muslim yang menuntut berdirinya Pakistan nasionalisme India justru “bersifat Hindu”. Jika demikian maka apakah tuntutan kaum Muslim India untuk mendirikan negara tersendiri di bawah Muslim League dilatarbelakangi oleh alasan yang rasional atau hanya paranoia tanpa dasar? Tampaknya keduanya memiliki sisi kebenaran masing-masing. Namun yang jelas sejarah telah mencatat bahwa pergulatan identitas dalam perjuangan kemerdekaan India menghasilkan terbelahnya negeri tersebut menjadi dua negara-bangsa: India dan Pakistan.
Jika pengalaman India itu kita proyeksikan pada kasus Indonesia kita bisa melihat paralelitas yang menarik. Sebagaimana sudah disinggung di atas pembentukan ide nasionalisme Indonesia lebih didominasi oleh kaum sekuler yang meskipun kebanyakan dari mereka adalah Muslim tetapi memilih untuk memisahkan ranah agama dan negara. Perdebatan mengenai konsepsi “Indonesia” di dalam sidang BPUPK yang menghasilkan gentlement’s agreement Piagam Jakarta sebenarnya bukan kemenangan mutlak bagi kubu nasionalis Islam, harus diingat bahwa klausul 7 kata dalam piagam tersebut adalah hasil kompromi yang dicapai dengan susah payah. Seandainya kemenangan mutlak ada di pihak nasionalis Islam sudah barang tentu negara Indonesia merdeka yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 adalah Negara Islam, tetapi kenyataannya tidak demikian. Toh, dengan hasil yang demikian tetap saja kaum Kristen di Indonesia timur –yang oleh banyak kaum Muslim Indonesia dianggap sebagai ‘kaki tangan’ kolonial Belanda- tidak puas dan mengancam akan berdiri di luar negara Indonesia merdeka jika Piagam Jakarta disahkan. Dengan kearifan para pendiri bangsa –khususnya dari kubu nasionalis Islam- akhirnya tuntutan tersebut diakomodasi, Piagam Jakarta –yang sebenarnya tidak sepenuhnya memuaskan bagi kaum nasionalis Islam sendiri- direvisi dengan membuang 7 kata, perpecahan pun dapat dihindarkan. Inilah yang tidak terjadi dalam kasus India, tuntutan Muslim League untuk memberikan otonomi luas bagi daerah-daerah mayoritas Muslim guna menghindarkan dominasi golongan mayoritas Hindu dalam negara India merdeka –kekhawatiran yang walau beralasan namun masih bisa diperdebatkan kemungkinannya- ditolak oleh Congress sehingga pembentukan Pakistan sebagai negara tersendiri tak terhindarkan. Bisa kita bayangkan bagaimana seandainya dulu para pendiri bangsa, khususnya kalangan nasionalis Islam ngotot mempertahankan 7 kata maka bisa jadi wajah negara Indonesia merdeka tidak seperti yang kita saksikan sekarang.
Bila coba kita simpulkan dari pembahasan di atas maka upaya membentuk ulang identitas kebangsaan Indonesia menjadi‘kebangsaan yang Islami’ atau menjadikan warna Islam lebih dominan dalam identitas kebangsaan Indonesia adalah suatu pilihan yang dilematis. Jika upaya tersebut dilakukan maka resiko disintegrasi bangsa sepertinya bukan suatu hal yang mengada-ada. Suka ataupun tidak bagi sebagian orang sifat netral agama dalam nasionalisme Indonesia memang menjadi kunci penting bagi tetap hadirnya sense of belonging atas Indonesia. Dengan nasionalisme yang netral agama ide “Indonesia” menjadi bukan hanya milik satu golongan agama saja melainkan milik semua golongan agama. Di sisi lain tentunya nasionalisme itu sendiri bukan suatu hal yang sakral, terlebih bagi umat Islam. Dilihat secara historis nasionalisme dan negara-bangsa punrelatif merupakan barang baru dalam sejarah peradaban manusia.Ide ini lahir setelah Revolusi Perancis dan tersebar ke seluruh penjuru dunia seiring dengan tersebarnya modernitas. Di era globalisasi ini batas-batas negara juga semakin cair, sepanjang sejarah negara-negara-bangsa kita bisa menyaksikan ide sebuah negara bangsa ditinggalkan seperti kita lihat dalam kasus Yugoslavia misalnya. Oleh karena itu bukanlah barang tabu pula untuk memikirkan sebuah ide negara-bangsa yang melampaui ide “Indonesia”.
Sekiranya umat Islam menghendaki suatu ide kebangsaan yang dibangun atas landasan Islam maka tidak ada salahnya jika umat Islam mulai memikirkan gagasan mengenai suatu negara yang mempersatukan bangsa-bangsa Muslim rumpun Melayu misalnya. Berani menyatakan secara tegas ide radikal semacam ini sesungguhnya dapat melepaskan kita dari sikap ambivalen yang disadari atau tidak kerap muncul manakala kita mempertahankan ide nasionalisme Indonesia sambil di sisi lain mencari-cari celah untuk membangun ‘dominasi Islam’. Terkecuali apabila kita menerima ide nasionalisme yang menghargai keberagaman itu dan konsisten terhadapnya. Di sisi lain ide radikal semacam “Negara Islam Melayu Raya” dapat menjadi jembatan antara realitas negara-bangsa yang ada hari ini dengan ide sejenis “khilafah Islamiyah” yang walaupun ideal namun masih terkesan utopis. Persatuan umat Islam sedunia di bawah satu kepemimpinan jelas merupakan cita-cita yang mulia akan tetapi keberagaman kaum Muslimin dalam hal mazhab, bahasa, budaya, dan sebagainya juga merupakan suatu kekayaan tersendiri yang perlu dijaga. Dalam konteks tersebut ‘blok-blok kaum Muslimin’ yang dipersatukan oleh kedekatan budaya di samping kesamaan akidah bisa menjadi pilihan menuju persatuan kaum Muslimin sedunia dengan tetap menghargai keberagaman di tengah kaum Muslimin sendiri.
Kesimpulan
Pancasila adalah dasar negara yang merupakan kesepakatan bersama para pendiri bangsa, termasuk di antaranya para tokoh Islam. Bukan hal aneh kermudian jika dasar negara ini diwarnai oleh pandangan dunia Islam. Oleh karena itu penafsiran Pancasila dengan perspektif Islam adalah hal yang absah dan memiliki argumentasi yang kuat. Mempertentangkan Pancasila dengan Islam ataupun sebaliknya jelas merupakan cara pandang keliru yang dangkal dan ahistoris. Berdasarkan analisis yang mendalam atas Pancasila beserta historisitasnya tidak ada alasan yang kuat untuk menolak hak konstitusional umat Islam menerapakan syari’ah dengan mengatasnamakan Pancasila. Begitu pula tidak ada alasan kuat untuk menolak keabsahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai wadah penegakan syari’ah.
Akan tetapi tantangan sesungguhnya untuk menegakkan syari’ah di bumi Indonesia dalam konteks kebangsaan adalah kuatnya dominasi paham sekuler mewarnai gagasan dan identitas kebangsaan Indonesia. Jika penafsiran Pancasila dengan perspektif Islam –yang tidak lain dan tidak bukan mewujud pada penegakan syari’ah- hendak diberlakukan maka itu sama artinya dengan membongkar ide “Indonesia” versi kaum nasionalis sekuler yang telah berhasil ditanamkan di benak masyarakat Indonesia selama puluhan tahun. Upaya pembongkaran tersebut akan dengan mudah dicap sebagai “pengkhianatan atas keberagaman”, bisa dipastikan pula akan muncul pernyataan bahwa “Indonesia bukan hanya milik umat Islam”, suatu pernyataan yang sayangnya sama absahnya dengan tafsir Islami atas Pancasila itu sendiri. Dengan konteks yang demikian maka pilihan bagi umat Islam Indonesia sesungguhnya berkisar pada tiga alternatif: mempertahankan ide “Indonesia” sebagai entitas multikultural tanpa ada dominasi mayoritas, mereka ulang ide “Indonesia” menjadi milik umat Islam semata, atau merumuskan ide baru yang “melampaui Indonesia” dan lebih dekat pada cita-cita persatuan kaum Muslimin sedunia tanpa harus kehilangan sikap realistis.
Satu hal yang perlu diingat, jauh sebelum terumuskannya gagasan “Indonesia” oleh para elit didikan Belanda kedatangan Islam di kepulauan Nusantara telah menanamkan bibit-bibit persatuan penduduk Nusantara yang dilandasi persamaan akidah. Kerjasama antar kerajaan Islam Demak dan Aceh untuk mengusir Portugis dari Malaka, tersebarnya bahasa Melayu dan aksara Pegon sebagai sarana komunikasi penduduk Nusantara, terbentuknya komunitas Muslim Jawi dan jaringan ulama Nusantara yang berpusat di Haramain sudah cukup menjadi bukti bahwa gagasan persatuan Nusantara atas dasar Islam memiliki akar yang kuat di masa lampau. Sekiranya kolonialisme Belanda gagal menancapkan hegemoninya di kepulauan ini bukan tidak mungkin persatuan tersebut sudah terwujud hari ini. Adapun ide “Indonesia” yang kita kenal sekarang sejatinya merupakan produk modernitas yang tumbuh seiring dengan kolonialisme, ide ini tidak punya akar yang mendalam dalam memori kolektif masyarakat Nusantara yang mayoritasnya Muslim. Bisa kita bayangkan, bagaimana komunitas Jawi di Makkah dan Madinah dapat dengan mudah mengidentifikasikan dirinya sebagai sesama Muslim yang datang dari Nusantara tanpa harus mencerna gagasan “Indonesia” yang melangit dari para elit berpendidikan Barat. Maka dari itu bukan hal yang muluk-muluk kiranya jika kita menyusun kembali ide persatuan Nusantara yang akarnya sudah ditanamkan para ulama penyebar Islam di kepulauan ini sejak berabad lalu dan merintis berdirinya sebuah negara baru di atas puing-puing Indonesia kelak. Modernitas yang lahir dari pengalaman sejarah Barat kini tengah mengalami krisis dan bukan tidak mungkin akan terkubur dalam waktu dekat. Bersamaan dengan terkuburnya modernitas maka akan terkubur pula ide-ide yang lahir darinya, termasuk ide “Indonesia”. Wallahu a’lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H