[caption id="" align="aligncenter" width="550" caption="Illustrasi www.analisadaily.com"][/caption] Banyak orang yang menyangka bahwa kekalahan PDIP di Sumatera Utara karena kesalahan strategi partai Banteng dalam menetapkan calonnya yang terlambat. Sementara ada juga yang menangggap bahwa PDIP terlalu naif dengan menunjuk Efendi Simbolon yang sebenarnya bukan berasal dari Daerah Pemilihan (Dapil) SUMUT sehingga artikulasi Batak Pendatang begitu kental dikalangan pemilih. Berbagai anggapan miring terkait kekalahan PDIP sebenarnya mengarah pada kerisauan beberapa kalangan yang berharap banyak pada PDIP sebagai partai yang relatif bersih dan lumayan dipercaya daripada beberapa partai lain yang semakin hari semakin bergumul dengan kotornya tindak pencurian alias korupsi. PDIP bukan partai bersih tapi relatif lebih bersih dari partai lain. Dan prinsip partai yang selalu terlihat terdepan dalam menghalangi kebijakan pemerrintah yang akan merugikan rakyat (seperti kenaikan TDL atau BBM dan lainnya) sepertinya cukup sampai pada kalangan bawah. Ada juga asumsi bahwa kentalnya primordialisme menjadi faktor kekalahan PDIP di Pilgubsu 2013, tapi asumsi tetaplah asumsi. Belum pernah terdengar ada bukti bahwa isu agama atau kesukuan (tiang Primordialisme) menjadikan SUMUT seperti daerah lain yang mudah terbakar dalam kerusuhan. Dalam sejarah SUMUT, hanya ada satu kali perang yang mematikan terkait SARA, yakni Perang Paderi, perang yang anehnya kemudian tercatat malah menjadi perang antara Pagaruyung (SUMBAR) dan Belanda. Kalaupun kemudian banyak yang mengatakan bahwa kemenangan pasangan Gatot (pujakusuma) dan Tengku Erry sebagai kemenangan Jawa - Aceh, maka terlihat betapa dangkalnya ilmu antropologi yang dimiliki yang bersangkutan, sebab Sumatera Utara terkenal sebagai daerah "lahan gersang" bagi primordialisme. Lalu, jika bukan karena faktor primordialisme ( Agama, kesukuan), lalu apakah karena faktor keterkenalan? Bisa jadi...! Gatot sebagai petahana seperti pengalaman sebelumnya diberbagai pilkada, punya keuntungan untuk lebih dikenal pemilih dan dengan sedikit sentuhan partai pendukung, maka jadilah barang tuwh.. :) Partai Golkar sebenarnya lebih pantas menyandang gelar 'pecundang' dalam Pilgubsu, mengingat Golkar selama Orde Baru adalah partai tak tertandingi, begitupun ketika masa reformasi hingga pemilu 2009 lalu. Propaganda "Tak ada Golkar, tak ada pembangunan" begitu meresap di SUMUT. Uniknya kebangkitan Golkar pasca babak belur secara nasional di 1999 terlihat nyata dari Sumut sendiri. Kemenangan Gatot Pudjo Nugroho yang sebenarnya adalah kemenangan sentimen melankolisme rakyat Sumut kebanyakan. Hali ini terindikasi dari keberadaan Tengku Erry yang merupakan adik dari Gubernur Sumut yang tewas karena kecelakaan pesawat di Medan 5 Sept' 2005, Tengku Rizal Nurdin. Tengku Rizal Nurdin termasuk sukses mengembalikan perekonomian Sumut pasca krisis 1998 dan juga cukup berhasil memberantas perjudian terkenal seperti hwahwe, togel dan sejenisnya yang dikendalikan dari Singapura dan Riau. Kenangan tentang TRN hadir melalui adiknya Tengku Erry Nuradi, Cawagubsu terpilih dari Gatot Pudjo. Jadi kemenangan pasangan Ganteng, bukanlah kemenangan PKS semata, tapi juga kemenangan PDIP. Lho...? Benar, PDIP disinyalir memiliki perhitungan matang terkait keikutsertaanya dalam Pilgubsu 2013. Selain niat mempertahankan keberadaan Effendi Simbolon di partai, juga untuk menguji eksistensi PDIP di Sumut sendiri. Hal ini berguna untuk mematangkan strategi pemenangan Pemilu 2014 di Sumut. Dengan melihat pola Pilgubsu 2013, mudah mengukur elektabilitas partai nantinya. Strategi ini juga untuk menguji perkembangan popularitas Jokowi di Provinsi terpadat diluar Jawa itu. Dengan singkatnya kunjungan Jokowi dan menjadikan suara Effendi Simbolon melesat ke urutan kedua, maka PDIP memiliki gambaran jelas bagaimana menggunakan nama Jokowi nantinya disetiap kampanye Pemilu 2014. Namun, yang paling mudah diduga dari semua hitungan PDIP adalah, keberadaan Gubernur Sumatera Utara (GUBSU) sendiri. Seperti diketahui, Gubsu adalah jabatan terpenting diluar Pulau Jawa. Dengan wilayah strategis, penduduk pluralis terbesar, pertumbuhan ekonomi yang selalu diatas rata-rata nasional menjadikan Gubsu lebih menarik daripada daerah lain. Dibandingkan dengan Gubernur Papua atau Sulawesi atau Aceh yang agak tidak mungkin direbut oleh bukan putra daerah, belum lagi (maaf) kemiskinan dan infrastruktur yang tertinggal. Nah, kemiskinan yang tidak semiskin daeran lain, Infrastuktur yang lebih maju sehingga seorang Gubsu pekerjaannya lebih ringan daripada daerah lain dan posisi strategisnya menjadikan segala permintaan (proposal) Sumut lebih mudah disetujui oleh pemerintah pusat. Tetapi, segala kemudahan inilah yang menjadikan Sumatera Utara menjadi ladang korupsi yang subur. Dan sejauh ini Gubsu sejak Radja Inal Siregar sampai Sjamsul Arifin selalu terindikasi dugaan korupsi. Meskipun Sjamsul disebut korupsi ketika dia menjabat Bupati. Sumut dengan gelimang APBD-nya yang besar memang sering menggiring Gubernurnya pada kejatuhan, kejatuhan dalam dugaan korupsi sehingga gelar Gubsu di Sumut identik dengan UANG. Resiko inilah yang tidak diinginkan PDIP. Meskipun logikanya adalah, untuk apa ikut bersaing memperebutkan jabatan, kalau menghindari kemenangan? Kalah tetaplah kalah. Meskipun di lain pihak, jika ini adalah kekalahan PDIP, maka kekalahan ini tidaklah terlalu mengecewakan sebab dana kampanye yang dikeluarkan tidak sebesar pasangan calon lain. Dengan dana yang sedikit dan suara ES begitu melejit ke posisi runner-up, itu juga termasuk prestasi. Dibandingkan dengan Golkar ataupun Partai Demokrat. . . =SachsTM=
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H