Tanpa menafikan jasa dan kontribusinya pada ummat, sesungguhnya gerakan pembaharuan Islam yang lahir dan berkembang sejak awal abad ke-20 telah membuka jalan bagi hadirnya dua kubu ekstrem dalam percaturan pemikiran Islam di Indonesia dewasa ini: kubu ekstrem “literal” dan ekstrem “liberal”.
Premis utama gerakan pembaharuanadalah dua hal yang sepertinya saling bertentangan tetapi bisa juga saling menguatkan yaitu “Kembali pada Al Qur`an dan Sunnah” dan “Memajukan pemikiran Islam”. “Maju” di sini artinya menyesuaikan Islam dengan modernitas yang ketika itu memang sedang nge-trend.
Tentu saja siapapun selama masih merasa sebagai Muslim akan setuju dengan slogan “Kembali pada Al Qur`an dan Sunnah”. Namun pertanyaannya Al Qur`an dan Sunnah menurut pemahaman siapa? Kaum pembaharu dengan penuh rasa percaya diri yakin bahwa para ‘ulama modern’ mampu memahami kedua sumber itu dengan lebih baik dibandingkan para ulama terdahulu. Tak heran jika kitab kuning pun tidak lagi dilirik. “Tidak perlu lah kita menengok kitab2 kuning buatan ulama zaman dulu. Cukup kita merujuk pada Al Qur`an dan hadits2 shahih saja.” Begitu kata mereka. Mazhab fikih yang empat pun diabaikan. “Tidak perlu ikut mazhab, ikuti saja Al Qur`an dan Sunnah!”. Itulah seruan para pembaharu.
Disadari atau tidak, kaum pembaharu telah terkena bias modernisme yang datang dari Barat. Dua unsur penting modernisme dapat kita temukan pada mereka: penolakan kepada otoritas tradisional dan optimisme akan kemajuan (idea of progress). Akan tetapi, seperti halnya modernisme Barat, modernisme Islam pun terjebak dalam kondisi yang serupa dengan tradisionalisme yang ia kritik. Kaum pembaharu menolak keabsahan mazhab empat namun pada saat yang sama mereka pun sesungguhnya melahirkan mazhab baru –sebut saja mazhab “Majelis Tarjih”, mazhab “Dewan Hisbah” atau mazhab “Bulughul Maram”- yang kekokohan metodologisnya masih bisa dipertanyakan jika dibandingkan mazhab empat.
Sementara itu seiring perjalanan waktu diam-diam terjadilah jurang antar-generasi di kalangan kaum pembaharu –sebuah fenomena yang sebenarnya lebih lazim terjadi dalam masyarakat Barat modern ketimbang masyarakat non-Barat yang tradisional. Ide yang sebelumnya dianggap sangat ‘segar’ dan progresif telah menjadi usang. Sebagian generasi muda kaum pembaharu dengan penuh penghayatan akan kredo “tidak ada yang berubah di muka bumi kecuali perubahan itu sendiri” menganggap generasi tuanya telah “kehilangan progresivitas” dan “terjebak dalam konservatisme”. Maka lahirlah para cendekiawan semacam Nurcholish Madjid yang menyerukan sekularisasi dan menolak partai Islam. Ide-ide ‘liar’ Cak Nur menimbulkan kegusaran di kalangan kaum pembaharu –terutama generasi tuanya- tanpa menyadari bahwa bibit-bibit keliaran itu sejatinya sudah ada pada ide pembaharuan yang masuk ke Nusantara beberapa dekade sebelumnya. Bukankah Muhammad Abduh yang pemikirannya dikagumi banyak kaum pembaharu pun adalah salah satu pelopor liberalism di Dunia Islam? Pemikiran Cak Nur sendiri bukanlah titik akhir dari “pembaharuan pemikiran Islam” –istilah yang digunakan Cak Nur sendiri untuk menyebut gerakan intelektual yang dimotorinya. Kurang lebih tiga dekade setelah Cak Nur menyerukan “pembaharuan pemikiran Islam” muncullah anak-anak muda dengan pemikiran yang lebih ‘liar’ dan bahkan lebih ‘gila’ dibanding Cak Nur. Saya tentu tidak perlu mengulang cerita soal JIL beserta segala kenyelenehannya yang membuat geram dan miris banyak orang. Akhirnya, alih-alih sekadar jalan menuju perbaikan, pembaharuan rupanya telah menjadi tujuan pada dirinya sendiri, “pembaharuan untuk pembaharuan”, begitu mungkin slogannya. Ide pembaharuan terus didengungkan dan digulirkan tanpaharus ada pertanyaan, “pembaharuan seperti apa?” dan “untuk apa?”.
Di sisi lain sebagian kaum pembaharu bergerak menuju arah yang berlawanan. Represi rezim Orde Baru terhadap politik Islam membuat mereka kehilangan kepercayaan pada perjuangan lewat jalur konstitusional. Mereka memilih bergerak lewat jalur subversive, bahkan kekerasan. Bersamaan dengan itu, Indonesia dibanjiri karya-karya terjemahan buku para tokoh pergerakan Islam dari Timur Tengah –bagian dari usaha dakwah global atas sponsor Arab Saudi yang sedang kelimpahan duit hasil eksplorasi minyak. Generasi baru kaum pembaharu yang hidup di bawah represi Orde Baru serasa mendapat pencerahan. Generasi pendahulu mereka seperti orang-orang Masyumi tahun 50-an jadi terasa “kurang Islami” dan “kebarat-baratan” dibandingkan generasi baru ini. Pancasila, nasionalisme, dan negara-bangsa mereka anggap sebagai thaghut, berhala, suatu hal yang mungkin tak terpikirdi benak generasi Mohammad Natsir dan Mohammad Roem. Sementara para politisi Masyumi tahun 50-an mungkin lebih akrab dengan bahasa Belanda ketimbang bahasa Arab, generasi baru ini kerap menggunakan istilah-istilah dan ungkapan Arab –sekalipun bisa jadi mereka tidak fasih membaca Al Qur`an apatah lagi membaca kitab kuning yang bertulisan Arab gundul. Sebagian lagi menganggap organisasi pembaharu seperti Muhammadiyah, Persis, atau Al Irsyad masih kurang “nyunnah” sekalipun organisasi-organisasi tersebut amat giat memberantas amaliyah masyarakat yang dianggap TBC (takhayul, bid’ah, churafat) sehingga mereka mengadopsi apa yang disebut “manhaj salaf” yang diklaim sebagai pemahaman Islam yang murni, yang dianut para salafush shalih. Sebagaimana orang-orang liberal yang begitu silau dengan hal-hal yang berbau kebarat-baratan, generasi baru kaum pembaharu ini juga silau dengan segala hal yang berbau kearab-araban. Jika kaum liberal menganggap belum progresif jika belum mem-Barat maka kaum literal ini menganggap belum Islami jika belum meng-Arab.
Alhasil, kini kita bisa melihat wajah Islam dan umat Islam Indonesia terbagi menjadi dua kutub ekstrem. Di satu kutub ekstrem ada orang-orang yang begitu mengagungkan –bisa juga disebut memberhalakan- demokrasi sementara di kutub ekstrem lain ada orang-orang yang bukan hanya mengharamkan demokrasi tetapi juga menganggapnya syirik. Wacana keislaman di Indonesia diwarnai perang tak berkesudahan antara kedua kubu ini sementara mayoritas diam dari umat Islam Indonesia sesungguhnya berada di tengah-tengah kedua kutub ekstrem tersebut, mungkin juga mereka tak peduli, toh mereka masih sibuk bertahan menghadapi beban kehidupan sehari-hari yang terasa semakin berat.
Terlepas dari jurang perbedaan yang teramat lebar antara kaum “literal” dan kaum “liberal” keduanya lahir dari rahim gerakan pembaharuan yang hadir di bumi Nusantara sejak seabad lalu. Disadari atau tidak, gerakan pembaharuan telah menghasilkan keterputusan tradisi keislaman Nusantara yangsudah dirintis para ulama penyebar Islam terdahulu. Jika karya-karya klasik ulama besar Timur Tengah saja dikesampingkan oleh kaum pembaharu apalagi karya-karya para ulama Nusantara seperti Syaikh Nuruddin ar-Raniri, Syaikh Yusuf al-Makassari, Syaikh Abdush Shamad Falimbani, Kiai Ahmad Rifa’i Kalisalak, Syaikh Nawawi al-Bantani, atau Syaikh Ihsan Jampes. Kini banyak Muslim Indonesia yang begitu terkagum-kagum dengan karya para ulama kontemporer Timur Tengah –khususnya dari golongan yang mengklaim sebagai pengikut jejak salafush shalih- padahal dahulu para ulama Jawi begitu dihormati penduduk Haramain karena ke-’alimandan kesalehannya. Kearifan dalam berdakwah pun hilang, digantikan vonis bid’ah dan syirik. Keberislaman masyarakat langsung dihakimi tanpa melihat aspek sosio-historis dan sosio-kultural yang melatarinya. Selain melahirkan sikap legalistik-formalistik dalam beragama, pembaharuan yangberlangsung sejak seabad lalu juga membawa kecenderungan rasionalisme yang berlebihan pada kalangan intelektual Muslim. Akhirnya agama hanya menjadi wacana akademik belaka alih-alih penghayatan dan pengamalan. Hal ini diperparah oleh penguasaan ilmu yang setengah matang dari kaum intelektual tersebut. Mereka tidak menguasai tradisi keilmuan Islam klasik yang telah ditanamkan para ulama di Nusantara sejak ratusan tahun lalu kecuali permukaannya saja dan pada saat yang sama mempelajari pemikiran Barat juga secara dangkal. Yang timbul kemudian adalah sikap dan perilaku minder menghadapi pemikiran Barat sehingga lahirlah kesimpulan prematur bahwa jika umat Islam ingin maju maka umat Islam harus membongkar bangunan keilmuan Islam yang sudah mapan dan mengadopsi pemikiran kontemporer dari Barat. Maka muncullah ide-ide nyeleneh semacam penafsiran Al Qur`an dengan pendekatan hermeneutika, fikih lintas agama, fikih dengan perspektif jender, dan sebagainya. Ini semua berawal dari penguasaan ilmu yang setengah matang dan sedikit banyak ini adalah dampak dari pendidikan modern yang diadopsi dengan sangat antusias oleh kaum pembaharu di awal abad lalu. Pembaharuan pemikiran Islam yang dekonstruktif sedikit-banyak juga bisa dilihat sebagai kelanjutan dari pembaharuan Islam awal abad ke-20. Jika para pembaharu terdahulu awal abad ke-20 menggugat keabsahan mazhab fikih yang empat maka para “pembaharu” awal abad ke-21 menggugat keabsahan ushul fikih. Anak memang selalu ingin lebih maju daripada orang tuanya.
Alhasil cukup sudah kiranya kita belajar dari pengalaman pembaharuan Islam abad ke-20 yang membawa dampak dan konsekuensi yang mungkin tak terbayangkan di benak para pengusungnya terdahulu. Pelajaran yang bisa kita ambil adalah bahwa pembaharuan dengan mengesampingkan tradisi yang telah kokoh hanya akan menghasilkan ketercerabutan dan keterputusan dari tradisi. Melakukan pembaharuan dengan menyingkirkan tradisi ibarat mengobati penyakit dengan anti-biotik yang bukan hanya membunuh bakteri-bakteri jahat namun juga bakteri-bakteri baik yang sesungguhnya amat diperlukan oleh tubuh. Pembaharuan semacam ini telah meruntuhkan tradisi dengan segala kebaikan –di samping juga keburukan- di dalamnya sementara tidak ada jaminan bahwa bangunan yang baru akan lebih baik daripada yang lama. Tentu saja bukan berarti kita harus menerima mentah-mentah apa yang diwariskan generasi terdahulu tanpa sikap kritis, namun yang diperlukan adalah memahami terlebih dahulu akar tradisi kita sebelum mempelajari dan mengadopsi hal-hal baru. Di sinilah letak relevansi kaidah “muhafazhatu ‘ala qadim ash-shalih wa al-akhdzu bi jadid al-ashlah” (memelihara hal-hal lama yang baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik). Wallahu a’lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H